Anomi Jennie I

79 2 2
                                    

'Kau menunda kerja, dan kerja menunda kau.' Barang-barang yang tak mampu aku beli bertumpuk di keranjang belanja Tokopedia; Dana-ku tewas entah sejak berapa purnama lamanya. Alhamdulillah,

Puji Tuhan. Gaji bulanan yang langsung habis di hari ke dua atau tiga; kencan Tinder yang aku tunda-tunda sebab akomodasi hidup sebulan sisa kurang dari sejuta; dan karya fiksi klise yang aku bosan baca di novel web; atau fanfict dewasa idola K-Pop yang aku baca di Internet — hanyalah sedikit dari sekian banyak cinta yg membuat aku tetap waras.

"Was! Bagaimana bisa kau rindu dengan sosok yang kau bahkan tidak pernah jumpa, dan kutipan David Foster Wallace menghiasi kolom Twitter utama kita — sedang di akun alter saja kau telanjang, dibayarpun tidak?" Byar!! Cermin ambyar.   ..... "Huh. Aku ingin menonton Netflix sambil dipeluk pacar," seraya aku peluk aku, dan malam semakin gusar.

Manusia hanyalah seonggok materi berupa debu yang melayang-melayang katanya. Mendengarnya akal sehatku seperti terapung di langit-langit kamar. Melihat selulit di pahaku, ambyar. Krim malamku habis, ambyar. Aku butuh pacar untuk di tampar-tampar, lalu dia minta maaf, kemudian aku merasa benar. Oh materi— Jajani aku BreadTalk meski hanya sebiji Crème Brûlée-nya yang siar.

Mungkin aku menikah sajalah dengan lelaki kaya. Tua dan tidak tampan juga tidak apa-apa. Lalu berhenti membaca Cave Man, dan segala positivitas cemen. Krisis eksistensialisme apanya. Nietzsche pernah berkata, "Kami ingin menjadi siapa kami - yang baru, unik, tak tertandingi, mereka yang memaksakan hukum mereka sendiri, mereka yang menciptakan diri mereka sendiri!" Apakah itu hanya tinggal mimpi belaka?

Seperti kata Eyang Sapardi, "Apakah kita seharusnya menggelinding saja, seperti bola sodok, seperti roda pedati?" — Tapi air hanya mengalir ke bawah, bukan? Lihatlah Chairil, "Hidup hanya menunda kekalahan." Dan aku hanyalah wanita cantik yang mudah sekali tertekan melihat kawan (atau lawan) mengunggah foto liburan ke Instagram. Sedangkan aku sehari-hari cuma maraton nonton Revenge, hanya dengan kaos Hard Rock Café dan, tok, celana dalam.

     Blas!

Persetan dengan Instagramxiety. Twitter penuh dengan tweet nyinyir dan DM basa-basi. Aku butuh seorang nabi, aku butuh jalan pulang menuju ke pangkuan Ilahi. Aku butuh ditemani. Aku butuh mandi berdua di kamar mandi. Aku butuh seorang lelaki yang menggosok punggungku lembut, sampai ke pinggang, sampai ke jembut. Aku ingin secara harfiah masuk surga karena sebuah kecupan di mulut — yang abadi.

Aku ingin sebutir nasi. Aku ingin sebuah cincin berlian di jari. Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini, ingin itu — banyak sekali. Seperti kantung ajaib waktu, aku ingin kembali kepada masa ketika aku kecil dulu. Mengkoleksi kertas-kertas binder yang cantik, memintal tali karet, atau menonton Ghibli bersama Papa di TV, dan Mama memasak gulai untuk makan malam kami.

Kemarin lusa, dari Jalan Cincin ke arah Jogja kota. Ku pandangi gedung dan jembatan layang, atau pedagang-pedagang yang bersiap melenggang—memasang tenda menjelang sore di pinggir-pinggir jalan. Kunikmati kopi perlahan-lahan dari gelas kertas. Kulihat di kaca jendela, terpantul wajahku jelas. "Sudahkah kau mencintai aku?" kata pantulanku. Dan aku turun dari mobil sambil menjinjing tas belanja, dan menyapa bapak-bapak di Angkringan depan kos yang ramah-ramah dan hangat-hangat senyumnya.

Segera saja kututup pintu kamar. Ku tanggalkan seluruh pakaian dan kuraih ponsel di dalam tas. Aku foto aku, bulat-bulat. "Aku mencintaimu," kataku, seketika tubuhku hangat, "Aku mencintai pertunjukkan kelas yang kau persembahkan tengah-tengah malam, dan aku mencintai putih wajahmu yang temaram." Oh tidak, sepertinya aku demam! Maka aku telepon sahabatku Nadia untuk menginap. Dirawatnya aku selama dua malam dengan penuh cinta, walau 70% nya hanya nonton kanal Nessie Judge dan drama Korea saja.

Aku sepakat dengan Andy Warhol, bahwa terkadang "dilahirkan ialah seperti diculik, kemudian dijual ke perbudakan." Kita adalah budak-budak terhadap apa yang kita sembah. Aku berpikir mungkin Mr. Wallace benar, tidak ada yang namanya Ateis. Setiap dari kita pasti menyembah sesuatu, tidak mesti Tuhan agama A,  B, atau C. Bisa jadi ia berupa batu, musisi, politik, harta, omongan saudara, kekasih, atau bahkan diri sendiri. Hah. Tuhan-tuhan slice of life. Ncek dan Ncim bilang, aku terlalu naif. Oh. Alhamdullillah,

Puji Tuhan. Bahkan untuk menentukan sendiri kepercayaan yang akan kau jalankan, masih suka dibatasi oleh sangsi dan perspektif kekerabatan — "Wahai jalan, tunjukkan aku Tuhan yang benar." Maka senja usai. Sayup-sayup kudengar Nadia mengaji di sudut kamar. Entah apa arti bacaannya. Yang kutahu bubur yang dimasaknya enak, gurih dan menghangatkan hati. Seperti kasih ibu yang memelukmu ketika gundah dan kasih merekah di kuncup lembut kecupnya yang merah. Aku air mata, dan ia tangan yang membasuh segalanya.

Dukaku, dukamu, duka kita, duka siapa? Duka seorang penyair mengingatkan aku akan kucingku 'Roti' yang cantik dan belang tiga warnanya. Apa kita seharusnya menggelinding saja? Seperti bola sepak, seperti roda Ferarri. Aku membaca mantra kucing, dan amuk reda di setiap dengkur apabila tidurnya mimpi. Mimpi jadi komisaris di BUMN, mimpi menerbitkan buku karya sendiri, mimpi kuliah di Munchen, mimpi dukaku reda dan aku abadi.

Seperti nasihat Wiji, apa kita ke mall saja, jalan-jalan sambil nonton harga? Sungguh, bosan adalah musuh terbesar manusia. Kemudian aku merevisi do'a, "Wahai Tuhan, tunjukkan aku jalan yang benar. Ampuni aku, dua puluh sekian tahun merasa yang paling pintar." Buburpun habis, dan kami memutuskan untuk memesan tiket nonton film layar lebar. "Nad, tiket udah gue bayar." "Oke, Jen." Dan wangi parfum Nadia menyerebak ke seluruh penjuru kamar.

(2021)

Sihir Daring dan Cinta Yang KontemporerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang