Gas!

55 3 2
                                    

Kulihat kau daring tengah-tengah malam pukul cinta lewat seperempat. Sembari kurapihkan tembolok di gawaiku — cemburuku bercecer ke mana-mana. Batinku bertanya, "adakah lelaki yang tengah sering ia hubungi sekarang?" Pun kau belum resmi pacar jawabku, hatiku sudah umup seperti rebusan jarang.

Mungkin kau tengah buka Webtoon di Safari, entah apa yang menghalangi kau membacanya langsung di aplikasi. Aku tidak mengerti. "Sapa tidak ya?" kumenimbang. Ketik-ketik hapus, tapi konteksnya ku ulang-ulang. Andai kau hubungi aku lewat DM, pasti aku jawab secepat kilat. Lebih cepat dari Si Cepat, atau Usain Bolt.

Ah. Usain itu masih kacang, pelari tercepat adalah Harun Masiku. Dan untuk kekasihku yang belum, aku luar amazing rindu kepadamu. Seakan malam tabu untuk mendendangkan tembang-tembang kangen. Kangen: racun anggur yang menghentikan waktu, seperti momen ketika kukirim pesan, "i miss you." Dan aku harap-harap cemas menunggu jawabmu kala itu.

Sabtu malam ketika Covid mencelos ke permukaan gawang, bola target yang ditembak oleh kaki-kaki peradaban, menembus rekor angka yang memperihatinkan. Tapi kita butuh cari uang, maka di kios-kios keperihatinan itu telah kami buka lebar-lebar pintu lawang. Kepada dilema, selamat datang. Dan kita terpisah oleh jarak yang terbentang, dan aku malah sibuk mengurusi nasi dalam rantang.

Ya.

Kulihat kau daring tengah-tengah malam pukul cinta lewat seperempat. Sembari kurapihkan tembolok di gawaiku — telepon berdering dan fotomu yang kuambil terpampang di profil WhatsApp yang kau baru saja pasang, yang kau baru saja pajang. Hati mencelos sesaat sebelum kurapihkan kembali senyum dan kuangkat "Halo." "Kenapa kamu belum chat atau telepon? Aku nungguin lho!" Aku diomeli panjang.

Tapi nafasnya tersengal hebat seperti habis berlari kencang. .......?? Dinyalakannya panggilan video tiba-tiba dan wajahku mendadak tegang. Aku menyukai rambut dan alismu yang lebat. Pundak putih yang berselisih dengan tali daster itu menyala-nyala sekelebat. Membuat aku serba salah, sebelum pada akhirnya aku longgarkan kerah sambil kugarapi waktu sehingga tersenyumlah kau dalam puas, dalam peluk rindu yang kau unduh di layar ponsel yang memanas.

Jatuh cinta, pandemi-pandemi begini — repot. Aku mencari risik dengan menelusuri sungai menuju laut kalbumu yang dalam. Hulu ke hilir berangan-angan. Hilir ke hulu beringin-ingin. Aku selalu terbayang wajahmu tiap aku pergi, tiap aku tidur, tiap aku mandi. Kau ada di mana-mana seperti menghantuiku, seperti baliho milik bakal calon untuk 2024 di pertengahan tahun 2021.

Dan sepanjang Agustus ini, aku menghabiskan waktu PPKM membaca novel Menak Jinggo - Sekar Kedathon; nonton La Casa De Papel dan beragam sitcom; bermain papan gelombang; duel papan catur kadang-kadang; dan tentu saja mencari sekeping uang. Tapi di ruang kepalaku, banyangan dirimu masih dan akan selalu menetap di situ. Mengawang-ngawang. Kau menghantui aku. Tidak kenal waktu, tidak kenal ruang — bahkan setiap aku lapar dan aku keluar makan penyetan pakai sambal bawang. Hmm.

Kemudian aku pulang. Baterai masih tiga batang. Sebelum pada akhirnya aku longgarkan kerah sambil kugarapi waktu.. aku melihat ke dalam kau. Kau yang sebenar-benarnya kau. Kau yang utuh dan merongrong tanpa risau. Kau yang dengan mimpi purbaku berjibaku, saat kita telantarkan kicau ke dalam sangkar. "Aku menghendaki kamu," katamu nanar dan malu-malu. Tentu saja, bagaimana bisa aku katakan tidak setelah kulihat kemutakhiran cinta cem-cemanku — yang buah-buahnya canggih, ranum dan lucu-lucu.

(2021)

Sihir Daring dan Cinta Yang KontemporerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang