Diari Fulan: Tentang Mona Lisa

28 2 0
                                    

Aku menulis surat ke Nigeria, buat sahabat penaku Hauwa. Di Co-Working Space ini aku duduk, di meja kerja dekat jendela sambil memikirkan apa kosa kata yang tepat atau bagaimana cara menulis kata 'gorojius', eh? — dan dari tempat aku duduk aku dapat melihat kau bergumul dengan MacBook dan Pen Tablet, sambil sesekali mencuri pandang ke aku yang kikuk dan sendirian sebab rekan kerjaku telat karena ngaret. Kau wajah pada kartu pos yang kugambar, yang kukirim ke seluruh belahan bumi ini. Wajahmu ada di Brazil, di Malaysia, dan di Azerbaijan. Senyummu membuat aku geger otak ringan. Dan aku benci lelaki yang kerap curi-curi kesempatan itu dengan mengajak engkau untuk kencan terselubung dengan alibi perkerjaan. Dasar jamet. Alih-alih kerja malah menggoda perempuan. Dan aku cuma curi dengar sambil memandangi kau yang kewalahan. 'Mona' itukah namamu? Meminjam ungkapan Brouwer, Tuhan pasti sedang tersenyum ketika Ia menciptakanmu. Kau Hagia Sophia yang masyhur, dengan mata yang bercahaya seperti bintang Muhammad dan aku tujuh pilar persia yang runtuh bila memandang senyummu utuh. Anggun sekali. Bagai Konstantinopel yang permai, yang diidamkan oleh para Gazhi dari Ertugrul sampai Al-fatih. Dan untukmu, terimalah dariku sekapur sirih. Ah, Mona Lisa. Kau sajak yang kubaca setiap malam dengan lirih.

(2021)

Sihir Daring dan Cinta Yang KontemporerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang