1
Aku sependapat dengan mataku, bahwa kau cantik, ketika kulihat parasmu melenggang datang dari sebuah titik kecil di ujung lobi, ke sebuah titik hilang pada perspektif ruang di optik mataku yang berkelindan kunang-kunang, dan aku menemukan lentik bulu matamu berbisik, "Selamat malam, mata genitku." Oh, kau yang cantik, duduklah dengan tunggu, biar kupesankan kau segelas candu.Waktu melayang-layang, mengambang di antara huruf pada tanda neon di pintu bar dan pertokoan. Obral obrolan dari yang lumrah hingga yang teramat murah, menghamburkan diri ke atas meja, berserak di tempat kita duduk. Kita aduk-aduk adonan basa-basi hingga padanan katapun lelah mengembang di penanak sepi. Seketika matamu seperti pulang ke hotel boutique di tengah kota dan berendam, sebelum kucicipi bulan di piring malam, dan kukulum telinganya yang lembut dan azam. Lihatlah.
Gaun hitam yang kau kenakan, dan belahan dadanya yang rendah — rambut hitam yang kau juntaikan, dan rias wajahmu yang mewah.. segalanya topeng yang kupahat dari serat-serat waktu. Keabadian seperti titik jenuh yang lupa cara mengawetkan aku — di botol kata — ketika kukatakan kepadamu, "aku mencintaimu." Kemudian listrik mati, dan cinta yang beku meleleh. Aku seonggok botol yang tertimbun di sudut kulkas. Mesin waktu untuk segala kenangan yang belum tuntas. Menunggu topengmu retak agar kulihat parasmu senja, sehingga aku bebas. Sehingga aku lepas dari peluk cemas, atau deru kepak sayap cemburu yang berkibas-kibas.
2
Ciuman itu bermula pada senja ketika ku cicipi sebotol hujan di batas waktu menjelang malam. Ciuman yang berkecai pada bias resonansi — pada bias getarannya yang abadi.
Tengah hari sebelum itu, aku mengenakan senyum terbaikku. Senyum yang buluk kucuci dan kujemur di dadaku yang lapang, tempat matahari jiwa membolongi siang sehingga keringlah cucian-cucian dari hati yang kotor — dari mulut yang teledor. Aku akan bertemu kekasih daringku. Sosok yang tumbuh dari piksel-piksel digital dan algoritma angka yang setiap digitnya setitik rindu dan sekumpulannya kamu.Dan di sinilah kamu, dalam dekap di antara pundak dan bahuku di dalam taksi daring yang jadi saksi bisu. "Oh, Tuhan. Rambutnya harum, dan senyumnya semanis madu." Malam seperti malu-malu, sampai-sampai bulanpun sembunyi di balik awan yang kelabu, dan bintang cuma setitik-setitik seperti jerawat di wajah adikku. Dan kamu memeluk aku. "Wahai malam, beritahukan kepada seluruh kawananku yang gagah-gagah, 'buat apa kegagahanmu kalau mengucap 'i love you' saja kau masih gagu'" batinku — belagu.
Dulu, ia hanyalah sekumpulan balon obrolan yang kadang ramai oleh teks, kadang merah oleh emoji. Teleponan sampai pagi, sampai tertidur di mulut fajar yang menguap dan embun merambat menyelimuti daun hati kami. Tak mengapa terdengar alay — alay adalah salah satu tahap alami dalam proses metamorfosis manusia Indonesia. Alay bukanlah ambeyen. Alay bukanlah wasir. Alay adalah benih pembelajaran yang apabila rutin kita siram, ia akan tumbuh menjadi bunga sedap malam — menjadi wangi parfum pada nama di usia matang.
Maka kita tertawa menertawai awal semula saat kata 'kita' belum secara resmi ada. Di lobi hotel ketika kita duduk, di lantai foyer dan di kasur musim gugur.. kita berbincang dan kata-kata semakin lihai menempatkan diri, bertafakur, dan menyemaikan buah suasana yang apabila dicicipi terasa manis, sehingga kita bahagia, sampai-sampai ingin menangis. Sungguh perasaan yang magis, dan cinta tinggal menunggu isyarat aba-aba, sebelum kutanggalkan selimut yang menjadi tabir bagi hasrat di dalam dada.
(2021)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sihir Daring dan Cinta Yang Kontemporer
Poesia"Sihir Daring Dan Cinta Yang Kontemporer" merupakan sebuah antologi puisi (manuskrip), berisi 55 sajak yang dipecah ke dalam 3 babak dengan tema khusus mengikuti tema umum pada buku. Buku ini menyambut disrupsi budaya dalam dunia percintaan dan perg...