Accismus

47 2 1
                                    

Aku tidak ingat kapan terakhir kita betul-betul ngobrol pakai hati. Kini yang tampak olehku hanya kau dan apresiasi kosong terhadap usaha kerasku tuk memecahkan batu kikuk dan kesan sombong dari segala bisikan-bisikan setan yang terkutuk. Dan entah sudah berapa purnama kita tidak duduk berlama-lama. Ruang obrolan pun kini hampa.

Aku, kau, tidak lagi terhubung '&' tetapi 'tanpa'. Seperti tungku kepada api, itulah kita, yang apabila Rendra kangen, seperti engkau tidak ada — di manapun. Dan aku tungku yang dingin dipeluk embun. Dan sejatinya aku masih kerap merindukan kau tanpa ampun.

Betapa eskapis, seperti plot semesta Marvel era pasca fase ke-3, aku kepada kita. Kepada kata yang menjadi kutu: 'rindu', katanya — di rambut-rambut kota yang tumbuh dengan rimbun. Maka bak suku kata yang tak serumpun.. kita boleh saja membhinneka, namun kita tak tunggal ika. Kita konstitusi gagal yang direformasi paksa.

Jujur saja, aku rindu mendengar kegelisahan itu pada masa menjelang kantuk ketika hujan memberinya salam. Kau di telefon bergumam seraya mengetik lembar kerjaan. Aku pelan-pelan tidur dininabobokan malam. Hanya bunyi dengkur dan tuts-tuts huruf saling kejar-kejaran, mereka balapan dengan waktu. Dan kau masih harus ke kantor di BPPTKG pukul 7.

Jujur saja, aku rindu menggodamu. Mengatakan hal-hal tabu seperti "andai" atau "jika aku jadi pacarmu." Kemudian kau ikut terjun tanpa parasut. Dan semalaman aku tak suntuk dihasut halusinasi akut soal apa dan bagaimananya. Sampai kemudian kau bercerita keesokannya, tentang dia yang biasa mengantar kau pulang sampai ke depan rumah, dan aku sadar itu semalam hanya remah canda yang berserak di piring-piring permainan kita saja. Akupun bermunafik, mengirimkan kau video lucu dan kuketik "hahahahahahahaha". Renyah sekali rasanya.

(2021)

Sihir Daring dan Cinta Yang KontemporerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang