"Beneran mau dijual?"
Pertanyaan sang adik membuat Ji menoleh, kali ini dirinya tengah memotret motor antiknya yang rencananya akan ia jual.
"Woy!" pekik Jeongwoo memberengut.
Sedangkan yang dipanggil tetap tak bergeming, sibuk memotret motor dari berbagai sisi. Jeongwoo yang daritadi memperhatikan sembari duduk di halaman rumah merasa diabaikan. "Heh Park Jihoon!"
"Beneran mau dijual?" ulang Jeongwoo lagi dengan nada jengah. "Gandeng, urang cuma moto doang." (berisik, gue cuma foto doang).
"Difoto terus ditawarkeun heuh?"
Ji terdiam, fokus melihat hasil jepretan. "Jangan dijual ih. Sayang tau."
Jeongwoo memegang stang motor antik milik sang kakak yang dulu pernah ia pakai. "Banyak kenangannya.."
"Kenangan apa? Kenangan lo sama Dilhar?" usut Ji dengan kedua alis yang terangkat.
Jeongwoo mengerjap, sang kakak bertanya tepat sasaran. "Kalo lo lupa ini motor gue, dibeli juga pake duit gue sendiri. Jadi kalo nanti gue jual, ya bukan urusan lo."
Sang adik menghela napas panjang, tau kalau kali ini Ji sepertinya akan serius menjual motornya. Karena kalau dipikir-pikir, motor itu memang bersejarah. Namun sejarah yang dilewati begitu kelam. Jeongwoo menyadari kalau kini sang kakak sudah berubah. Ji lebih sensitif soal geng motor. Padahal waktu dulu sebelum kejadian dirinya di Riverdos, Ji adalah orang keras kepala yang selalu membanggakan Riverdos dan juga kegiatan geng motor.
Jeongwoo paham dan mengerti, "yaudah."
Ji kembali menatap adiknya, "yaudah apa?"
"Jual aja. Nanti gue minta tolong Dilhar buat tawarin ke temen-temennya. Kali aja ada yang mau."
"Jangan ngambek."
"Siapa juga yang ngambek njir? Ya lo bener. Itu motor lo, dan mungkin banyak kenangan buruknya dibanding yang berkesan. Jadi kalo lo mau ngelupain semuanya, ya jual aja."
Ji mendekat ke arah Jeongwoo, ia merangkul sang adik sembari menatap motornya. "Motor ini udah nemenin gue dari dulu belum jadi apa-apa di Riverdos, sampe jadi apa-apa dan koma."
"Lo tau kan kalo gue udah gak mau lagi ikutan geng? Apapun itu. Sampe Angkasa pun."
Jeongwoo menoleh, "lo ditawarin gabung Angkasa?"
"Dua kali. Pertama sama Dan, yang kedua ya sama pacar lo."
"Tapi serius, walaupun gue tau Angkasa itu gimana, gue gak ada niatan untuk balik lagi. Balik dalam artian ya main di jalanan. Ngerti kan lo?"
"Ngerti."
Ji menepuk pundak Jeongwoo pelan. "Apa yang lo lakuin udah bener." Timpal Jeongwoo sambil tersenyum. Ia senang kalau kakaknya sudah banyak berubah. Tentunya berubah menjadi lebih baik. Ia jadi ingat beberapa tahun yang lalu, saat kakaknya masih berulah dan sering bertengkar dengan orangtua. Jeongwoo akui hubungannya dengan sang kakak juga tidak begitu akur, sering adu mulut dan berakhir Ji yang pergi dari rumah karena selalu dibandingkan dengan sang adik yang merupakan kebanggaan orangtua.
Rasanya seperti baru kemarin memang, tapi ternyata banyak sekali yang sudah mereka lewati. Jauh dari yang Ji tau, adiknya menyimpan rasa kagum terhadap dirinya sekarang. Setidaknya, Ji telah bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri. Dan memutuskan untuk berubah tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan, Jeongwoo paham kalau sang kakak masih perlu waktu untuk melupakan masa lalunya yang kelam.
"Dan nelpon."
"Angkatlah," sahut Jeongwoo kemudian. Ji tersenyum tipis lalu beringsut masuk ke dalam rumah. "Gue mau apel dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilhar.
Fanfictionkisah si panglima tempur dan babywolfnya berlanjut disini. hajeongwoo area. bxb. #7 in hajeongwoo [28/10/21] #6 in hjw [24/11/21] #5 in hjw [20/02/22]