Hujan baru saja reda. Bau tanah basah menguar ke udara. Aku selalu menyukai bau ini. Segar dan sangat natural.
Aku memandang ke luar jendela kamarku. Matahari masih tertutup awan, meskipun hujan tak lagi turun dan yang tertinggal hanyalah uap air yang mengambang kemudian luruh ke tanah.
Aku teringat lima belas tahun yang lalu, aku berdiri di bawah hujan, menangis, berteriak memanggilnya, berharap ia tidak meninggalkanku sendiri disini. Tapi apa dayaku, aku masih kecil saat itu. Ia meninggalkanku dan pergi bersama kedua orang tua angkatnya.
Hingga hari ini, aku masih teringat kilasan kejadian itu. Kejadian saat aku masih berusia lima tahun dan ia berusia delapan tahun.
Sebuah ingatan yang tidak pernah bisa hilang. Yang selalu mengganggu tidur ku tiap malam.
Aku tidak tau bagaimana dan dimana dia sekarang.
"Vien," sebuah tangan menepuk bahuku lembut, membuatku menoleh dan tersenyum.
"Kamu belum makan dari tadi pagi. Sekarang kamu harus makan. Ayo aku temani," Jo menarik lenganku pelan.
"Aku belum lapar, Jo. Nanti saja," sahutku tersenyum tipis.
"Kamu harus makan Vien, kasihan Mama Rianti kalau kamu sampai sakit," Jo terus membujukku. Dan aku menyerah ketika ia menyebut Mama Rianti.
Ya, Mama Rianti adalah wanita yang merawat kami selama ini. Ia seorang wanita yang tulus mencintai kami tanpa mengharapkan pamrih apapun.
Kami yang ada di panti asuhan ini sangat mengasihi dan menghormatinya.
Mama Rianti juga yang memelukku saat aku menangis karena kepergian Bram lima belas tahun silam.
Dulu, dipanti ini, aku, Bram dan Jo sangat akrab. Seperti layaknya saudara kandung. Saat Andi, anak panti lainnya yang sering menggodaku dan menakut-nakutiku dengan serangga, Bram dan Jo selalu berdiri tegak di depanku, melindungiku bahkan berkelahi demi membelaku.
Diantara Bram dan Jo, aku paling dekat dengan Bram. Saat kami semua mendapatkan coklat, Bram selalu memberikan bagiannya padaku. Begitu juga dengan makanan lainnya.
Tanpa kusadari, airmataku meluncur perlahan.
"Vienetta Alodya, sampai kapan kamu terus menerus menangis disitu?" suara Jo terdengar tidak sabar.
Segera kuhapus air mataku. Bergegas menghampiri Jo yang sudah duduk manis di meja makan bersama Mama Rianti, menungguku.
Kucium pipi Mama Rianti dengan sayang dan kuberikan senyum terbaikku, lalu aku duduk di sebelah Mama Rianti.
"Ma, kemana Andi? Kok gak makan bareng kita?" tanyaku melihat kursi didepanku kosong.
"Andi tadi sudah telfon, ia lembur malam ini. Jadi ia makan dikantor," jelas Mama Rianti menjawab pertanyaanku.
"Oh..." sahutku mengangguk.
Kami makan dalam diam. Hanya suara sendok beradu perlahan dengan piring yang terdengar sesekali.
Selesai makan, aku membantu Mama Rianti membereskan piring dan mencucinya. Jo juga ikut membantuku mengeringkan piring-piring yang sudah aku cuci dan meletakkannya di rak piring.
Tiba-tiba aku menyadari satu hal, Jo tidak pernah jauh dariku. Ia selalu ada buatku.
Ingatanku kembali saat Bram meninggalkanku ketika ia diadopsi oleh sepasang suami istri kaya yang tidak mempunyai keturunan. Betapa besar rasa kehilanganku hingga aku histeris.
Saat itu, Jo memelukku, menenangkanku dengan tubuh kecilnya mendekapku, dan tangan mungilnya mengusap air mataku, membisikkan kalimat yang ia tepati hingga hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
RomanceKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.