Bram melempar foto-foto itu ke meja. Wajahnya nampak geram. Aku bisa melihatnya dari tempatku memasukkan belanjaan ke dalam kulkas.
Bram mengeluarkan ponselnya. Ia menghubungi seseorang. Wajahnya nampak keras. Ia menekan suaranya, sehingga aku tidak bisa mendengarnya dari tempatku berdiri. Tidak lama, karena setelahnya, Bram membawa foto-foto itu masuk ke kamar.
Aku segera memanaskan makanan yang tadi sempat kubeli sebelum pulang kerja. Tentu saja dengan menggunakan jasa OB kantorku.
Setelah selesai, aku pun masuk ke kamar. Kulihat Bram sudah selesai mandi. Bau harum sabun yang dipakainya menguar memenuhi ruangan kamarku. Kulirik Bram dengan ekor mataku. Ia tampak sedang berpikir.Dengan sedikit bergegas, aku masuk ke kamar mandi.
Sesudah mandi, aku mengikat kimono kamarku dengan simpul seadanya, lalu menghampiri Bram yang baru saja menutup ponselnya."Bram," panggilku perlahan. Ia menoleh, tersenyum padaku dan menepuk sofa kamar yang sedang didudukinya, menyuruhku ikut duduk disampingnya.
Bram melingkarkan lengannya ke bahuku begitu aku menghempaskan tubuhku di sebelahnya."Bram, kira-kira siapa yang melakukan itu?" tanyaku melihat ke arahnya.
"Aku tidak tau pasti, Vien. Tapi dugaan sementaraku jatuh pada Arin," sahutnya pelan seperti bergumam.
"Tapi aku sama sekali tidak melihat keberadaannya di sekitar ku, Bram. Tidak di cafe ataupun di supermarket. Apalagi di kantor," kilahku dengan heran.
Bram menarikku mendekat, menyandarkan kepalaku ke dadanya dan mengeratkan pelukannya.
"Jangan terlalu dipikirkan. Kamu gak usah takut. Aku akan menjagamu," Bram mencoba menenangkanku."Aku penasaran, Bram. Kenapa dia mengirimkan foto-foto itu? Apa maksudnya?" aku sedikit mendongak melihat reaksi Bram atas pertanyaanku.
"Dia meneror kita, Vien. Seolah menunjukkan bahwa dia ada di sekitar kita," jawab Bram. Wajahnya berubah keras, lalu dengan segera melembut kembali saat disadarinya aku sedang menatapnya.
Apapun yang terjadi saat ini dan yang akan terjadi besok, kusingkirkan dari pikiranku sekarang. Aku hanya ingin menikmati saat ini. Saat kebersamaanku berdua dengan Bram.
-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Aku membuka pintu kayu tebal berwarna coklat gelap dihadapanku. Kulihat sosok tampan itu kini mengangkat kepalanya dari berkas-berkas dihadapannya dan tersenyum lebar ke arahku.
Ia berdiri menghampiriku, dan memelukku, lalu mengecup keningku lama.Bram membawaku duduk di sofa yang berada di sudut ruang di seberang meja kerjanya saat terdengar ketukan di pintu.
"Masuk!" katanya dengan suara berat.
Sekretarisnya masuk setelah mengangguk hormat, lalu menyerahkan amplop coklat pada Bram, yang menerimanya sambil mengernyitkan dahinya.
"Dari siapa?" tanya Bram menatap tajam perempuan muda itu.
"Maaf, Pak. Menurut resepsionis yang mengantar kemari, katanya seorang laki-laki muda yang memberikan amplop itu untuk Ibu," sekretaris itu menunjukku dengan ibu jarinya, sopan.
"Ya sudah, kamu boleh keluar," kata Bram tanpa melihat ke arah sekretarisnya lagi.
Bram mengeluarkan isi amplop itu. Matanya membelalak. Itu foto ku saat aku melangkah memasuki kantor Bram!
Bram dengan geram mengeluarkan ponselnya, membuat sebuah panggilan.
"Arin?" Bram menghubungi Arin? Aku membulatkan mataku menatap Bram. Seketika Bram menekan tombol speaker agar aku bisa mendengar.
"Ya, Bram Sayang? Tumben menghubungiku. Kenapa? Kangen padaku?"
"Aku tau, kamu yang melakukan semua ini!"
"Hahaha.... Bukannya aku sudah memperingatkanmu, Bram?"
"Hentikan, Arin!"
"Kenapa? Ini mengasyikkan, Bram! Hahaha..."
"Dengar! Aku gak akan membiarkanmu mengganggu istriku!"
"Ouch... Aku lupa dia istrimu sekarang.... Sebelum kamu menyandang status du-da! Duda ganteng! Hahaha..."
"Kamu sudah gila, Arin! Ingat kedua orang tuamu! Mereka pasti sedih melihatmu seperti ini!"
"Cih! Tau apa mereka tentangku? Aku tidak peduli, Bram. Siapa suruh kamu mencampakkan ku?"
"Arin, kita ini sepupu!"
"Aku tidak peduli! Toh kamu cuma anak angkat, Bram! Kita tidak ada hubungan darah! Kenapa kamu menolakku?"
"Arin! Jangan menguji kesabaranku! Kamu tau aku kan?"
"Aku mengenalmu dengan sangat baik, Sayang. Dan... Ingat, panti asuhan itu taruhannya jika kamu berani macam-macam!"
Arin memutuskan percakapan.
"Jangan gila Arin! Hallo! Arin! Arin! Uh, shit!"
Bram menghubungi Arin lagi. Tapi terdengar nada ponsel tidak dapat dihubungi. Arin pasti mematikan ponselnya.
Bram mengacak rambutnya geram.
Kusentuh bahunya, dan sedikit mengusapnya, mencoba menenangkannya. Aku tau, ia lebih khawatir daripada aku.
"Mmm... Bram, aku tau ini masih siang, tapi... Kita pulang saja yuk, Bram," aku berbisik manja di telinganya.
Aku terpaksa melakukannya, mengalahkan rasa malu karena berlaku genit pada suamiku. Dan ini diluar kebiasaanku. Bukan style ku sama sekali!
Aku tidak tega melihatnya seperti ini. Mencemaskanku, berusaha menjagaku dari seseorang di masa lalunya. Konsekuensi atas pilihannya meninggalkanku dulu, demi mewujudkan impiannya, dan menjadikanku pengantinnya sekarang.Aku memeluknya dan melingkarkan lenganku di lehernya dan menatap matanya.
Bram tersenyum lebar. Ia mencubit ujung hidungku dengan gemas, lalu melingkarkan sebelah lengannya ke pinggangku dan menarikku berdiri. Aku menurut saja saat ia menarikku berjalan keluar ruangannya sambil ia menelfon supirnya agar siap di depan lobby.-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua menghampiriku saat aku baru saja turun dari mobil, memberikan sebuah amplop lagi. Kali ini aku tidak bertanya. Hanya mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Dan menerima amplop itu kemudian mengucapkan terimakasih padanya. Kupandangi anak itu berlari ke seberang jalan dan berbaur dengan anak-anak lainnya sebelum menghilang dari pandanganku.
Bram mengambil amplop itu dari tanganku dan membukanya. Ia tampak membelalak ngeri.
Refleks kuambil foto itu setelah melihat ekspresinya.Fotoku bersama Bram saat berjalan berdua, tapi gambar diriku disilang dengan spidol warna merah. Seolah-olah aku menjadi target.
Bram memandangku cemas. Aku menghela nafas lalu tersenyum memeluknya.
Aku sengaja melakukannya di tempat terbuka. Agar Arin semakin kesal dan membuatnya marah.Bram menatapku heran.
"Vien?""Tidak apa-apa Bram. Jika dia melihat ini, aku ingin dia menunjukkan dirinya sekarang. Aku capek diteror seperti ini."
"Tapi Vien, ini membahayakanmu!"
"Kamu akan menjagaku bukan?" aku tersenyum padanya. Aku yakin Bram cemas. Tapi aku tidak ingin masa lalu Bram akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Kalau mau meledak, biar ia meledak sekarang.
Aku mencium Bram lembut. Aku yakin Arin melihat kami.
Lalu terdengar suara decitan mobil yang gas nya disentak mendadak.
Aku dan Bram menoleh, kulihat mobil sport warna hitam menyentak melaju kencang, beberapa saat kemudian dua buah mobil lain mengikuti mobil hitam itu.Bram bergegas menggandengku masuk ke apartemen.
BERSAMBUNG...

KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
RomansaKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.