#9

28.2K 2.1K 5
                                    

"Karena aku Abraham Dionito Sasmita!"

Aku mengerutkan dahiku tidak mengerti.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Dio!"

"Coba kamu lihat lagi dengan sungguh-sungguh. Apa kamu sama sekali tidak ingat siapa aku?"

Aku menatapnya lekat. Aku tidak ingat sama sekali! Aku hanya merasa pernah bertemu dengannya. Garis wajahnya mengingatkanku pada seseorang yang akupun lupa dimana dan kapan.

Aku menatap Dio sambil menggeleng, menyerah pada ingatanku.

"Kamu sama sekali gak ingat? Tapi kamu pasti gak lupa kata-kata ini, aku mau kamu menjadi pengantinku saat kita dewasa nanti, inget?" tanya Dio tersenyum menatap lekat ke mataku.

Tubuhku bergetar hebat. Tentu saja aku ingat. Aku mengingat setiap detil kata saat ia mengucapkan kalimat itu. Setelah sekian lama, ia menepati janji masa kecilnya dengan cara yang sama sekali tidak pernah kusangka.

"Kamu... Bram? Tidak mungkin!" aku belum bisa percaya begitu saja. Tiba-tiba semua keraguanku buyar sudah. Garis wajah itu, aku selalu merasa mengenalnya. Terlebih sorot mata dan senyum mencibirnya. Airmataku mengalir begitu saja. Rasa haru, senang, kesal, marah, bahagia bercampur menjadi satu, membuat dadaku sesak.

"Aku kembali untukmu, Vivien-ku," tawanya terdengar menyakiti telingaku.

"Kenapa kamu kembali?" tanyaku ketus mengingat kepergiannya dulu.

"Untuk masa depan kita," senyum Dio eh Bram... Ah... Siapa pun dia, dia adalah Bram kecilku dulu.

"Kenapa bohong?" tuntutku.

Bram menaikkan kedua alisnya.
"Aku tidak bohong. Memang Andi sudah melakukan kesalahan fatal, dan merugikan perusahaan milyaran rupiah. Dan dengan mudah aku tau apa yang melatar belakangi perbuatannya. Dia jatuh cinta padamu! Lalu dengan gampang ia membawa sertifikat panti. Dan menurutmu, apa yang harus kulakukan, saat aku tau ia hendak merebut pengantinku?" tanya Bram memandangku.

"Lalu nama kamu?"

"Dari dulu Namaku Abraham Dionito. Sasmita adalah nama ayah angkatku. Kamu tidak pernah menanyakan nama lengkapku dulu!" katanya merajuk.

"Aku belum sempat menanyakannya! Dan kenapa kamu gak jujur aja bilang kalau kamu Bram?" cecarku lagi.

"Hmm.... Aku sudah bilang padamu, namaku Abraham Dionito Sasmita. Aku gak bohong sama kamu," katanya mencubit hidungku gemas, mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Aku mendorong dadanya, menciptakan jarak diantara kami. Air mataku kembali mengalir.

"Kamu mempermainkanku, Bram! Kamu jahat!" ujarku menolak sentuhannya untuk mengusap air mataku.

"Vivien, maaf membuatmu kesal karena menungguku begitu lama. Tapi, percayalah bahwa tidak sedetik pun aku melupakanmu," Bram mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Mata elangnya menatapku lekat, mengalirkan keseriusan.

Aku masih sibuk dengan tangisku. Begitu banyak pertanyaan berdesakan diotakku yang ingin kutau dan harus dijawabnya.

"Siapa lagi yang tau kalau kamu ternyata Bram?" aku menatapnya kabur, karena mataku penuh.

'Mmm.... Hanya Jo!" ujarnya dengan kening berkerut.

"Dan Jo sialan itu juga membantumu dengan sandiwara yang kamu sutradarai ini," sahutku kesal.

"Jo baru tau siapa aku setelah resepsi pernikahan kita, sweety," Bram mengelus lembut pipi basahku. Lalu dengan bibirnya, Bram menghapus airmataku disana.
Aku tak menghiraukan perbuatannya, ingatanku melayang saat Jo mengajak Dio untuk berbicara berdua saja. Dan saat itu Bram membongkar jati dirinya pada Jo. Pantas saja, Jo terlihat santai sekembalinya mereka.

"Vien," panggil Bram menggelitik telingaku. Tangisku sudah berhenti. Pipiku sudah kering. Tapi bibir Bram masih menjelajahi wajahku.

Aku mendorong nya menjauh. Kalau Bram bisa mempermainkanku, aku juga bisa!

"Cukup Bram! Hentikan! Dengar, aku marah! Kamu sudah mempermainkanku seperti ini. Siapa kamu berhak mempermainkanku seperti ini? Kenapa kamu menjebakku dalam pernikahan? Kenapa?" bentakku. Aku mengejeknya dalam hati. Rasain!

Mata Bram membelalak mendengat bentakanku. Ia menatap mataku menyelidik. Cukup lama sebelum ua tersenyum, memelukku dan tanpa peduli dengan kemarahan yang kutunjukkan padanya, ia mulai menciumiku lagi hingga kewarasanku mulai memudar.
Saat aku membalas lumatannya atas bibirku dengan melingkarkan lenganku di lehernya, Bram melepaskan bibirku dan menatapku.

"Kamu bukan artis yang baik! Semua sandiwaramu tertebak dengan mudah!" Bram tertawa dengan gemas melihat wajahku merona.

"Tapi aku benar-benar kesal sekarang!" sahutku ketus.

"Kenapa?" tanya Bram menatapku lagi. Kali ini ia menemukan kesungguhan disana.

"Kamu merusak suasana!" aku mengerucutkan bibirku kesal.

Bram tertegun sejenak, lalu tertawa.

"Maaf," katanya, lalu melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti.

Kini, aku menikmati semua yang diberikan Bram padaku. Cinta masa kecil itu membuatku melambung tinggi. Semua beban yang mengganjal di hatiku terlepas sudah.
Ya, aku mencintai Bram! Cinta yang sudah ada sejak aku masih kecil. Aku mencintai dan terus mencintainya hingga dewasa, hanya dengan memegang janji masa kecil kami. Janji nya untuk menjadikanku pengantinnya.

Bram mendesah, menyebut namaku dalam setiap desahannnya. Membawaku ke awang-awang. Terlebih saat ia meleburkan dirinya menjadi satu denganku. Aku menjeritkan namanya. Sama seperti ia meneriakkan namaku.

BERSAMBUNG...

Sorry kalau ceritanya jadi gak jelas.... Dan...sorry juga karena lama update nya... Juga sorry... Karena banyak typo bertebaran....

Happy reading ...

A WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang