Abraham Dionito Sasmita POV.
Aku memandangi tubuh mungil berbalut selimut itu menghilang di balik pintu kamar mandi.
Kami baru saja bercinta dengan gairah yang membara. Namun sesudahnya, wanitaku itu mengatakan ingin berpisah dariku. Tentu saja kutolak mentah-mentah. Aku tidak akan pernah melepaskannya, apapun yang terjadi.
Aku egois? Ya! Aku tidak akan sudi melepasnya. Ia terlalu berharga buatku. Seandainya Arin meminta seluruh perusahaan yang ku punya, aku akan berikan, asal tidak memisahkanku dari istriku.Dan semua ini gara-gara Arin! Kemana dia akhir-akhir ini? Setelah kejadian itu, dia tidak pernah muncul lagi. Dan hal ini justru makin membuatku cemas.
Rencana apa lagi yang ada dalam pikirannya? Menyusun rencana untuk mencelakakan Vivienku lagi?
Orang-orang ku belum juga memberi kabar padaku. Apakah sudah ada titik terang? Ataukah mereka belum menemukan apa-apa?Kulirik pintu kamar mandi yang masih tertutup. Kenapa Vivien lama sekali di dalam sana?
Aku yakin, Vivien masih mencintaiku. Ia tidak akan meresponku sepanas tadi kalau dia tidak mencintaiku.Aku tersenyum miring mengingat apa yang baru saja kami lakukan. Desahannya membuatku tidak berdaya menahan ledakan hasrat dalam diriku yang teramat merindukannya.
Bibir manisnya yang membalas ciumanku membuatku semakin ingin merasainya lagi dan lagi.Vivien benar-benar membuatku mabuk kepayang. Kehilangan senyumnya seminggu ini membuatku hampir gila.
Tapi permintaan sesudahnya bisa membuatku gila beneran.
Apa katanya tadi? Berpisah? Itu benar-benar ide tergila yang pernah ia lontarkan!Aku melirik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Apa yang dilakukan Vivien di dalam sana? Kenapa lama sekali?
Aku mengenakan celana boxer ku dan berjalan menuju pintu kamar mandi itu lalu mengetuknya."Vien? Kamu gak apa-apa, kan?" panggilku mulai cemas.
Pintu terbuka perlahan. Kulihat rambut istriku basah. Bukan hanya rambutnya, matanya sembab, pasti ia habis menangis. Hidungnya memerah. Aku tercekat menatapnya. Sedalam itukah luka hatinya? Hatiku nyeri melihatnya. Kupeluk Vivien erat. Ia meronta, ingin melepaskan diri. Aku makin mengeratkan pelukanku, hingga akhirnya kurasakan ia pasrah dalam dekapanku.
Aku berlutut dihadapannya, kugenggam erat jemarinya. Mencium perut datarnya yang terbungkus baju handuk berwarna biru muda itu.
Aku mendongak menatapnya dengan mata memanas.
"Vien, aku mohon, percaya padaku. Aku minta maaf jika aku tidak bisa memberikanmu bukti bahwa kejadian itu tidak seperti yang kamu lihat. Aku hanya ingin kamu percaya padaku, aku mencintaimu dengan seluruh hatiku, hidupku! Vien, aku mohon, jangan pernah berpikir untuk berpisah dariku. Karena aku tak akan pernah sanggup," aku memeluk pinggangnya, setetes airmata keluar begitu saja.Vivien masih mematung, tidak bereaksi. Aku menengadah menatap wajahnya. Ingin rasanya aku mengunci waktu, agar aku selalu bisa bersamanya. Agar aku tetap memeluknya.
Perlahan Vivien menunduk memandangku. Tangannya menarik lenganku agar berdiri.
"Bram, aku mencintaimu, dan aku ingin sekali mempercayaimu. Tapi tolong beri aku ruang, untukku berpikir, agar keraguanku hilang," ucap Vivien gemetar. Berusaha menguatkan diri.
Bagaimana mungkin aku bisa menjauh dari orang yang sangat kucintai? Vivien memberikan ku pilihan yang sulit.
"Baiklah Vien. Besok aku antar kamu ke panti," aku mengalah. Ini yang bisa aku lakukan karena aku tidak mungkin memilih berpisah dalam artian yang sesungguhnya. Aku memilih memberinya waktu agar ia bisa menumbuhkan rasa percayanya, bahwa apa yang terjadi tidak seperti yang dilihatnya waktu itu.
Vien menggeleng.
"Tidak perlu, Bram. Aku bisa pergi sendiri. Dan aku pergi hari ini," jawabnya membuatku putus asa. Bahkan mengantarnya ke panti pun aku tidak boleh.

KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
RomanceKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.