#14

27.2K 1.7K 6
                                    

"Kamu terlalu berani mengambil resiko, Vien. Bagaimana kalau dia bawa pistol atau apapun yang bisa melukaimu?" protes Bram memegang kedua bahuku.

"Aku akan ambil resiko apapun, Bram. Agar semua ini cepat selesai," kataku memegang kedua pipinya.

"Tapi aku tidak mau kamu celaka, Vien," Bram memelukku erat.

"Aku capek diteror kaya gini, Bram. Aku mau kita bisa hidup normal," kataku balas memeluknya.

Ponsel milik Bram berbunyi. Bram melepaskan pelukannya atasku. Ia menerima panggilan itu dan menjauh dariku.

Kuamati wajahnya. Ia tampak geram. Lalu dimatikannya sambungan telfonnya dan menghampiriku dengan wajah cemas.

"Ada apa?" tanyaku melihat kecemasan yang sangat di sorot matanya.

Bram memejamkan matanya sejenak, kemudian tersenyum.
"Tidak apa-apa," kata Bram.

"Aku tau kamu bohong! Kamu menyembunyikan sesuatu, Bram! Kenapa kamu tidak mau jujur? Aku lebih menyukai kejujuran meskipun itu menyakitkan daripada kebohongan yang manis, tapi pada akhirnya menyakitiku juga," tuntutku kesal melihat Bram yang terkesan menutup-nutupi sesuatu.

"Kamu lucu kalau lagi kesal seperti ini," ia terkekeh geli, mencoba meraihku. Aku menjauh darinya.

"Kok ngambek?" Bram mengerutkan dahinya.

Aku keluar dari kamar, lalu duduk di sofa depan dan menyalakan televisi.
Aku hanya ingin Bram terbuka padaku. Aku tidak mau Bram menyimpan sendiri semua masalah. Aku ingin ia mau membaginya denganku.

Aku mulai terlarut dengan cerita film di televisi ketika Bram duduk disampingku.

"Vien," panggilnya pelan.

Aku hanya meliriknya, tapi tetap bungkam. Aku masih kesal padanya.

"Kamu marah ya?" Bram beringsut mendekat.
Aku bergeser menjauhinya. Ia bergeser mendekat lagi. Aku menjauh lagi hingga punggungku membentur pinggir sofa.
Dengan kesal kuhentakkan kakiku, berjalan cepat masuk ke kamar dan menuju ke balkon.

Angin dingin menyambutku begitu aku berada di balkon. Kimono kamar yang tipis tidak mampu menahan dinginnya udara malam itu.

Ingatanku kembali pada foto-foto itu. Arin! Kenapa dia melakukan semua ini? Apa dia menginginkan Bram? Sebegitu besar ia ingin memiliki Bram? Lalu apa yang harus aku lakukan? Arin begitu membenciku. Dan dengan kejadian sore tadi, aku yakin Arin tidak akan tinggal diam. Entah apa yang akan terjadi besok, aku tak peduli. Aku sudah lelah dengan semua ini.

Sepasang tangan menyentuh bahuku. Tanpa menengok, aku menepis tangan itu, lalu berbalik hendak masuk ke kamar. Bram mencekal lenganku erat.

"Lepasin Bram!" desisku kesal.

"Nggak akan!" gelengnya tegas.

"Apa apaan sih kamu?" cetusku makin kesal.

"Kamu yang apa apaan," kata Bram menatapku tajam.

"Aku cuma ingin kamu berbagi, Bram
Sesulit itukah?"

"Aku hanya ingin menjagamu, Vien
Melindungimu!"

"Terserah kamu, Bram," sahutku lelah berdebat dengannya.
Aku melepaskan cekalannya dan berjalan masuk.

Bram menyambar lenganku dan menyentakkannya hingga aku membentur tubuh tegapnya. Dan segera didorongnya tubuhku hingga bersandar di pintu kaca pembatas antara kamar dan balkon.
Lalu tangan kuat Bram memegang kedua tanganku, menempelkannya melekat ke kaca yang kusandari, kemudian tubuhnya ditekankan ke tubuhku. Wajahnya begitu dekat hingga hembusan nafasnya terasa di wajahku.

A WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang