Vienetta Alodya POV
Kutatap punggung Jo yang membelakangiku. Aku menghela nafas. Aku tau, berat bagi Jo untuk menerima semua itu. Tapi aku salut padanya. Setelah dua minggu lebih ia berperang dengan hatinya sendiri, Jo akhirnya membuat keputusan menerima semua tanggung jawab yang dibebankan padanya.
Ada rasa tidak tega melihat Jo yang mempersiapkan pernikahannya dengan Clarissa. Ya, Clarissa sudah mengandung anak dari Grand, kakak tirinya. Ia dengan jiwa besar menerima semua tanggung jawab yang seharusnya bukan untuknya.
"Sayang," sepasang tangan melingkar di bahuku. Tanpa menolehpun aku tau dia siapa.
"Bram, aku kasihan liat Jo. Pasti sakit sekali rasanya," aku meletakkan kepalaku bersandar di bahu Bram.
"Ya. Beban yang di pikulnya terlalu berat. Tapi semua keputusan ada pada Jo, Vien. Kita cuma bisa mendoakan dan mendukungnya. Semoga Jo mendapat yang terbaik," Bram mengusap perutku lembut.
"Hmm Vien, menurutmu aku harus mengambil cincin yang mana?" Jo menunjukkan dua model cincin untuk pernikahannya dengan Clarissa.
"Kurasa yang kiri itu lebih simpel dan manis, Jo," aku mengutarakan pendapatku. Kulihat Jo tersenyum tipis dan mengangguk, lalu menyerahkan cincin yang kupilih itu pada pramuniaganya untuk di grafir nama di dalamnya.
Aku memandang Jo nanar. Jo yang sejak kecil selalu menjadi pelindungku dan penghiburku saat Bram meninggalkanku, kini dengab kerelaan hatinya, ia akan menjadi pelindung bagi Clarissa dan anak dalam kandungannya.
Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Tangan Bram mengusap pipiku lembut.
"Jangan menangis di hadapan Jo, Vien. Jangan membuatnya goyah," bisik Bram lirih ditelingaku. Aku mengangguk kecil. Kugenggam jemari Bram erat, mencari kekuatan di sana.
-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Pernikahan itu berjalan hikmat. Jo menjalaninya dengan ketegaran yang luar biasa hebat. Aku tau, bagaimana perasaan Jo. Aku tau sehebat apa pergulatan batinnya menjalani semua ini.
Aku menitikkan air mata karena tidak tega melihat Jo dengan tubuh tegapnya berdiri di samping Clarissa. Senyumnya mengingatkanku saat aku menikah dengan Dio yang saat itu belum aku tau kalau dia adalah Bram. Bram-ku yang sudah membuatku merasa kehilangan selama lima belas tahun lamanya. Ya, senyuman itu palsu. Palsu!
Kurasakan lengan Bram menarikku lembut, membenamkan wajahku ke dada bidangnya. Aku tau, Bram merasakan hal yang sama denganku.
Tanpa terasa, akhirnya resepsi pernikahan ini usai juga. Jo menghampiri tempat aku dan Bram berdiri."Boleh gue minta sesuatu pada kalian?" tanya Jo memandangku dan Bram bergantian.
Aku dan Bram mengangguk kecil. Apapun Jo, asal lo bahagia.
"Gue minjem apartemen lo," Jo tersenyum tipis.
"Kenapa lo gak tinggal di rumah Bokap lo?" tanya Bram mengerutkan dahinya.
"Cuma buat sementara aja, Bram! Pelit amat sih?" Jo mencibir.
"Bukannya pelit, apa sih yang gak buat lo. Kalau lo tinggal di apartemen, Bokap lo sendirian di rumah. Kalau ada apa-apa, gimana?" Bram menjawab dengan dahi berkerut.
"Bram, ada dua security, satu driver dan tiga pembantu di rumah itu. Memang kurang ya?" tanya Jo menjenggitkan alis tebalnya.
"Hehehe.... Oke Jo, terserah lo aja. Kunci apartemen bisa lo ambil di rumah, atau perlu gue anterin?" Bram terkekeh memberi tawaran.
"It's okay. Biar gue yang ambil. Malam ini gue tidur di hotel kok," kata Jo membalas kekehan Bram.
Aku tersenyum menatap kedua laki-laki di hadapanku. Keduanya ksatria-ksatria yang selalu berdiri di depanku saat bahaya mendatangiku, dan bersiap di belakangku saat aku membutuhkan dukungan.

KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
Storie d'amoreKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.