#2

40.3K 2.5K 15
                                    

Andi menarikku agar berjalan lebih cepat. Acara akan segera dimulai, kata Andi tadi. Tapi aku tidak bisa menyamai langkahnya. Heels yang aku pakai ini menyakiti kakiku. Tingginya dua belas senti membuat tubuh mungilku seperti berjalan menggunakan egrang.

"Agak cepet jalannya, Vien. Telat nih," Andi menarik tanganku lagi, membuatku terseret-seret dibelakangnya.

Andi membuka pintu kaca besar di hadapan kami. Suara dengungan seperti lebah terdengar. Riuh. Aku segera mencengkeram lengan Andi. Aku memang tidak suka keramaian. Kenapa Andi membawaku ke tempat yang ia tau pasti aku tidak menyukainya?

Andi menyuruhku duduk di kursi yang ada di sudut.

"Vien, jangan kemana-mana. Tunggu aku disini, oke?" aku hanya mengangguk patuh.

Acara sambutan dan segala formalitas acara berlangsung begitu saja tanpa mendapat perhatian dariku. Aku sibuk dengan ponselku sendiri.

Tiba-tiba Andi datang, menarikku berdiri dan mengajakku ke sebuah ruangan. Sepertinya ruang pemilik perusahaan tempatnya bekerja.

Ada seseorang berdiri membelakangiku di sana.

"Pak Dio," panggil Andi perlahan dengan nada penuh hormat.

Laki-laki itu membalikkan badannya. Ia menatap kami bergantian.

"Hmm... Ini yang kamu bilang adik angkat kamu? Siapa namanya?" tanya laki-laki itu mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki, membuatku ingin melempar heels ku ke muka handsome nya.

"Vienneta Alodya, Pak," jawab Andi melirikku sekilas. Genggaman tangannya kurasakan mengerat.

Laki-laki itu membelalak, kilasan matanya menandakan ia terkejut, tapi hanya beberapa saat. Tatapannya kembali tajam pada Andi.

"Kamu boleh keluar, tinggalkan adikmu disini," ujarnya dingin.

Aku melotot. Menggenggam jemari Andi sangat erat. Apa maunya? Aku tidak mau ditinggal berdua hanya dengan laki-laki itu.

"Vien, maafin gue. Gue gak ada cara lain. Ini satu-satunya cara. Please, lo akan ngerti nanti," Andi melepaskan peganganku, menepuk lenganku sekilas dan meninggalkanku di ruangan dingin itu berdua dengan atasannya yang sekarang menatapku lekat.

Aku melangkah mundur. Laki-laki itu mendekat. Semakin aku mundur, langkah lebarnya semakin mendekat. Hingga akhirnya aku tidak dapat mundur lagi, karena punggungku membentur pintu kayu tebal. Jarakku dengannya hanya setengah meter. Aku berbalik hendak membuka pintu yang sialnya sudah dikunci menggunakan remote control yang ia pegang.

"Kamu siapa? Apa mau kamu?" desisku takut. Aku yakin, wajahku sudah memucat seperti mayat saat laki-laki itu meraih lenganku, menyeretku duduk di sofa yang ada di sudut ruang.

"Vienneta Alodya. Hmm.... Aku akan menjelaskan satu hal padamu. Kamu tinggal bersamaku, atau kakakmu dan panti asuhan itu lenyap," seringainya membuat hatiku mencelos.

"Apa maksud kamu?" tanyaku memberanikan diri.

"Andi, ia tidak bercerita apapun padamu?" tanya laki-laki itu menatapku tajam penuh selidik.

Aku menggeleng, menantang matanya. Sorot mata dan senyum mengejek itu membayangiku. Seolah aku pernah melihatnya. Tapi entah dimana dan kapan.

"Baik, aku akan menjelaskan untukmu. Andi, kakakmu, ah... Bukan... Kakak angkatmu di panti asuhan itu... Membuat kesalahan fatal, mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi perusahaanku. Dan ia harus mengganti kerugian itu. Empat hari yang lalu, ia membawa sertifikat tanah panti asuhan tempat ia dan kamu tinggal. Menjadikan sertifikat itu jaminan, hingga ia mampu melunasi hutang-hutangnya. Mau sampai kapan? Bahkan hutangnya lebih besar dari harga panti itu kalau dijual," desisnya tajam, tapi mampu merobek gendang telingaku. Aku tidak menyangka, Andi begitu nekat menjaminkan sertifikat panti untuk menutup hutangnya.

A WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang