Satu minggu sudah aku tinggal di rumah besar ini. Aku berusaha menghindari pertemuan dengan Bram. Aku yakin dia merasakan itu. Tapi Bram tetap berusaha mendekat. Aku tidak tau apa maksudnya menahanku di rumah ini. Apartemennya yang dulu kami tinggali apakah masih ada? Ataukah sudah beralih kepemilikan? Atau barangkali Arin yang menempatinya? Sejauh apa hubungan mereka? Kepalaku berdenyut-denyut setiap kali aku memikirkan hal itu.
Aku masih berdiri di balkon kamarku, memandang taman penuh bunga di bawahku, ketika Sari mengetuk pintu dan memberitahukan bahwa ada tamu untukku.Aku berjalan malas ke ruang tamu. Kulihat ada Jo di sana.
"Tumben kamu ingat aku, Jo?" kusapa Jo sekenanya.
"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Mau?" tanya nya menaikkan kedua alis tebalnya.
"Kemana? Kamu sudah ijin dengan tuan besar rumah ini? Aku tidak mau kamu kena damprat karena mengajakku keluar," ujarku setengah mengejek.
"Hahaha... Tentu saja sudah. Kalau belum, mana aku diperbolehkan masuk ke rumah ini oleh satpam di depan?" Jo terkekeh menertawakan Bram yang mengurungku di rumah besarnya ini.
"Bagus! Ayo kita pergi. Aku sudah tidak tahan berlama-lama di sini," ajakku menarik lengan Jo.
Aku dan Jo keluar dari rumah. Kulihat sebuah mobil berwarna biru tua metalik terparkir manis di depan pintu utama.
"Ini mobilmu, Jo?" tanyaku membelalakkan mata.
Jo mengangguk.
"Masih nyicil. Tapi lumayan, daripada kemana-mana naik taksi atau nebeng temen," senyum Jo nyengir."Aku masih punya tabungan kalau kamu mau, Jo. Hasil keringatku sendiri," aku menawarkan pada Jo.
"Simpan untukmu sendiri, Vien. Siapa tau kamu membutuhkan nanti. Ayo kita berangkat," ajaknya. Dan sebentar kemudian, kami sudah membelah padatnya jalan raya.
Kami berhenti di sebuah cafe, aku ingat, Jo pernah turun di sini sepulangku dari rumah sakit.
Jo membawaku masuk ke sebuah ruang kerja.
"Ini kantorku, Vien," Jo merentangkan tangannya lebar-lebar."Bener?" tanyaku takjub.
"Aku menyisihkan sebagian besar uang hasil kerjaku, lalu inilah jadinya. Untung Bram mau mereferensikan dan menjaminku untuk mengambil pinjaman di Bank. Maka jadilah cafe ini," senyum Jo lebar.
Aku diam. Kenapa semua harus berhubungan dengan Bram?
"Vien, pagi tadi Bram ke panti. Ia cerita tentang kamu. Kenapa Vien? Beri kesempatan Bram untuk menjelaskannya padamu," kata Jo hati-hati."Jo, kalau kamu masih membawa-bawa Bram, aku pulang! Aku gak suka! Urusan ini bukan urusan kamu, Jo!" sentakku tajam.
"Aku tau, Vien. Tapi sudah seminggu, dan kamu tidak pernah memberinya kesempatan itu. Aku hanya sekedar mengingatkan, Vien. Kamu ini istrinya. Seharusnya kamu percaya padanya," Jo mencoba melunakkan hatiku.
Bram kurang ajar! Bisa-bisanya dia menggunakan Jo untuk melemahkanku!"Jo, antarkan aku pulang! Sekarang! Aku tidak mau ribut di sini. Kalau kamu tidak mau, aku bisa pulang naik taksi!" aku berjalan menuju pintu. Jo mengejarku.
"Vien, oke, aku antar!" putusnya cepat.
Tidak lama kemudian, Jo sudah mengantarkanku kembali ke rumah.
Kulihat mobil Bram di sana. Hmm... Sudah pulang dia rupanya.
"Aku langsung balik, ya Vien. Sepertinya Bram sudah pulang. Bicaralah padanya. Jangan mendiamkannya terlalu lama," Jo mengingatkanku, lalu tersenyum, menepuk lenganku pelan dan masuk ke mobilnya dan berlalu dari rumah besar Bram ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
RomantikKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.