#4

32.1K 2.4K 12
                                    

Aku jatuh terduduk di tempat tidur besar itu. Pasrah menatap sorot kemarahan di mata Dio. Aku tau, tidak seharusnya aku menyinggung nya. Biar bagaimanapun, aku sudah sah menjadi istrinya.
Aku melihat Dio perlahan menghampiriku, memegang bahuku dan tiba-tiba menciumku dengan kasar.
Aku berusaha melepaskan diri dari pelukan dan ciumannya. Tapi sebesar apa sih tenagaku kalau dibandingkan dengan kemarahannya?
Tanpa sadar airmataku sudah meluncur tak terkendali.
Dengan sebelah tanganku mencengkeram erat bagian atas piyamaku, sebelah tanganku lainnya berusaha menahan tubuhku agar tidak jatuh telentang di kasur besar itu.

Dio terus menciumku sambil berusaha menyingkirkan tanganku yang mencengkeram bagian atas baju tidurku dan mendorongku dengan kuat hingga tanganku yang semula menopang tubuhku agar tidak terlentang menjadi lemah.
Tangannya berusaha menyentuh apapun yang bisa ia sentuh. Dan sekarang ia sudah berada di atasku.
Isakanku makin keras, berbaur dengan rasa takutku.
Namun tiba-tiba Dio melepasku, dan berderap keluar kamar dengan membanting pintu, meninggalkan aku yang meringkuk sambil menangis di atas kasur besarnya.

Entah berapa lama aku menangis, hingga akhirnya aku tertidur dengan posisi yang sama seperti saat Dio meninggalkan aku tadi. 

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Aku menggeliat mendengar suara berisik di dekatku. Perlahan kubuka mataku, dan kulihat Dio sedang memasukkan beberapa bajunya ke dalam travel bag, dan mengambil kaus ber-krah berwarna putih untuk dipakainya.
Ia melihatku menggeliat, segera menghampiriku dan tersenyum.

"Morning my wife," Dio membungkuk memberiku kecupan di dahiku dan membantuku duduk.

Dahiku berkerut melihatnya tersenyum seolah semalam tidak terjadi apapun antara kami. Tidak ada raut wajah kesal ataupun marah nampak di wajahnya.
Kemana perginya raut marahnya kemarin? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku mengusir keheranan yang hinggap di kepalaku.

"Sekarang kamu mandi gih, bentar lagi kita harus ke bandara," ucap Dio lembut mengecup pipiku.

Aku mengangguk kecil dan menyeret kakiku masuk ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

Dua setengah jam kemudian, kami sudah berada di dalam pesawat, menunggu take off yang akan membawa kami ke Bali.

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Udara panas menyerbu wajahku ketika kami berjalan keluar dari Bandara Ngurah Rai Bali.
Sebuah mobil berwarna putih keluaran terbaru membawa kami menuju sebuah hotel mewah di kawasan Nusa Dua.

Kamar yang kami tempati benar-benar tak pernah aku bayangkan. Dengan view pantai dan lautan lepas, membuatku merasa nyaman dan tenang.

Aku sedang menikmati sapuan angin laut diwajahku saat aku berdiri di balkon kamar, ketika sebuah tangan melingkar di pinggang hingga perutku. Kurasakan punggungku menempel lekat pada dada bidang Dio.
Aroma musk menyentuh ragaku, membuatku memejamkan mata menikmati keharuman yang teramat kusuka.

"Mau jalan-jalan bersamaku?" Dio menawariku sambil menyentuhkan bibirnya ke lekukan leher dan bahuku.

Aku mengangguk, berusaha melawan keinginan untuk berlama-lama menghirup wangi parfum di tubuhnya.

Dio menarik lenganku halus, mengajakku keluar kamar.
Ternyata mobil yang tadi menjemput kami sudah siap di depan lobby.
Dengan santai Dio berjalan tanpa melepas rangkulan tangannya di bahuku.

Kami mengunjungi seminyak dan berlama-lama di Kuta, memanjakan kaki telanjang kami menyusuri garis pantai yang berpasir putih.
Menjelang malam kami baru kembali ke hotel.

Begitu masuk ke kamar, aku langsung membersihkan diri di kamar mandi, sementara Dio duduk di sofa sambil menonton televisi.

Setelah selesai, aku dengan memakai piyama ku keluar dari kamar mandi dan menjalankan rutinitasku membersihkan wajahku yang seharian ini terpanggang matahari meskipun sudah kulapisi dengan anti uv.
Sekilas dapat kulihat dari kaca, Dio bergegas masuk ke kamar mandi.
Aku segera merebahkan diri di tempat tidur, menyelimuti tubuhku hingga hanya terlihat kepalaku saja dan memejamkan mataku. Aku tidak ingin mengulangi kejadian kemarin malam.

Pintu kamar mandi terbuka. Aku mendengar gumaman tidak jelas dari mulut Dio.
Ia duduk di pinggir tempat tidur dan menyentuh bahuku perlahan.

"Vien, kita makan dulu yuk," ajaknya setengah berbisik.
Aku diam saja, tidak merespon ajakannya.

"Vien," kurasakan Dio mengguncangkan bahuku pelan.

Aku terus bertahan memejamkan mata, pura-pura terlelap.

"Kamu kecapekan ya? Kasihan," gumamnya, lalu mengecup keningku lembut dan berjalan menjauh.
Aku tidak berani bergerak. Seolah bergerak sedikit saja, akan membuatku sakit.

Kira-kira hampir satu setengah jam aku bertahan di posisiku, aku mulai lelah. Aku ingin berbalik, tapi kuurungkan karena kurasakan ranjang tempatku tidur bergoyang seperti di muati benda berat.

Belum sempat aku mengintip apa yang terjadi, tangan Dio sudah melingkar dengan manis di pinggangku. Ia menyurukkan wajahnya ke leherku dan menciuminya.
Mati-matian aku menahan geli dan desahan yang mendesak hendak meloloskan diri dari mulutku.

Aku bingung harus berbuat apa. Aku sudah tidak tahan dengan kegelian yang dibuat Dio padaku.
Aku pura-pura menggeliat, merasa terganggu dengan perlakuannya.
Namun aku salah, justru ia menggunakan kesempatan itu untuk mengubah posisiku yang semula meringkuk menjadi telentang.

Jantungku berdebar keras. Aku mengerang, mengerjapkan mataku dan memekik saat kulihat wajahnya begitu dekat denganku.

"Kenapa, Sayang?" tanya nya berbisik ditelingaku. Alis tebalnya bertaut menyatu sesaat. Senyumnya terhias dengan manisnya di wajah aristokratnya.

"Mmm... Kamu mau ngapain?" tanyaku setengah berteriak.
Dio terdiam sesaat, lalu kembali mengulas senyum gelinya.

"Kita sedang honeymoon, Vivien Sayang," bisiknya mengecup garis pipiku.

Aku terkesiap. Bukan karena kata-katanya, tapi karena panggilannya padaku. Vivien! Hanya seorang yang sering memanggilku seperti itu.

Ingatanku melayang pada lima belas tahun silam.

Aku bertanya pada laki-laki kecil itu.
"Kenapa kamu suka memanggilku Vivien? Namaku Vienetta Alodya. Kenapa kamu memanggilku Vivien?" tuntutku saat ia berulang kali memanggilku dengan sebutan Vivien.

"Aku suka memanggilmu Vivien. Lebih enak dilidahku. Kamu gak keberatan kan?" katanya tersenyum manis, membuatku mengangguk tanpa ragu.

"Bagus, tapi cuma aku saja yang boleh manggil kamu dengan nama itu. Tidak dengan orang lain!"kata laki-laki kecil itu melihatku mangangguk.

"Kenapa?" tanyaku polos.

"Karena kamu cantik. Dan aku mau kamu menjadi pengantinku saat kita dewasa nanti. Kamu mau kan?" katanya tanpa ragu.

"Aku mau, Bram," anggukku ceria.
Ya aku suka pada Bram yang selalu melindungiku, yang rela memberikan separuh dari makanannya untukku saat aku menginginkan lebih.

Bram lagi! Ingatan itu segera kutepis. Aku kembali fokus pada laki-laki yang wajahnya kini teramat dekat denganku.

"Namaku Vienetta Alodya. Bukan Vivien," kataku sambil mendorong tubuhnya yang separuh menindihku.

"Tapi aku suka memanggilmu Vivien. Terasa nyaman di lidahku," sahutnya sambil tak henti tangannya mengusap anak-anak rambut di dahiku.

Jantungku seakan berhenti. Alasan yang sama!
Kenapa Dio juga suka memanggilku Vivien? Ah... Kugelengkan kepalaku mengusir kilasan kenangan seorang Bram yang kembali mengusikku.

"Tapi aku gak suka!" cetusku tajam menatapnya.

"Kenapa?" tanya Dio mengerutkan dahinya ingin tau.

"Panggilan itu mengingatkanku pada kenangan buruk masa kecilku," ceplosku tanpa pikir panjang.

Dio menatapku lama. Tatapan aneh yang tidak kumengerti maknanya.
Ia.menggulingkan tubuhnya menjauhiku.

"Maaf," kata Dio pelan, membuatku heran dengan perubahan sikapnya.

"Kenapa minta maaf?"tanyaku.

Dio hanya menatapku sebentar, lalu beranjak menuju.sofa dan merebahkan diri disana, meninggalkanku sendiri dengan kebingunganku.

BERSAMBUNG...

A WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang