#8

31.1K 2.2K 5
                                    

"Kenapa kemari? Ini belum jam pulang!" aku menatap Dio tajam.

"Aku sudah ijin pada Bu Sari untuk membawamu pulang lebih cepat," sahutnya cepat.

"Hah? Kamu gak bisa mengganggu pekerjaanku. Kita sudah sepakat di awal, kalau aku tetap bekerja!" aku menjerit tertahan.

"Aku tidak mengingkari kesepakatan kita. Aku hanya memintakan ijin untuk pulang lebih cepat. Juga untuk empat hari kedepan," Dio menanti reaksiku.

"Apa maksudmu dengan empat hari ke depan?"

"Besok kita ke Singapore. Ada pertemuan dengan klien disana. Dan kamu harus ikut," ujarnya tanpa kompromi.

"Apa-apaan ini? Kamu bahkan tidak memberitahuku terlebih dulu mengenai hal ini. Aku tidak mau!" putusku kesal.

"Kamu harus mau, Vien! Itu tugas seorang istri. Menemani suaminya bertemu klien penting. Begitu kan seharusnya yang dilakukan seorang istri yang baik?" Dio tersenyum menang.

"Itu istri kebanyakan orang. Tapi tidak denganku, Dio!" desisku tajam. Kenapa Dio suka sekali memaksaku.

"Tapi aku tetap akan membawamu ikut denganku. Setuju atau tidak setuju. Kalau perlu dengan paksaan!" seringainya menakutkanku.

"Kenapa kamu selalu melakukan ini padaku?" tanyaku melemah.

"Karena aku mengkhawatirkanmu. Aku tidak mau meninggalkanmu sendirian disini, sementara aku tidak bisa menjagamu," kata Dio tersenyum sedih.

"Aku bisa pulang ke Mama Rianti. Ada Jo disana, ia bisa menjagaku" sahutku masih berusaha menolak keinginannya membawaku.

Dio menggeleng pelan tapi mantap. Aku tau, ini keputusan finalnya. Akhirnya aku mengikutinya sambil memberungut kesal.
Sebenarnya aku menghargai kepeduliannya padaku. Tapi jika mengingat caranya mengikatku dalam pernikahan ini, kekesalanku kembali muncul.

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Singapore sedang gerimis ketika aku berjalan di Taman Merlion. Aku menatap patung ikan berkepala Singa itu dengan takjub. Betapa sebuah negara kecil yang makmur ini benar-benar menyadari apa potensi yang bisa dikembangkannya.

Ponselku bergetar. Kubaca pesan singkat disana. Siapa lagi kalau bukan Dio. Setiap lima menit, ia selalu mengirimkan pesan singkat yang berisi sama 'kamu sekarang dimana?'

Aku mengetikkan balasan seadanya 'masih sama'.

Kumasukkan ponselku dan beranjak dari tempatku mengagumi patung besar yang selalu memuntahkan air itu, mencari tempat dimana aku bisa duduk. Tak kuhiraukan rintik air mengenai kepalaku dan bajuku menjadi lembab karenanya.
Aku menyukai udara yang menguar dari kelembaban gerimis itu.

"Kenapa gak berteduh?" aku refleks mendongak. Dio berdiri menjulang didekatku sambil memegang payung, menghalangi gerimis yang akan menyentuhku.

"Aku suka gerimis," sahutku tenang.
Dio menarikku berdiri dan memelukku. Ia membawaku ke mobil yang disediakan klien untuk kami.

"Kamu sudah terlalu lama disini. Lihat, kamu hampir basah kuyup," Dio melepas mantel yang kupakai, dan menggantinya dengan jas yang tadi dipakainya. Jas itu kebesaran di tubuhku, tapi membuatku sedikit hangat.

"Thank's," ucapku pelan atas kemurahan hatinya.

Dio tersenyum lembut, menggenggam jemariku yang dingin.
"Kamu seperti anak kecil! Suka main ujan ujanan," kekehnya memperhatikan penampilanku dengan rambut setengah basah, jas kebesaran dan menggigil kedinginan.

Aku menoleh cepat kearahnya dan melihat senyumnya semakin lebar melihatku merengut.

Akhirnya kami sampai di hotel. Tanpa melepas pelukannya, ia membawaku ke kamar kami. Sebenarnya aku jengah diperlakukan seperti ini. Tapi karena tidak ingin menjadi tontonan yang memalukan, aku diam saja menerimanya.

A WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang