Apartemen mewah ini masih saja dingin. Aku menyeret travel bag ku ke kamar Dio. Sebenarnya ada dua kamar lagi yang kosong, tapi sejak awal Dio tak pernah membolehkanku menempati salah satunya.
Kulihat Dio meraih travel bag ku dengan tidak sabar, dan memasukkannya ke dalam kamarnya.
Aku berbalik. Tidak mengikutinya masuk kamar, tapi berjalan menuju pantry. Membuka lemari es, mencari sesuatu yang bisa kuolah untuk dimakan. Tidak ada! Kulkas itu hanya berisi air mineral dan beberapa buah apel yang masih berada di plastik."Kamu lapar, Vien?" tiba-tiba Dio sudah berada di belakangku.
"Eh... Nggak terlalu sih. Cuma liat aja barangkali ada yang bisa dimasak buat makan malam," sahutku mengangkat bahu lalu menutup kulkas.
"Kenapa kita gak keluar makan aja? Lebih praktis. Lagipula, memangnya kamu gak capek?" Dio mengajukan satu pilihan.
Aku mengangguk menyetujui usulannya.
Setelah mandi dan bersiap, kami menuju ke resto di dekat apartemen.Di tengah-tengah menikmati makan malam, seorang gadis cantik dengan rambut sebahu menghampiri meja kami.
"Dio?" sapanya tersenyum. Lalu senyum itu lenyap saat ia melirikku tajam.
Kulihat mata Dio membelalak melihat siapa yang menyapanya.
"Arin?" serunya dengan nada tidak suka."Hmm... Mangsa baru?" kata gadis yang dipanggil Arin itu melirikku mencibir.
"Mau apa kamu?" tanya Dio dingin.
"Hahaha... Tenang aja Dio, aku gak akan mengganggumu. Nikmati saja makan malammu bersamanya dengan tenang. Hanya sampai malam ini. Dengar Dio? Hanya malam ini!" katanya setengah berbisik di dekat telinga Dio.
Aku menatap keduanya dengan bingung. Aku tidak tau apa yang terjadi diantara keduanya. Tapi yang kulihat pasti, Dio menahan amarahnya. Wajahnya tegang.
Dio berdiri, ia mencekal pergelangan tangan Arin yang hendak berlalu dari situ."Dengar! Aku tidak akan membiarkanmu kali ini!" kulihat wajah Dio memerah memendam rasa marah.
"Oya? Kita lihat saja nanti. Semuanya tergantung padamu, Abraham Dionito Sasmita!" Arin mengibaskan cekalan tangan Dio dan tersenyum sinis, melenggang keluar dari resto.
Dio menghempaskan tubuhnya dengan kasar kembali duduk dihadapanku. Ia menatapku dengan pandangan yang sulit kumengerti.
Dio menggenggam jemariku dan meremasnya lembut.
"Vivien, jangan takut! Aku akan menjagamu," kutatap Dio yang sedang melihatku dengan wajah lelah."Aku tidak tau maksudmu, Dio? Aku takut? Pada siapa? Kenapa kamu harus menjagaku? Dari apa? Dan, siapa gadis itu? Kekasihmu? Atau... Siapa?" aku merasa aneh dengan kata-kata Dio barusan.
"Dia Arin. Sepupuku. Sepupu jauh dari pihak mama. Dulu kami sangat dekat. Karena kedekatan itulah, timbul rasa cintanya padaku. Sedangkan aku, hanya menganggapnya adik, tidak lebih. Dua tahun lalu, ia memohon pada kedua orang tuanya agar dinikahkan denganku. Tentu saja aku menolak. Untuk membuatnya menjauh, aku sengaja menggandeng banyak gadis dihadapannya, agar dia membatalkan keinginannya. Arin marah. Ia sempat melukai beberapa gadis yang dekat denganku. Bahkan salah satunya berakhir di rumah sakit," Dio menghela nafas, mengusap wajahnya.
"Psycho?" tanyaku melihat kegelisahan di mata Dio.
Dio mengangguk. Ia mengambil jemariku dan menggenggamnya erat, seolah takut jika melepasnya akan membuatku menghilang.
"Tidak ada usaha untuk terapi penyembuhan?" tanyaku lagi tanpa menghiraukan genggamannya pada jemariku yang semakin erat.
"Kedua orang tuanya sudah membawanya ke psikiater ternama di London. Tapi sulit. Dan sekarang, dia malah berada disini. Aku tidak tau bagaimana dia bisa mengetahui keberadaanku?" alis bagus Dio bertaut, menandakan pemiliknya sedang berpikir keras.
"Hmm.... Mungkin Arin akan sembuh jika ia mendapatkan apa yang ia mau," cetusku membuat mata Dio menyambar tajam padaku.
"Mau mencoba lepas dariku heh?" ujarnya sinis.
"Bukan itu maksudku. Arin sangat mencintaimu. Ia menginginkanmu. Jadi apa salahnya kamu yang menyembuhkannya?" usulku yang benar-benar tidak masuk akal ini.
"Jadi maksudmu, aku harus menikahinya? Dan melepaskanmu, begitu?" tatapan elangnya menyambarku lagi.
"Menyembuhkan tidak berarti menikahi, Dio. Coba kamu dekati perlahan. Memberikan pengertian padanya. Kadang orang bisa buta karena salah kaprah dengan maksud dari cinta itu sendiri," aku mencoba bijak. Sesuatu hal yang mungkin terdengar aneh ditelinga orang lain. Mana ada seorang istri menyuruh suaminya mendekati wanita lain?
"Usaha itu sudah pernah aku lakukan. Dan hasilnya, keinginannya untuk memilikiku menjadi lebih tak terkendali," Dio mengacak rambutnya.
Aku tertegun. Sekuat itu seseorang ingin memiliki orang lain atas nama cinta?
-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Aku sedang membaca surat yang masuk dari pembaca ketika Yuka memberitahuku bahwa ada seseorang yang ingin bertemu denganku.
Aku mengernyit. Siapa? Apakah Dio? Aku melirik jam tanganku. Masih terlalu pagi untuk makan siang.
Aku mematikan komputer di hadapanku dan beranjak menuju lobby.Aku memicingkan mataku saat kulihat seseorang membelakangiku.
"Andi?" ucapku pelan tapi cukup.keras untuk membuat sosok itu berbalik ke arahku.
"Vien," sapanya jengah.
"Kenapa nyari gue? Belum puas dengan apa yang sudah lo timpakan ke gue? Lo mau apa lagi?" tanyaku datar. Aku memandangnya kesal.
"Vien, maafin gue. Please, jangan diemin gue kaya gini. Hukum gue apa aja, asal lo maafin gue," Andi menatapku dengan sorot mata sedih, bersalah dan terluka. Dan ada pancaran aneh dimatanya yang membuatku meyakini kebenaran dari cerita Dio yang selalu aku sangkal.
"Buat apa? Apa hukuman bisa mengembalikanku pada situasi semula?" tanyaku melemah. Aku sudah tidak ingin melihatnya lagi.
"Vien, aku bisa membawamu pergi jauh meninggalkan Dio. Kita bisa memulai hidup baru ditempat lain," Andi memegang pergelangan tanganku.
"Dan dengan apa kau bisa menghidupinya? Tau apa kau tentang kebahagiaannya? Jadi pergi jauh-jauh darinya, atau kau akan menyesal seumur hidupmu!" tiba-tiba saja Dio sudah berdiri di dekatku dan Andi. Kedua tangannya ditenggelamkan ke dalam saku celananya.
Wajah Andi memucat. Perlahan ia melepaskan genggamannya atas tanganku.
Wajahnya menunduk. Kata-kata Dio menamparnya keras.BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
RomansaKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.