Aku menatap laut. Birunya mengingatkanku pada langit. Kaki telanjangku menyusuri tepian pantai. Aku tak peduli lidah-lidah ombak menjilat hingga betisku. Ujung kain pantai yang kukenakan basah terkena sapuan air laut. Aku menunduk mengais pasir yang segera tertutup kembali setelah tertutup riak.
"Apa aku masih belum boleh tau dimana Bram, Jo?"
"Bram akan baik-baik saja, Vien. Kamu gak perlu mencemaskannya," Jo memandangku. Rambutnya diburai angin.
"Aku ingin menemuinya."
Jo menggeleng.
"Tidak bisa, Vien.""Kenapa? Kenapa aku tidak bisa menemui Bram sekarang?" aku berteriak kesal.
"Dengar Vien, Bram sendiri yang akan menjemputmu kalau urusannya sudah selesai! Jadi tolong, jangan mempersulit keadaan!" baru kali ini kudengar Jo membentakku. Aku tau aku keras kepala. Dan aku sadar, kesabaran Jo sudah di ambang batas karena kedegilanku.
Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Aku mencintai Bram! Dan aku tidak ingin dia kenapa-napa karena berurusan dengan Arin!"Sorry, bukan maksudku membentak kamu. Tapi tolong mengerti. Toh Bram melakukan ini demi kebaikan kamu kan?" kata Jo merendah.
Aku meninggalkan Jo sendirian. Kususuri pinggiran pantai, menuju ke cottage tempat aku menginap bersama seluruh penghuni panti.
Ya, Bram menyewa tempat ini beberapa hari untuk seluruh penghuni panti sekaligus agar aku tidak merasa sepi.
Dan jika aku di sini, dimana dia? Menemui Arin? Menemui gadis phsyco itu? Untuk apa?Jo sedang bersama Mama Rianti sedang mempersiapkan makan malam untuk kami semua saat kulihat dari tempatku duduk, sebuah taksi yang baru saja menurunkan sepasang suami istri beserta kedua anaknya di depan cottage.
Aku berlari ke dalam kamarku untuk mengambil tasku, lalu berlari menuju ke taksi itu dan memerintahkan supirnya untuk mengantarkanku pulang ke apartemen.Aku harus bertemu Bram! Harus! Aku tidak boleh meninggalkannya sendirian menghadapi Arin.
Taksi yang ku tumpangi terasa berjalan lambat.
Setelah sekian lama, aku baru bisa menarik nafas lega karena melihat apartemen tempatku dan Bram tinggal.Setengah berlari aku menuju ke apartemen. Kutekan password dan kubuka pintu dengan tergesa.
Aku tidak ingin mempercayai apa yang kulihat. Tapi itu nyata!
Wanita itu ada di sana! Dan Bram...Mataku berkunang-kunang. Semua terlihat berputar cepat dan kabur. Lalu tiba-tiba pandanganku gelap.
-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Abraham Dionito Sasmita POV
Suara bel pintu apartemen berteriak nyaring saat aku sedang mempelajari berkas yang baru saja kuterima dari kurir kantor.
Aku sedang sendirian di apartemen. Aku menyuruh Jo dan seluruh penghuni panti asuhan untuk menemani Vivien ku di cottage yang sudah ku booking untuk mereka semua sementara aku fokus pada teror Arin. Ia begitu terobsesi padaku. Dan ia sudah mencelakakan Vivien. Ini tidak bisa dibiarkan. Menjauhkan Vivien dan seluruh isi panti dari Arin akan membuatku lebih leluasa melakukan strategi untuk menghentikan aksi Arin.
Dengan menyeret langkah malas, aku membuka pintu apartemen tanpa melihat siapa yang datang terlebih dahulu.
Arin! Dia di sana. Di depan pintu sambil tersenyum.
"Hallo Dio? Aku tau, istrimu sedang liburan bersama orang-orang panti asuhan itu kan? Kamu sengaja menjauhkannya dari kita bukan? Hmm... Sekarang kita hanya berdua," Arin tertawa manja. Dulu aku terbiasa mendengar suara dan tingkah manjanya padaku. Tapi kali ini, aku merinding ngeri mendengarnya. Aku tidak lagi mengenalnya. Ia berubah. Ia bukan lagi sepupuku yang cantik dan centil. Di mataku, ia berubah menjadi sesosok monster yang mengerikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
RomanceKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.