Vienetta Alodya POV
Rumah besar itu masih sama seperti waktu aku meninggalkannya lebih sebulan yang lalu.
Rini dan Sari menyambut kedatangan kami dengan senyum sopan.
Bram menggendongku ke kamar dan membaringkanku di atas tempat tidur besar itu.
"Istirahatlah, Vien. Kamu tidak boleh terlalu capek. Kamu harus jaga kesehatanmu dan anak kita," Bram mengusap kepalaku lembut, membuatku ingin menangis.
"Bram," aku menahannya saat ia hendak beranjak keluar dari kamar.
Bram menoleh dan kembali duduk di pinggir tempatku tidur.
"Kenapa, Vien?"
"Bram, kita harus bicara," kataku akhirnya. Aku harus mengeluarkan semua ganjalan dari pikiranku.
"Kita akan bicara, Vien. Setelah kamu istirahat. Sekarang kamu tidur. Aku akan menemui Jo dan Andi di depan," Bram tersenyum, mengecup dahiku sebelum ia keluar dari kamar.
Sekarang aku sendiri di kamar yang luas ini. Aku melihat sekeliling. Tidak ada yang berubah. Masih sama persis dengan saat aku meninggalkannya. Aku berjalan ke balkon. Masih sama. Gordyn yg menutup kaca balkon pun masih sama.
Perlahan ku buka pintu geser dari kaca itu dan aku berjalan keluar. Kuhirup udara sedalam-dalamnya. Udara di balkon kamarku ini selalu segar. Mungkin karena di depan balkon banyak pohon hias yang rindang, atau mungkin juga karena di bawah balkon ada taman yang banyak ditanam bunga aneka warna dan jenis. Juga kolam kecil yang ditengahnya terdapat air mancur dengan beberapa koi merah dan kuning di sana. Berbeda dengan taman di teras belakang rumah. Kolam di sana lebih besar, dengan hiasan air terjun kecil pada sudutnya serta gazebo di pinggir kolam.Entah berapa lama aku berdiri di balkon. Aku tersadar dari lamunanku saat Bram memanggilku.
"Ah, disini kamu rupanya, Vien?" ujarnya lega.
Aku mengerutkan dahi. Memangnya aku mau kemana lagi?"Mencariku? Andi dan Jo?" tanyaku menajamkan telingaku. Sepi!
"Mereka sudah pulang. Besok, Mama Rianti akan diantar Jo kemari untuk menemanimu," sahut Bram tersenyum.
"Oh... Sebenarnya Mama Rianti tidak perlu menemaniku. Aku sudah terbiasa sendiri," ucapku kembali memandang air mancur di taman bawah.
"Kenapa tidak tidak istirahat?" tanya Bram menyentuh pelan lenganku.
"Bosan!" sahutku apa adanya.
Bram tersenyum.
"Mau makan di kamar?"Aku menggeleng pelan. Perutku terasa penuh. Mualnya masih belum sepenuhnya hilang.
"Bram, bisa kita bicara sekarang?" tanyaku. Aku sudah tidak bisa menahannya lebih lama.
"Ada apa, Vien?" Bram menatapku lekat. Hampir tanpa kedip.
Aku menelan ludah susah payah."Bram, soal Arin... Aku bertemu dia di Surabaya," akhirnya keluar juga kata-kataku.
"Arin? Kamu ketemu Arin? Tapi kamu gak kenapa-napa kan? Dia tidak berbuat yang aneh-aneh kan?" tanya Bram bertubi-tubi. Wajahnya menampakkan kecemasan.
Aku menggeleng.
"Aku kasihan melihatnya. Dia terlihat lebih kurus. Matanya sayu, seperti kehilangan semangat. Arin... Arin sangat mencintaimu, Bram," aku menunduk. Sakit!Bram terdengar menghela nafas dan membuangnya kasar.
Ia menarik lenganku pelan dan mengajakku masuk, menutup penyekat kaca dan gordyn nya.
Ia mendudukkanku di pinggir tempat tidur dan ia sendiri mengambil tempat di sebelahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
RomanceKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.