Mataku masih terus terpejam saat kurasakan jemarinya menelusuri leherku, turun ke dadaku dan membuka kancing teratas piyamaku, menciumi seluruh kulitku yang nampak olehnya. Lalu dibukanya lagi kancing kedua, dan melakukan hal yang sama, kancing ketiga, tubuhku menegang. Aku diam tak bergerak, masih memejamkan mataku tanpa berani membukanya. Hingga aku merasakan semua kancing piyamaku terbuka dan ia menarikku sedikit turun dari tempatku bersandar hingga posisiku sekarang terlentang dibawah tubuhnya.
Dio tidak berhenti sampai disitu. Ia mengecup semua yang ingin ia kecup dan menyentuh semua yang ingin ia sentuh.Dio mengangkat wajahnya dari dadaku.
"Vien," panggilnya dengan suara serak.
Kubuka mataku perlahan dengan nafas tercekat. Kulihat mata Dio menggelap. Hasratnya sudah mencapai ubun-ubun."Boleh?" tanya nya memohon persetujuanku.
Wajahku memucat. Ada sedikit rasa tidak rela disudut hatiku. Tapi aku menepisnya. Aku melakukan semua ini untuk Mama Rianti dan adik-adikku di panti. Mereka membutuhkan tempat berlindung di panti itu.
Akhirnya dengan menggigit bibirku, aku menganggukkan kepalaku ragu.Dio menatapku tak percaya. Sorot matanya menyiratkan keraguan.
"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan," kataku pasrah.
"Aku menginginkanmu sekarang, Vivienku," bisiknya.
Lagi-lagi panggilan itu membuatku menegang. Kenapa ia suka sekali memanggilku Vivien? Panggilan itu menorehkan luka di hatiku.Aku mengangguk lalu memejamkan mataku lagi, dan Dio meneruskan apa yang ia ingin lakukan semenjak malam pertama kami.
Aku menyerahkan seluruhnya menjadi milik Dio. Kubiarkan ia mengambil semua yang ingin diambilnya dariku.
Setetes bening airmataku menetes di sudut mataku saat rasa sakit menyentak dan menyadarkanku bahwa aku telah kehilangan. Banyak kehilangan.-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Matahari sudah tinggi ketika aku membuka mataku perlahan. Kulihat Dio tertidur pulas sambil memelukku dengan posesif.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Teringat kejadian pagi tadi membuat wajahku memerah.
Aku mencoba beringsut hendak bangkit, mengabaikan rasa nyeri yang menyerangku. Kusingkirkan lengannya yang melingkari perutku. Bukannya terlepas, Dio malah semakin mengetatkan pelukannya."Disini saja," katanya serak dengan mata masih terpejam, makin mengeratkan pelukannya.
"Aku mau ke kamar mandi, Dio. Lagipula aku lapar," kataku beralasan.
"Mmm.... Masih ngantuk," kata Dio lagi mendekatkan wajahnya dan bibirnya menciumku sekilas.
"Kamu tidur aja," kataku berusaha melepas pelukannya.
"Hmm... Mana bisa?" gumamnya, lalu tanpa kuduga, ia sudah berdiri dan menggendongku ke kamar mandi.
Aku memekik kecil saat ia menurunkanku di bath tub dan bergabung denganku disana."Dio, ini tidak lucu sama sekali," protesku yang tidak dihiraukannya.
Dio semakin intens menciumku. Gumaman kecil meluncur dari bibirnya yang terus mengecupiku.
Dan setelah badai itu berkurang, Dio memandikanku tanpa mau mendengar semua protes dan gerutuanku. Mengabaikan wajahku yang memerah karena malu atas perlakuannya padaku seharian ini.
-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Dio membawaku ke tempat-tempat wisata, menggandeng tanganku dengan posesif, seolah ia sangat menikmati honeymoon kami.
Aku hanya menurut saja ketika ia menarikku menaiki jetski di Tanjung Benoa. Juga saat ia menciumku ketika kami duduk di pinggir pantai Kuta menikmati sunset.
Sejauh ini ia bersikap manis padaku. Ia juga memperlakukanku dengan lembut, melayaniku seperti ia melayani orang yang sangat dicintainya.Huuuuffft... Cinta.... Jauh sekali kata itu dari jangkauanku. Aku tidak yakin akan ada cinta diantara kami. Pada kenyataannya pernikahan ini adalah pembayaran hutang, bukan atas nama cinta.
Namun diluar itu semua, aku menghargai usahanya untuk menjalani bulan madu kami seperti layaknya pasangan lain. Dan mulai sekarang aku harus berusaha belajar menjadi istri untuknya.
Mungkin aneh kedengarannya, tapi apa boleh buat, aku sudah menyanggupinya. Menjadi alat pembayaran hutang Andi.
Hmm.... Andi... Bagaimana kabar kakak sintingku itu? Bisanya cuma nyusahin orang lain. Aku kasihan sama Mama Rianti dan Jo. Mama Rianti pasti sedih. Dan Jo, aku belum mendengar lagi kabar kakakku yang satu ini. Jo yang baik. Jo yang selalu ada buat aku. Jo yang selalu membela kepentinganku daripada kepentingannya sendiri.
Jo, aku kangen banget sama kebersamaan kita. Kamu satu satunya orang yang melindungi dan menjagaku dengan tulus setelah Bram.
Ah... Nama itu lagi. Kenapa aku tidak pernah bisa benar-benar melupakan nama itu? Janji-janji masa kecil yang masih membuaiku sampai saat ini.
Setiap aku mengingat kebaikan Jo, nama Bram selalu mampu menepisnya. Membuatku membandingkannya dengan Bram.
Aaaaaarrrgh... Kenapa selalu Bram yang ada di kepalaku? Bagaimana bisa anak berusia lima tahun memelihara rasa ketertarikannya pada kakak angkat laki-lakinya yang berusia delapan tahun dan memelihara perasaan itu hingga sekarang?Dimana Bram sekarang? Bagaimana keadaannya? Apakah ia masih mengingat kenangan masa kecilnya? Mengingatku?
Sebuah tangan melingkari perutku. Kurasakan Dio menghirup aroma tubuhku sejenak sebelum mencium pangkal leherku.
Aku menahan rasa geli yang ditimbulkannya. Mataku masih menatap deburan ombak yang kulihat dari balkon kamar kami."Vien, aku sudah mendapatkan tubuhmu. Tapi aku tidak tau, entah kapan aku bisa mendapatkan hatimu?" bisiknya lembut saat bibirnya mengecupi telingaku.
Mendengar kata-katanya, tubuhku menegang. Ia membalikkan tubuhku untuk menghadapnya, menatap lekat manik mataku.
"Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau kan?" ucapku pelan.
Dio menggeleng.
"Hanya tubuhmu saja. Belum hatimu," katanya tersenyum getir."Apa yang kamu inginkan dariku?" tanyaku memandang wajah tampan dihadapanku.
"Aku menginginkanmu. Semuanya! Seluruh dirimu hanya untukku!" katanya setengah berbisik.
"Aku tidak mengerti, bukankah aku cuma sebagai alat pembayaran hutang Andi pada perusahaan kalian? Jadi, apakah hati juga harus termasuk di dalamnya?" tanyaku tajam.
Wajah Dio mengeras. Ia berusaha menahan amarahnya. Tangannya mencengkeram bahuku. Aku meringis menahan sakit. Memang aku salah mengatakan itu? Pada kenyataannya memang demikian, bukan?
"Aku menginginkan istriku menyerahkan diri seutuhnya padaku. Seutuhnya!" Dio mendesis, melepaskan cengkeramannya.
"Maaf," kataku menunduk.
"Untuk apa?" tanya Dio masih menghunjamkan tatapannya padaku.
"Karena cinta itu tidak dapat dipaksakan. Cinta itu datang dari hati, tanpa ada seorangpun yang bisa mengaturnya," kataku pelan mencoba membuatnya mengerti apa yang terjadi.
Dio menghembuskan nafasnya. Ia terlihat kesal.
"Aku benci keadaan ini," dengusnya. Namun sesaat kemudian wajahnya berubah menjadi lembut.
"Kalau aku bisa dengan mudah menyukaimu, aku pasti bisa membuatmu memberikan hatimu buatku," katanya percaya diri.Aku tersenyum getir. Bagaimana cinta untuk Dio bisa hadir, sementara di relung hatiku masih penuh sesak dengan Bram? Bukankah tidak ada lagi tempat yang tersisa?
BERSAMBUNG....
Hai guys.... Gimana? Masukannya aku tunggu loh... Maaf kali ini part nya pendek....
Keep reading yaaa....

KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
RomanceKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.