Jonathan Fresco Kaindra POV
Aku melangkah ragu memasuki rumah besar bak istana di hadapanku. Rasanya seperti hendak memasuki ruang persidangan, dimana nasibku akan ditentukan.
"Masuklah, Nak!" laki-laki yang berstatus ayahku itu mempersilakan aku masuk.
Aku mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
Aku melangkah lebih dalam. Ruangan besar itu penuh dengan barang-barang mewah yang tak pernah kulihat selain di rumah Bram.Aku memutuskan untuk mencoba berdamai dengan ayahku, meskipun dengan segala syarat yang kuajukan.
Aku makin masuk ke dalam. Sebuah ruangan besar dengan sofa mewah berbalut kulit berwarna maroon tampak dihadapanku.
Seorang perempuan muda bangkit dari duduknya dan tersenyum kikuk menatapku."Nak, kenalkan, dia Clarissa," ayahku memperkenalkanku dengannya. Ia hanya tersenyum menunduk.duduknya yang bersandar pada tumpukan bantal, sorot matanya murung.
"Aku Jonathan," kuulurkan tanganku memperkenalkan diri. Hmm... Jadi ini calon istri kakak tiriku?
"Clarissa, panggil saja Rissa," senyumnya hambar.
"Hmm... Rissa... Bagaimana kalau aku memanggilmu Claris?" tanyaku meminta ijinnya. Aku tau, Rissa pasti panggilan sayang Grand, almarhum kakak tiriku padanya.
"Terserah kamu saja," ia mengedikkan bahunya. Kulirik perutnya yang masih tampak datar.
Dan ia merasakannya, lalu menunduk jengah."Makan siang sudah siap, mari kita makan sama-sama," ajak ayahku. Lalu aku mengikutinya dan Clarissa ke ruang makan.
Ruang makan itu besar sekali. Tiga kali lebih besar dari ruang makan panti yang lama, dan sama besar dengan ruang makan panti baru, pemberian Bram.
Meja makan itu besar. Bisa menampung dua puluh orang. Sementara penghuni rumah ini hanya ayahku dan para pembantunya saja. Istrinya sudah meninggal tiga tahun yang lalu.
Kami makan dalam hening. Aku membedakannya dengan panti. Pada saat makan bersama, suasana pasti meriah, karena kami semua mensyukuri apa yang sudah kami terima.Selesai dengan acara makan siang yang dingin itu, ayahku mengatakan akan istirahat sebentar di kamarnya, sedangkan aku duduk di ruang keluarga bersama Clarissa.
"Apakah kamu akan tinggal di sini?" tanya Clarissa membuka pembicaraan antara kami.
"Aku belum tau, Cla. Selama tujuh belas tahun ini, aku terbiasa dengan keramaian di panti. Juga terbiasa dengan kasih sayang Mama Rianti. Entahlah. Apakah aku bisa tinggal di rumah sepi dan dingin seperti ini?" aku mengangkat bahu tak acuh.
"Tapi bukankah Om Devan itu ayah kamu? Dan sepertinya Om Devan memintamu untuk tinggal di sini dan meneruskan perusahaannya bukan?" Clarissa menautkan alis bagusnya dan sedikit memiringkan kepalanya.
"Benar. Tapi aku belum mengatakan bahwa aku menyetujuinya. Aku hanya bilang, akan kupertimbangkan dulu," sahutku meliriknya sesaat, menikmati wajah murungnya.
"Sesulit itukah memaafkan ayahmu?" tanya Clarissa memandangku tajam.
"Apa yang akan kamu lakukan, jika ayahmu membuangmu, tidak menginginkanmu, dan meninggalkanmu di panti asuhan yang jauh dari kota asalmu, dan dengan semaunya ia datang setelah tujuh belas tahun hanya karena ia menginginkan peran pengganti untuk pewarisnya yang sudah meninggal?" tanyaku balas menatapnya tajam.
Clarissa menunduk.
"Apakah kamu tidak bisa memaafkannya?""Memaafkan itu urusan mudah, Cla. Tapi melupakan apa yang sudah dihunjamkannya padaku, itu yang mustahil," kataku geram. Kemarahan kembali bangkit karena luka itu terbuka kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
A WEDDING STORY
RomantizmKamu pernah ada untukku, tapi kamupun pernah pergi dariku. Masa lalu itu tak mampu aku tepiskan. Ia telah berakar kuat di sana direlung hatiku yang paling dalam.