BS | 8

23 8 0
                                    

Kliennya sudah beranjak pergi sedari tadi. Namun, dirinya masih duduk menyeruput kopi memandang keluar jendela, seperti tengah memikirkan sesuatu. Melihat kegalauan dan kegundahan hati sang bos sekaligus sahabatnya, Luthfi hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak tahu harus bagaimana. "Heran gue bos sama lo. Cewek pada antri buat jadi milik lo, lo tinggal milih sesuai tipe lo. Gitu aja masih diperibet," ujarnya tidak peduli jika Qabil mendengarkan atau pun tidak.

Tidak elak, Qabil mendengus, berbalik menatap Luthfi nyalang. "Emang banyak. Tapi, yang suka gue bukan karena harta dan tampang, ada gak?" sebal Qabil. Luthfi menggaruk tengkuknya, menyuruput kopinya berpikir sejenak. "Eh. Umur lo udah lumayan mengkhawatirkan nih bos. Masa Tante Ana dan Om Ahmad gak bertindak lebih jauh? Jodohin mungkin," cicit Luthfi menyuarakan isi pikirannya.

Qabil berdecak, menaruh gelas di meja dengan sedikit bantingan. "Menurut lo kenapa bisa gue uring-uringan gini?" tanyanya sarkastik. Luthfi mengangkat alisnya, ia mengerti sekarang. "Yaudah, kalo emang udah dijodohin terima aja. Dari pada ngenes banget kan hidup lo," ujarnya. "Lagian kalo lo berharap lebih sama tuh bidadari rumah sakit, keknya gak kesampaian juga," lanjutnya, membuat Qabil memandang malas ke arahnya.

"Tambah pusing gue bicara sama orang sinting kek lo," ujar Qabil beranjak dari duduknya. Luthfi tertawa pelan, menghabiskan kopinya, mengikuti jejak Qabil berlalu dari sana. Sedikit tergesa, rencananya mereka akan langsung pulang ke rumah. Mengingat hari sudah petang dan ini merupakan jadwal terakhir sang CEO.

Brugh.

Ting.

Bunyi benturan terdengar keras, bersamaan dengan dentingan lonceng di pintu caffe. Dua anak manusia berbeda jenis bertabrakan tanpa sengaja tepat di depan pintu caffe. Sang wanita berjalan pelan dari arah samping kanan, sementara pria gagah nan tampan itu berjalan tergesa dari arah samping kiri. Tidak ada adegan manik mata tajam dan teduh yang bertemu, atau pun adegan berpegangan tangan karena mengambil barang yang terjatuh, apa lagi adegan memeluk sebab mempertahankan diri agar tidak saling menyakiti, melainkan adegan saling menjauh.

"Maaf," ujar Qalbi bertutur lembut. Qabil tidak bergeming, ia berdiri dengan kaku, manik mata hitamnya memandang keindahan wanita yang berdiri menunduk cukup jauh dari jangkauannya. "Maafnya akan diterima jika anda bersedia duduk minum secangkir teh di sini bersama." Qabil mebelalakkan mata, memolototi Luthfi karena telah lancang berkata. Sementara yang berbuat demikian, menyengir lebar seolah tidak bersalah.

Qalbi mendongak, ia menghela napas panjang, lagi lagi dirinya bertemu dengan manusia jahil yang satu ini. Faza disebelahnya hanya diam, sesekali menyenggol bahu Qalbi seakan menggodanya. "Maaf, saya buru-buru," ucap Qalbi yang berarti menolak ajakan Luthfi. "Jangan terus katakan maaf, nanti kata itu tidak berarti lagi," ucap Qabil datar. Qalbi terdiam sejenak, sebelum berkata, "terima kasih sudah mengingatkan, saya permisi dulu," ucapnya hendak beranjak dari sana.

Sialnya, Qabil juga berjalan hingga beriringan dengannya. Faza dan Luthfi bersisihan di belakang, saling mengangkat bahu tidak mengerti. Qabil mendekat ke arah Qalbi, hingga hembusan napasnya dapat terasa di telinga Qalbi yang tertutup hijab. "Kamu tidak mau menceramahiku karena telah ceroboh saat berjalan?" tanyanya menggoda. Qalbi menghela napas sekali lagi, mengelus dadanya dan beristigfar. Ia berbalik menjauhkan wajahnya dari wajah Qabil, kemudian tersenyum lebar.

Senyum Qalbi ketika itu menghangatkan perasaan Qabil, menguasai jiwanya, menghentikan pergerakan raganya. Ia terdiam tepat di depan pintu, bahkan saat Qalbi berlalu diikuti Faza kemudian, dirinya tidak tahu. Tangan kanannya terangkat, menyentuh dadanya, getaran dan rasa sesak terasa di sana. Luthfi melangkah pelan, "lo baik-baik aja? Gak gila kan?" tanyanya mengeluarkan Qabil dari angan indahnya.

Pletak.

Tangannya spontan saja menjitak kepala Luthfi. Memandang ke depan, tetapi yang hendak dirinya pandang sudah menghilang. Rasanya sesak sedikit nyeri, tetapi membahagiakan.

***

Memasuki pekarangan rumah orang tuanya, Qabil melihat sebuah mobil sedan terparkir di sana. Tidak elak, ketika memasuki rumah bergaya klasik itu, terdengar nada manja dari seorang wanita muda yang tidak lain adalah adik semata wayangnya. "Sudah ada suami yang memanjakan, masih aja manja pada Ayah Bundaku," gerutu Qabil yang terdengar jelas di telinga Humairah. Hal tersebut membuat adiknya itu menampilkan wajah kesal cemberutnya.

Ia terus berjalan, membuka jasnya, menyalami Ahmad dan bertos ria dengan adik iparnya. Sebelum menyalami Ayyana, ia sempat mengecup kepala adiknya, sementara Humairah yang diperlakukan manis seperti itu, hilang sudah rasa kesalnya. "Makanya, menikahlah segera, Sayang. Biar tau bedanya rasa dimanja pasangan dengan dimanja orang tua," bela Ayyana, memberi topangan pada Humairah untuk mengejek Kakaknya.

"Denger tuh, Bang. Lagian tunggu apa lagi, sih? Tampang, oke. Mapan, udah. Kesiapan? Masa belum sih?" ujar Humairah menyudutkan Qabil. "Jangan nunggu bidadari jatuh, Bang. Gak bakal ada kalau buat Abang," ucap Humairah diiringi tawa tertahan. Qabil memutar bola matanya malas, ia mendengus kesal, selalu saja dirinya menjadi bahan bullyan. "Kalo istri Abang sampai kek bidadari, mampus lo!" geram Qabil yang malah dihadiahi tawa oleh keluarganya.

"Sudah, sudah. Jodoh siapa yang tau," sela Ahmad mengurai tawa menggema. "Jadi, udah siap ketemu calon menantu Ayah?" tanya Ahmad kemudian. Humairah yang mendengarnya segera bergeser ke dekat Ayahnya, "emang udah ada calon si Abang, Yah?" tanyanya. "Sudah, Dek. Abangmu dilamar oleh seorang wanita tempo hari," ujar Ayyana terkiki geli.

Baik Humairah mau pun suaminya melongo tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Memang bukanlah suatu kemustahilan, tetapi karena jarang terjadi sehingga mengejutkan banyak pihak terkait. "Ck. Biasa aja kali," ucap Qabil. "Iya, Qabil siap. Atur aja sesuka kalian," ujarnya kemudian. Setelahnya, ia mengambil jas dan tas kantornya, menaiki tangga dan berlalu dari sana. Humairah dan suaminya terus memandang Qabil hingga ia hilang di balik pintu kamarnya di lantai dua.

"Serius, Bun?" tanyanya masih berusaha meyakinkan diri. "Serius. Makanya Bunda ajak kamu kemari biar Bunda bisa ceritain soal calon mantu Bunda," ujarnya. "Gak cuman pengen harta dan menggilai tampang Bang Qabil aja kan, Bun?" tanyanya khawatir. "Ay, gak boleh gitu. Kamu kan juga perempuan," peringat suaminya, membuatnya segera menutup mulut.

"Yah, gak gitu, Kak. Kan Kakak tau sendiri wanita macam apa yang biasa mendekati Abang," ucapnya memberi pembelaan setelah terdiam sejenak. "Kamu tenang aja, dia bahkan lebih baik dari yang kamu harapkan untuk menjadi pendamping Abangmu," ucap Ahmad berusaha menghalau kekhawatiran putrinya. "Lagi pula, bahkan gadis itu tidak tau bahwa orang yang dilamarkan untuknya adalah Qabil," ungkap Ahmad kemudian.

"Papanya datang kepada kami tanpa sepengetahuan putrinya. Layaknya kami yang tidak memberitahu Qabil mengenai calonnya, Papanya pun melakukan hal yang sama. Sehingga ketika mereka bertemu nanti, mereka dapat memutuskan tanpa sanjungan atau pun bujukan dari siapa pun. Pure keinginan dan pertimbangan mereka," jelas Ahmad membuat Humairah dan suaminya mengerti.

"Siapa, Bun?" tanya Humairah, pelan. "Kamu pasti akan tahu nanti. Dan Bunda yakin, kamu akan sangat bahagia memiliki Kakak Ipar sepertinya," ujar Ayyana sambil membayangkan hari bahagia itu tiba.

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang