BS || 17

18 7 0
                                    

Kamu, laki-laki yang katanya masih menyimpan rasa untukku. Aku tidak akan memaksakanmu membuang rasa itu jauh-jauh, karena hatimu kadang kala batu hingga mengabaikan logikamu. Rasamu tanggung jawabmu, jangan libatkan aku dalam jeruji masa lalu. Kamu yang lelah menunggu, meninggalkanku dalam rasa yang semu. Memutuskan untuk melepaskan cinta dalam diammu, dan mempersunting seorang hawa tanpa mempertimbangkan kehadiranku.

Kamu, perempuan yang cemburu akan hadirku di hati kekasihmu. Tolong jangan salahkan aku atas rasa yang melekat tanpa kutahu. Kebersamaanmu dengannya sudah cukup bagiku untuk melupakan rasaku terhadapnya. Namanya sudah kuhapus setelah dia resmi menjadi milikmu. Namun, jangan memintaku untuk menghapus dia dan kenanganku bersamanya dalam bukuku, karena itu adalah ketidakmungkinan yang tidak bisa kulakukan. Masa laluku akan tetap melekat dalam kisahku, seberapa keras pun aku menyangkalnya.

Kamu, baik lelaki masa laluku atau pun kekasihnya. Kalian yang menjadikanku orang ketiga dalam cerita cinta ini, sudahilah. Sesungguhnya aku hanyalah masa lalu yang sudah memiliki cerita baru. Aku perlahan beranjak keluar dari ceritanya sedari lama setelah hadirnya dirimu. Jangan membuat suatu cerita tentangku yang di dalamnya tidak ada aku. Karena ketika itu terjadi, semuanya hanyalah ilusi yang bisa kalian manipulasi dengan pikiran-pikiran kalian sendiri.

Jika karena rasa yang belum usai itu aku masuk kembali dalam cerita kalian berdua, maka pertegas, bahwa ini semua karena kekasihmu bukan karena aku.

***

"Katakan padaku, bagaimana cara untuk menghapus masa lalu?" tanya Qalbi yang gusar menghadapi kekesalan Qabil. "Bagaimana caraku untuk menghapus rasa yang masih ada untukku tetapi bukan milikku?" tanyanya kembali, sambil terus mengikut di belakang suaminya.

Mendengar tanya Qalbi yang kedua kalinya, Qabil berhenti dari langkahnya. "Jadi, kamu sudah mengakuinya?" ujarnya sarkas, berbalik melihat istrinya. Qalbi yang mendengar hal itu menghela napas panjang, "apa kah rasa seseorang juga menjadi tanggung jawabku, Bi?" pasrah Qalbi.

"Yang aku tau, aku hanya bertanggung jawab atas rasa suamiku terhadapku, tidak dengan yang lain," ungkapnya. Hal tersebut membuat Qabil senang bukan kepalang, jika tidak memikirkan rasa kesalnya, sudah dipastikan dia akan menerjang istrinya dengan pelukan erat dan sedikit ciuman.

"Senyum aja, jangan ditahan," ujar Luthfi yang entah kapan sudah berada di sana. "Ngapain lo di situ?" tanya Qabil garang. "Hem, lupa kan? Anda yang meminta saya datang Tuan Muda," jawab Luthfi geregetan. Qabil berdecih, "pembicaraan kita belum selesai. Ingat, kalo aku gak ada di rumah kamu di kamar aja. Awas aku dengar kamu ada dekat-dekat dengan dia," peringat Qabil kepada istrinya.

"Iya, Bi." Jika sudah begini, Qalbi hanya bisa nurut ucapan suaminya. "Atau kamu ikut sama aku aja ke kantor?" ujarnya mengambil tangan Qalbi untuk ditariknya. "Gak bisa dong, kan aku juga kerja," ucap Qalbi yang berusaha mempertahankan posisinya.

"Ish, kenapa sih kamu selalu berhasil buat aku khawatir?" decak Qabil yang tingkah lakunya sudah seperti remaja yang baru saja jatuh cinta. "Gak malu tuh sama badan kekar," celetuk Luthfi. "Diam lo!" sentak Qabil. "Salah lagi, salah terus," gumam Luthfi, berusaha sabar dengan tingkah Bosnya.

"Udah, yah. Kesalnya tunda dulu. Kamu ke kantor, selesaiin kerjaan kamu," ujar Qalbi memberikan tas kerja kepada suaminya. Setelah itu, dia mengambil tangan suaminya untuk dikecupnya, "sampai jumpa nanti sore," ujarnya kemudian berlalu dari sana.

Tanpa mempertimbangkan rasa malunya setelah ini, Qabil tersipu dengan apa yang baru saja dilakukan oleh istrinya. Tidak elak, Luthfi harus memeganginya agar tetap mampu berdiri. Karena dirinya merasa bahwa tulang yang menopang tubuhya yang umumnya keras nan kuat seketika lunak.

"Tingkah Tuan Muda satu ini di luar angkasa," ejek Luthfi berbisik. Biasanya jika Qabil mendengarnya, Qabil akan mencak-mencak marah hingga mengeluarkan sumpah serapahnya. Namun, kali ini dia tidak menggubris, sibuk dengan perasaannya sendiri.

***

Sibuk dengan berkas-berkas di tangannya, tidak mampu membuat Qabil menghalau rasa khawatirnya terhadap Qalbi. Bagaimana tidak? Jika ipar yang saat ini tinggal di rumah yang sama dengan istrinya, masih memendam rasa yang telah lama ada.

"Bil?" panggil Luthfi sambil mengoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Qabil. "Lo denger gue gak, sih?" tanyanya kemudian. Qabil yang merasa kaget akan kehadiran Luthfi, berdecak kesal.

"Udah bosen lo kerja di sini?" tanyanya garang. "Perasaan lo gak ada sopan-sopannya sama bos lo sendiri," omelnya dengan wajah berkerut. "Pintu tuh ada, buat diketuk," lanjutnya tidak membiarkan Luthfi berbicara sedikit pun.

"Udah ngomelnya, Big Boss?" tanya Luthfi dengan menekankan kata bos besar. "Lo gak liat nih tangan gue udah merah gegara ngetukin tuh pintu?" ujarnya kemudian sambil menunjukkan tangannya yang memang sedikit memar.

"Lagian, overthinking mulu sih sama Bini. Gini nih jadinya." Kini gantian Luthfi yang mengomeli Qabil. Tidak perlu merasa heran, memang jika kedua kawan lama ini tengah berdua, mereka akan berbicara santai layaknya teman sepantaran. Beda lagi jika mereka bersama kolega atau karyawan.

"Coba lo punya istri spek bidadari kek punya gue, gue pastiin lo bertingkah sama layaknya gue," elak Qabil tidak mau kalah dengan spekulasi Luthfi. "Kalo gue punya istri kayak Qalbi, gue gak kasih tinggal di mari kali. Gue pasti udah kurung dia di pulau pribadi gue."

Tanpa memikirkan perasaan sahabatnya, Luthfi mengoceh sambil membayangkan jika dirinya lah suami Qalbi. Hal tersebut ditangkap baik oleh Sang Suami, tentu saja wajahnya memerah menahan amarah.

"Cih! Sayangnya lo jomblo karatan," ejek Qabil tepat sasaran. "Lelaki yang dilamar kek lo gak usah banyak ngomong. Orang lo nungguin bukan ditungguin," balas Luthfi semakin membuat darah Qabil mendidih.

"Apa lo bilang? Gaji lo mau gue potong?" tanya Qabil berselimutkan ancaman. "Yaelah, Pak Bos. Baperan amat sih. Gue cuman bercanda, My Bro." Jika sudah berbicara soal gaji, jelas saja Luthfi ketar-ketir. Siapa yang suka jika gajinya dipotong begitu saja?

"Btw, Pak Boss—" Suasana sudah mulai mereda dengan Qabil yang tengah menutup mata, tetapi mendengar nada bicara Luthfi sepertinya perang dunia akan dimulai lagi. "udah nana ninu belum?"

Qabil memicingkan mata mendengar pertanyaan asisten sekaligus sahabatnya tersebut. "Gini nih kalo senjatanya gak pernah diasah, selain tumpul, goblok juga iya," gerutu Luthfi. "Buat Qabil Junior, oncom!" geramnya, karena Qabil tidak kunjung paham.

"Kafir gini gue tau kalo Zinah salah. Gak kek lo otaknya nunu nina mulu. Jangan-jangan lo udah gak perjaka lagi?" curiga Qabil yang langsung saja ditepis oleh Luthfi dengan menaikkan nada suaranya. "Enak aja kalo ngomong, gue masih suci ting-ting, yah!"

Merasa begitu penasaran, dengan tidak sopannya Luthfi duduk di atas meja kerja Qabil. "Lo jangan mengalihkan pembicaraan deh. Gimana?" tanyanya kembali. Dia tidak akan berhenti bertanya sebelum pertanyaannya terjawab sempurna.

Qabil menggaruk tengkuknya, "be—kenapa gue mesti bilang sama lo? Mak gue aja gak kepo!" Melihat respon Qabil, Luthfi tersenyum jahil. "Belum nih pasti. Pantas mencak-mencak gak jelas."

Qabil tidak berkutik, dirinya menghela napas panjang. "Mau gimana lagi? Qalbi-nya sedang kedatangan tamu." Sontak Luthfi terbahak, "apes banget idup lo, Bil." Jika sudah begini, Qabil hanya bisa terdiam sambil memonyongkan bibirnya tidak suka.

"Sabar yah, Tong. Tunggu ajah surgamu sampai bersih," ejeknya melirik sesuatu di dalam celana Qabil. "Mulut lo, yah! Vulgar banget perasaan. Begini nih kalo buaya haus belaian. Ingat! Dosa Fii!" geram Qabil.

"Kalo gak bisa nahan, puasa sana!" sentaknya tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya. "Iya, iya. Yang lagi puasa," ujar Luthfi kemudian tertawa sambil berdiri dari duduknya. "Astagfirullah! Pergi gak lo!" frustasi Qabil, dia sudah berdiri dari duduknya, mengangkat kursi kebesarannya hendak dia layangkan pada Luthfi.

Luthfi yang melihat hal tersebut segera berlalu dari sana, masih dengan tawanya.

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang