BS || 19

12 2 2
                                    

Takut adik iparnya melihat yang tidak seharusnya dia lihat dari Qalbi, olehnya dia sendiri yang turun tangan untuk memindahkan adiknya ke kamarnya dan suaminya. Meski Arbhy awalnya tidak setuju, karena tidak ridho Qabil menyentuh istrinya, hanya saja mau bagaimana lagi, titah ­big boss tidak bisa diganggu gugat. Toh mereka bersaudara.

Perlahan dia memasuki kamarnya dengan Qalbi, sementara Arbhy dipintanya untuk menunggu di depan pintu. Dilihatnya di sana—di atas ranjang, adik serta istrinya sudah terlelap. Benar saja, istrinya tidak mengenakan hijab, untung dirinya tidak membiarkan adik iparnya memasuki kamar mereka.

Tidak ingin membangunkan keduanya, perlahan dia berusaha membawa Ayra dalam gendongannya. Terdapat sedikit pergerakan, tetapi keadaan aman dan Ayra terlihat nyaman dalam gendongan Abangnya. Tidak sabaran, Qabil melangkahkan kaki panjangnya menuju pintu kamarnya. Membawa Adiknya keluar dari sana.

"Aman, Bang?" tanya Arbhy yang memang tengah menunggu keduanya di depan pintu. "Ck. Gak sabaran banget lo jadi orang," protes Qabil. Tidak elak, dirinya tetap memindahkan Ayra ke pelukan suaminya. "Pelan-pelan elah, Bang. Lagi hamil ini," protes Arbhy yang merasa Qabil sedikit tidak sabaran.

Tanpa memedulikan sepasang suami istri penganggu tersebut, dia berbalik memasuki kamarnya, menutup pintu, membuat Arbhy menggeleng dan segera menjauh dari sana. "Kek gak pernah ngerasain jadi pengantin baru ajah lo, Bhy." Sepanjang jalan menuju ke kamarnya dia berguman demikian, sambil tersenyum mengingat kenangannya dan Ayra di awal pernikahan.

Sementara itu, Qabil yang kini sudah memasuki kamarnya, memutuskan untuk membersihkan diri sebelum bergabung bersama istrinya di ranjang. Suasana hatinya sedang baik sekarang, bagaimana pun permasalahan yang selama ini dirinya khawatirkan telah terselesaikan. Tinggal satu, yah hanya satu. Persoalan malam pertama yang masih tertunda.

Di ranjang yang terasa nyaman, Qalbi merasa ada yang hilang. Karena setahunya, dia tidur bersama Ayra. Namun sekarang, dia tidak menemukan siapa pun di sebelahnya. Membuka mata, berusaha sadar sepenuhnya, dia mendengar suara dari arah kamar mandi. Olehnya, dia berpikir mungkin saja Ayra ada di sana.

"Kenapa bangun?" Suara berat menyapa telinganya. Gerakan di ranjang sebelahnya, membuatnya membuka mata. Terlihatlah suaminya menaiki ranjang, berada di posisi yang tadinya ditempati Ayra. "Ayra mana?" Tanpa menjawab pertanyaan Qabil, Qalbi kembali bertanya. "Udah balik ke kamarnya. Kenapa, gak suka tidur sama aku? Lebih suka tidur sama Ayra?" tanya Qabil berentetan.

Qalbi tersenyum, "mulai deh cerewetnya." Mendengar hal itu, Qabil yang tadinya berwajah bahagia, kini terlihat murung. Sontak, dia membalikkan badannya, tidak ingin tidur menghadap ke arah istrinya. "Hey, kok ngebelakangin istrinya sih?" Basa-basi, Qalbi cekikikan dibuatnya. Ada-ada saja kelakuan ajaib suaminya. Sangat bebeda dengan citra yang selama ini orang-orang ketahui.

Merasa bahwa dirinya sudah cukup keterlaluan, Qalbi merapat ke arah suaminya. Dia meninggalkan bantalnya, bergeser ke bantal suaminya. Memasukkan satu tangannya di antara tangan dan pinggang suaminya, sederhananya—dirinya memeluk Qabil dari belakang. "Maaf, yah. Aku gak bermaksud loh. Lagian tiba-tiba ajah Ayra-nya ilang," jelas Qalbi.

"Ayra dikhawatirin, suami gak tau tidur di mana, gak dicariin!" kesal Qabil. "Aku kira kamu tidur bareng Arbhy di kamarnya," ucap Qalbi dengan polosnya. "Kamu pikir aku cowok apaan!" Bukannya berhasil membujuk suaminya, Qalbi malah menambah kekesalan Qabil. "Ya, udah. Sekarang, kamu mau aku gimana?" tanya Qalbi selembut mungkin.

"Yah, gak gimana-gimana!" sewot Qabil. "Oh, kamu mau sendiri, yah? Kalo gitu, aku lepasin yah pelukannya?" Berusaha peka, Qalbi menarik tangannya hendak kembali ketempatnya semula. Namun, Qabil menahannya, "ish. Kamu kok gak peka banget, sih?" Qabil tiba-tiba saja berbalik, sedikit merendahkan dirinya, memeluk istrinya, meletakkan kepalanya tepat pada dada istrinya.

"Aku gak suka kamu lebih khawatirin orang lain dari pada aku. Gak suka kamu tidur sama Ayra, akunya dibiarin. Kamu gak khawatirin aku," rengeknya. "Siapa bilang aku gak khawatirin kamu?" tanyanya sambil mengelus rambut suaminya. "Aku tadi rencananya nidurin Ayra dulu baru cari kamu. Eh, akunya malah ketiduran." Qalbi berusaha memberi suaminya penjelasan.

"Terus kenapa pas bangun liat aku, tapi malah nyariin Ayra?" protes Qabil mendongakkan kepalanya, bertatapan dengan istrinya. "Kan tadi aku udah bilang, kaget tiba-tiba Ayra ilang aja," jawabnya. "Maaf, yah. Kan sekarang kamu udah di sini, tidur sama aku. Jangan marah lagi. Mending kita bobok, istirahat." Mengelus wajah tampan suaminya, dia tengah membujuk bayi besarnya.

"Yah, udah. Peluk sambil puk-puk tapi, yah?" pintanya kembali menenggelamkan dirinya dalam pelukan istrinya. Setidaknya, Qalbi dapat menghela napas lega. Perdebatan mereka akhirnya selesai. Sekarang yang harus dia lakukan adalah menidurkan bayi besarnya.

"Besok mau dibuatkan sarapan apa?" tanya Qalbi yang merasa suaminya belum juga tidur. "Aku mau yang hangat dan berkuah," jawabnya sambil memilin tali baju tidur istrinya. "Makan siangnya gimana?" tanya Qalbi kembali. "Gimana kamu aja, asal makannya sama kamu," ujar Qabil sedikit serak, pertanda dirinya mulai mengantuk.

***

Siang ini Qalbi berencana untuk lunch bersama dengan suaminya. Oleh karena itu, sepulangnya ia dari rumah sakit, ia menyempatkan diri untuk memasak. Setelahnya, dia berganti pakaian dan bersegera ke kantor milik suaminya bekerja. Ah, lebih tepatnya kantor milik suaminya.

"Luth!" panggilnya ketika melihat Luthfi sekertaris suaminya melintas di loby. "Eh, Ibu Boss. Mau ketemu Pak Boss, yah?" tanyanya menghampiri istri bosnya itu. "Iya. Udah istirahat kan?" jawabnya yang diiringi dengan pertanyaan kembali. "Udah. Tapi, Pak Bosnya belum. Lagi ketemu klien," ucap Luthfi. Hal tersebut tentu saja membuat Qalbi keheranan.

"Mas Qabil ada rapat sama klien, kok kamu di sini?" curiganya. Luthfi menggaruk tengkuknya, "gak mau diganggu kali." Tanpa merasa bahwa dirinya sedang memberi permasalahan baru pada Qabil, dia berkata "mau saya antarin ke Pak Boss?" Qalbi menghela napas, tetapi tidak urung ia tersenyum kemudian.

Sepanjang perjalanan mereka menuju ke ruangan Qabil, banyak karyawan yang memang mengenal Qalbi menyapanya dengan ramah. Tidak terlupa dengan tatapan memuja yang mereka layangkan, baik itu karyawan pria maupun wanita. "Kalo Mas Qabil emang belum bisa diganggu, gak papa Luth. Saya nunggu di depan ruangannya aja," ucap Qalbi ketika mereka sudah tiba di depan ruangan Qabil.

"Mana bisa gitu Bu Boss. Bisa-bisa uang jajan saya dipotong sama si Boss," ujarnya. "Huh? Uang jajan?" heran Qalbi. "Eh, maksud saya gaji." Menghiraukan apa yang akan terjadi beberapa menit kemudian, dengan lancangnya Luthfi membuka ruangan Qabil tanpa mengetuk. Terlihat lah pemandangan di dalamnya, seorang Qabil sedang memangku seorang wanita glamor.

Degh,

Qalbi ada di sana menyaksikan hal menyakitkan di hadapannya. Tatapannya kosong tidak dapat mengartikan apa pun bagi yang melihatnya. Inikah sosok yang selama ini manja padanya, yang katanya bucin padanya. Teganya sosok ini menyakitinya di hari-hari awal pernikahan mereka. Huh, dasar Qabil. Berlian seperti Qalbi hendaknya dijaga, bukan disakiti, apa lagi diganti.

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang