"lalu ... bagaimana jika pria dihadapanmu ini tidak mengenal agama dan Tuhannya sebaik dirimu mengenal agama dan Tuhanmu?"
Qalbi tersentak, segera memandang Qabil, hendak melihat kesungguhan di matanya. Dan benar saja, bola mata hitam legam itu menyiratkan kebenaran atas ungkapan dari bibir tebal indahnya baru saja. Cukup lama terdiam, Qalbi segera memutuskan pandangan, menghela napas, dirinya kembali menatap sang bintang penghias langit malam di atas sana.
"Jika memang seperti itu, maka aku akan menjadi Asiyah untukmu yang diandaikan Mush'ab Al-Rayyan atau lebih dikenal dengan nama Firaun dalam kisah Nabi Musa," ujar Qalbi kini menatap lurus ke depan sambil mengembangkan senyum penuh keihklasan.
Qabil terlihat masih menyimpan tanya, tetapi dirinya terdiam. Menatap kosong ke depan, terjebak dalam pikirannya sendiri. Suara kursi terdorong ke belakang, membawanya kembali pada kesadaran. Di sana, Qalbi sudah berberes, hendak beranjak untuk pergi. "Aku rasa, sudah cukup bagi kita untuk berbicara," ujarnya mengambil tasnya dan menggandengnya.
"Harapanku hanya satu dari pertemuan singkat kita ini, apa pun yang kamu putuskan merupakan yang terbaik bagi kita semua," ungkapnya diiringi senyuman hangat, meninggalkan Qabil yang terdiam masih berusaha mencerna perbincangan serius mereka.
***
Uring-uringan, Qabil menghela napas berulang kali. Sementara di hadapannya, Luthfi sudah jengah melihat kekacuan bosnya hari ini. "Sudah gue peringatkan bukan sebelumnya? Lo itu gak cocok sama dia," ujar Luthfi sambil memberikan beberapa berkas untuk Qabil tandatangani.
Qabil mendengus mendengarnya, "lalu, gue harus gimana? Nolak lamarannya?" frustasi Qabil. "Puft." Membicarakan hal itu, Luthfi masih saja tidak mampu menahan rasa geli juga tawanya. Tentu saja hal tersebut tambah membuat sang bos uring-uringan.
"Kalo lo gak bisa kasih gue solusi, setidaknya jangan ketawain nasib gue," sebal Qabil. "Lagian siapa sih tuh Asiyah sama raja Firaun?" dumelnya. Jika sudah begini, tenggelamkan saja pria tampan nan kaya raya satu ini. Kemana saja dirinya selama ini sehingga tidak mengetahui dua orang bersejarah yang baru saja disebutkannya?
"Sumpah lo gak tau siapa itu Firaun?" tanya Luthfi sedikit tidak percaya. "Ck, berasa gagal gue jadi sahabat lo," ujar Luthfi mendramaatis. Qabil memutar bola mata malas, "cukup bilang siapa dia, gak usah banyak drama!" geramnya tertahan.
Membuka laptopnya, Luthfi menyambungkannya pada proyektor yang ada di ruangan itu, kemudian memposisikan diri selayaknya tengah mempresentasikan beberapa hal yang dirinya tampilkan di layar lebar yang ada di sana. "Firaun itu raja yang kejam pada masa Nabi Musa. Dia menyatakan diri sebagai Tuhan menghiraukan seruan Nabi Musa untuk menyembah hanya kepada Allah. Meski begitu, Asiyah sang istri sangat dimuliakan. Kenapa coba?" jelas Luthfi diakhiri dengan kalimat tanya.
Qabil menggeleng, sungguh dirinya tidak bercanda bahwa dia tidak mengetahui apa-apa tentang Firaun dan istrinya itu. "Yah, karena meski suaminya mendustakan agama Allah, tetapi dirinya tetap percaya ajaran yang dibawakan oleh Nabi Allah. Asiyah yang percaya akan wahyu Allah setelah menyaksikan mukjizat nabi Musa. Ia menegaskan keimananya pada Allah dan menolak menyembah Firaun suaminya sebagai Tuhan. Meski dalam tekanan dan penyiksaan, namun Asiyah tetap bertahan akan kepercayaannya. Meminta dan memohon agar suaminya mengikuti jejaknya," lanjut Luthfi setelah menggelengkan kepala mengapresiasi kebodohan sobatnya.
"Wajar saja dia mengatakan hal itu pada lo. Soalnya dalam kasus kalian memang seperti itu kenyataannya," ujar Luthfi setengah mengejek. Sedang Qabil tidak dapat menyanggah hal tersebut, memang begitu bukan kenyataannya? "Lo harusnya bersyukur, wanita berhati malaikat sepertinya mau menerima lo jadi pendampingnya," ungkap Luthfi menyentak sesuatu di diri Qabil.
"Meski gue selalu bilang bahwa lo gak cocok sama dia, tapi itu cuman buat nyadarin lo bahwa sudah waktunya lo berubah menjadi manusia yang lebih baik dari ini. Dan mungkin saja, dia ditakdirkan buat lo agar lo bisa kembali ke jalan-Nya," ujar Luthfi berjalan ke arah Qabil, menepuk bahu sahabatnya.
***
Qabil berjalan tergesa, ingin ia tuntaskan segalanya. Pikirannya yang terus berkelana, menganggu ketenangan hatinya, kini membawanya pada ratusan bahkan ribuan tanya yang hendak dirinya layangkan pada Qalbi. Rupanya, pertemuan mereka beberapa hari yang lalu, membawa Qabil pada pertimbangan berat menghiraukan hatinya yang menginginkan nama Qalbi Akbar masuk dan tersemat di dalam sana.
Brak.
"Aku mau ngomong," ujarnya memandang Qalbi yang sudah berbalik. Ia tersentak akibat keributan yang ditimbulkan Qabil pada pintu rooftop yang tidak bersalah sama sekali. Kembali menikmati angin malam, secangkir teh hangat dalam genggaman, Qalbi menghiraukan kedatangan Qabil.
"Aku bilang, aku mau ngomong," ulang Qabil mendekat ke arah Qalbi. Tanpa memandang Qabil, Qalbi berucap, "silahkan." Mau tidak mau, suka tidak suka, Qabil harus menghadapi perempuan yang satu ini. Jikalau hati dan pikiran sudah terpaut, apa mau diakata? "Aku pernah dengar istilah, jodoh itu cerminan diri," ucapnya memperoleh perhatian Qalbi.
Qalbi meletakkan gelasnya, duduk pada kursi yang tersedia di sana, hendak mendengarkan Qabil dengan seksama. Mengangkat alisnya, ia meminta Qabil untuk melanjutkan perkataannya. "Baik itu di mataku, di mata keluargaku, sahabat-sahabatku, atau pun orang-orang di luar sana, bahkan mungkin di matamu, aku ini tidak sebanding denganmu," ungkapnya.
Qalbi tidak beranggapan apa-apa, ia menunggu Qabil untuk melanjutkan, menumpahkan segalanya. "Aku sudah lama melenceng dari jalan-Nya. Beribadah? Mungkin terakhir kali kulakukan kelas 6 SD saat masih bersama dengan Ayah Bunda. Diwarnai pergaulan di lingkunganku waktu studi di London, aku jauh dari kata baik," lanjutnya.
"Aku lupa. Ah, tidak. Aku benar-benar tidak tahu mengenai Agamaku, Tuhanku, Rasulku, Nabiku, atau apa pun yang menyangkut hal itu. Bukankah kita berbanding terbalik?" sendunya, terdapat raut dan nada penyesalan di sana. "Yang kulihat dari dirimu ... kamu taat, sholehah bisa dibilang, bagaimana mungkin bisa dipertemukan dengan lelaki yang jauh dari kata sholeh sepertiku?" ujarnya menggebu.
"Kamu sudah memantaskan diri, bagaimana mungkin kau berjodoh dengan seseorang yang bahkan tidak memikirkan itu?! Aku tidak pantas untukmu!" teriaknya tertahan. "Bukankah perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji pula, sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik pula (QS. An-Nur :26)? Lalu, mengapa ... mengapa kita dipertemukan seperti ini?!" teriaknya frustasi.
Meski begitu, Qalbi terlihat tenang menghadapinya. "Lantas, pantaskah kamu meragukan keputusan, meragukan takdir, meragukan jodoh yang sudah dikirimkan oleh Allah untukmu, setelahnya?" tanya Qalbi datar, tetapi menyiratkan kelembutan. "Pantaskah kamu meragukan penilaian-Nya atasku dan atasmu?" tanyanya setelah jeda beberapa detik. "Nasib bisa dirubah, tetapi tidak dengan takdir Allah. Yang perlu kita lakukan sebagai manusia hanyalah berusaha agar tidak dipermainkan oleh nafsu dan diri kita sendiri atas nama takdir," ujarnya dengan nada rendah.
"Pantas dan tidak pantasnya seorang hamba, hanya Allah yang tahu dan dapat memutuskan," lanjutnya. "Rezeki, jodoh, maut, hanya Allah yang Maha mengetahuinya," ugkapnya pada akhirnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/278804114-288-k187048.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Senja
Spiritual[ ON GOING ] لا تحز ان الله ماعنا. Laa Tahzan Innallaha Ma'naa "Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." (Q.S. At-taubah /9:40) *** Bukan kisah layaknya Adam dan Hawa, bukan juga cerita seperti Yusuf dan Zulaikha, apa lagi mengenai...