BS || 5

33 7 0
                                    

Tersenyum begitu ramah melewati beberapa pasien, rekan kerja sesama tenaga medis, keluarga pasien serta pengunjung rumah sakit lainnya, berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang tengah dirundung gundah nan gelisah. Memasuki ruang kerjanya, ia masih terlihat baik-baik saja, bahkan ketika ia telah mengenakan seragam kebanggaannya. Sungguh penyembunyi yang handal. Sikap profesionalnya dapat terlihat jelas, tidak sekali pun dirinya tidak tersenyum ramah di tempat ini mau pun tempat lainnya, meski ekspresi tersebut berbeda dengan isi hati dan pikirannya.

Tok, tok, tok.

Ketukan pintu membuatnya bergegas memperbaiki penampilannya, sebelum ia mempersilahkan seseorang yang berada di sebalik pintu ruangannya untuk masuk ke dalam sana dan menemuinya. "Permisi, Dok," ujar seorang suster berjalan menuju ke arahnya. "Iya. Ada apa, Sus?" tanyanya sambil melihat beberapa data pasien di mejanya. "Direktur rumah sakit secara pribadi meminta Dokter untuk menangani salah satu pasien VVIP yang baru masuk pagi tadi," ujar suster tersebut.

Qalbi yang mendengar hal itu segera mendongak, menghela napas ia berucap, "baik, Sus. Terima kasih, saya akan segera ke sana." Membereskan bekas pekerjaannya baru saja, ia bergegas menuju lantai ruang VVIP berada. Di sana, di dekat ruang jaga pasien VVIP terlihat sang direktur rumah sakit—Sadewa Nabastala. Sepertinya pasien kali ini benar-benar istimewa, sehingga direktur rumah sakit pun sampai turun tangan sendiri menghampiri sang pasien.

"Eh, hai. Dokter Qalbi sudah tiba rupanya. Maaf merepotkanmu," ujarnya ramah menjemput Qalbi di sana. Qalbi tersenyum hangat, "tidak masalah, Pak Sadewa. Ini sudah tugas saya," ungkapnya. Sambil memperbincangkan beberapa hal, Sadewa dan Qalbi menyusuri lorong lantai itu menuju ruangan pasien istimewa tersebut. Sesampainya mereka di depan pintu ruangan VVIP di ujung lorong, Sadewa mengetuk pintu sebelum masuk ke dalamnya.

"Berhentilah berulah Sagara. Karenamu Kakek berada di sini sekarang." Geraman tertahan memasuki indra pendengaran Qalbi, menjemputnya tepat di depan pintu yang sudah ditutup kembali oleh Sadewa. "Sudahlah, Bang. Memarahi anakmu tidak akan menyembuhkan Papa," ujaran lembut seorang wanita memperbaiki suasana. Meski sudah sering kali berada di tengah perdebatan dan permasalahan keluarga orang lain, tetap saja Qalbi masih merasa tidak enak hati.

Terus berjalan, Sadewa berucap, "maaf. Keadaannya sedikit tidak baik di sini," ujarnya tersenyum kaku. Suara Sadewa membuat beberapa orang di dalam sana memandangi keduanya. Dua wanita paruh baya, dua pria paruh baya, duduk di sofa, bersitegang dengan seorang pria muda terduduk menunduk di sana, menghiraukan seorang kakek yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit di ruangan yang sama.

Qalbi tersenyum ramah, melupakan suasana akward yang tercipta, ia melangkah hendak melanjutkan pekerjaannya. Sadewa mengikutinya, bahkan ia berdiri di samping Qalbi ketika Qalbi mulai memeriksa sang kakek yang Qalbi ketahui bernama Rafael Putra Nabastala—salah satu pemegang saham terbanyak di Indonesia juga pemilik resmi rumah sakit yang sekarang tempatnya bekerja. Tidak lama, kelima orang yang duduk di sofa ruangan itu pun ikut berdiri ingin mengetahui keadaan Rafael.

"Sudah ditangani sebelumnya, Pak?" tanya Qalbi masih fokus memeriksa keadaan sang pasien. "Sudah. Hanya saja saya ingin kamu memastikan keadaanya," ujar Sadewa. Qalbi mengangguk mengerti. Suara pintu yang terbuka mengalihkan pandangan mereka terkecuali Qalbi. Di sana berdiri seorang pria dengan gagahnya juga raut ketenangan. "Kamu datang, Bil?" Qabil mengangguk, kemudian mendekat. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya lembut ketika melihat Qalbi sudah menyelesaikan prosedur pemeriksaannya.

Mendengar tanya itu, Qalbi mendongak. Dan betapa kagetnya ia ketika pria yang ada di hadapannya adalah pasien yang ia ceramahi tempo lalu. Membutuhkan sedikit waktu, ia menormalkan ekspresinya. "Dia banyak pikiran. Suasana tegang membuatnya shok dan berakhir dengan serangan jantung ringan. Penanganan sebelumnya telah membuat keadaannya baik-baik saja," jelas Qalbi. "Biarkan dia istirahat beberapa hari ini. Hindarkan dirinya dari keadaan yang membuatnya banyak pikiran yang bisa menyebabkan stres," ucapnya kemudian.

"Dokter sebelumnya pasti sudah memberikan resep obat, sehingga itu tidak akan saya berikan lagi," canggung Qalbi yang kini ditatap intens oleh beberapa orang penting yang ada di ruangan ini.

Siapa yang tidak kenal mereka? Arshaka Nabastala dan Ayyana Nabastala atau sekarang lebih dikenal dengan nama Ayyana Ahmad merupakan putra putri dari Rafael Putra Nabastala. Kemudian dilengkapi dengan Ahmad Maulana serta Rayya Bagaskara sebagai pasangan mereka yang tidak kalah terkenalnya akan kesultanan mereka di dunia saham atau perbisnisan.

Tidak dapat dipungkiri, Sadewa Nabastala dan Sagara Nabastala serta Qabil Ahmad juga sama saja posisinya dengan orang-orang penting itu. Sehingga, menyadari itu semua, rasa malu sedari beberapa hari yang lalu sebenarnya sudah menghampiri Qalbi. Sebab dengan santainya ia menceramahi Qabil Ahmad kala itu. Namun, dengan rasa professional dan keanggunan dirinya, ia menyembunyikan rasa malunya dengan baik.

"Baiklah, terimah kasih sebelumnya. Maaf sudah merepotkanmu," ujar Sadewa mengakhiri kecanggungan yang ada. Qalbi mengangguk dan tersenyum, "iya, Pak Dewa. Kalau begitu saya hendak permisi dulu, panggil saja saya atau pun rekan dokter lainnya jika terjadi apa-apa," ucap Qalbi yang sesegera mungkin ingin pergi dari sana. "Jika bisa, saya ingin Dokter Qalbi yang menangani Kakek saya. Saya sudah memberitahukan kepada Dokter Sania yang menanganinya tadi, dan katanya ia akan memberikan hasil pemeriksaan dan data Kakek saya padamu nanti," pinta Sadewa.

Penuh pertimbangan dalam waktu singkat, "baik, jika memang begitu. Nanti saya akan bertemu dengan Dokter Sania untuk lebih lanjutnya. Saya permisi," ujarnya hendak beranjak dari sana. "Kamu tidak mau menceramahi Adik Sepupu saya juga karena telah berbuat ulah sehingga membuat Kakek saya masuk rumah sakit?" tanya Qabil menghentikan langkah Qalbi. Mengepalkan tangan, Qalbi menghela napas panjang, ia berbalik kemudian tersenyum. Hanya itu, ia sesegera mungkin melangkahkan kaki pergi berlalu.

Keluar kemudian menutup pintu, ia mampu bernapas dengan lepas. Ia sudah melalui banyak keadaan, keadaan seperti tadi merupakan salah satu keadaan yang ia hindari. Bertemu dengan keluarga itu untuk beberapa hari kedepan layaknya beban tersemat di dadanya. Bukan hanya karena peristiwa dirinya dengan salah satu putra di keluarga itu yang membuatnya tidak nyaman, tetapi juga seluruh anggota keluarganya yang bisa dikatakan konglomerat Negara. Hal tersebut pastinya akan membuat dirinya mesti berhati-hati dalam melakukan berbagai hal. Meski disemua pasien dan keluarganya ia mesti bersikap seperti itu, tetapi yang satu ini berbeda sangat jauh berbeda. Kesederhanaan tidak tercipta di sana, kesederhanaan yang membuat seorang Qalbi nyaman.

Menutup mata sejenak, ia mengelus dada. Menghela napas panjang sekali lagi, ia berjalan dengan tenang. Menebarkan senyum kehangatannya seperti biasa. Biarlah segalanya mengalir bak air. Soal ketidaknyamanan dalam pekerjaan atau pun perihal permasalahan di keluarganya, dirinya akan lewati dengan baik. Atas tuntunan Allah dan atas ridho-Nya, InsyaAllah.

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang