BS || 14

57 15 2
                                    

"Gue ingin tahu segala hal tentangnya dan tentang lo atau pun tentang kalian. Jadi, selama gue minta secara baik-baik, silahkan jelaskan sedetail mungkin. Namun, jangan harap lo lolos dari pukulan gue, sebab lo sudah menyembunyikan hal penting tentang hidup lo dari Adek gue dan buat Adek gue mengeluarkan air matanya."

***

Keheningan menyelimuti ketiganya, tidak ada yang mulai berbicara. Tangisan Humairah mulai mereda, sementara tatapan tajam Qabil terhadap adik iparnya tidak kunjung melemah. "Aku minta maaf, Ay. Aku tidak punya keberanian menceritakan tentangnya padamu" ujar Arbhy memulai perbincangan setelah bercerita panjang lebar mengenai masa lalunya dan Qalbi.

"Aku mohon, Ay. Kamu boleh menghukumku, memukuliku atau pun meminta Bang Qabil melakukannya. Tapi aku mohon, jangan buat diammu yang menyembunyikan rasa kecewa terhadapku, menyiksaku." Arbhy beranjak dari duduknya, berlutut di hadapan Humairah, menggenggam erat kedua tangan istrinya, menghapus sisa-sia air mata di pipinya.

Qabil terdiam melihat interaksi keduanya, membiarkan mereka leluasa menyampaikan rasa. "Aku malu, Kak. Tiba-tiba aku merasa tidak pantas untukmu," ungkap Humairah pelan. Arbhy yang mendengarnya, menggelengkan kepala tidak menyetujui. "Dia yang ada bersamamu sejak awal, menuntunmu, menjadi kekuatan bagimu. Lantas—"

Tidak ingin mendengar lebih lanjut perkataan istrinya, Arbhy mengangkat tangannya, meletakkan jari telunjuknya tepat di bibir indah Humairah. Namun, Humairah menepisnya perlahan. "Dengan bangga aku memperkenalkan diri di hadapannya sebagai tunanganmu, calon istrimu. Tanpa aku tahu bahwa keberadaanmu di sisiku disebabkan olehnya," sendu Humairah memalingkan wajahnya dari hadapan Arbhy.

"Rasanya bahkan aku tidak punya muka untuk berhadapan dengannya, Kak." Tidak elak air mata yang tadinya sudah dapat tertahan, kembali menggenang, mengaliri pipi tembem Humairah. "Jangan berkata seperti itu, Ay. Aku yang tidak pantas untukmu. Aku yang seharusnya malu berhadapan denganmu," bantah Arbhy ketika ia merasa mendapat peluang untuk berbicara.

"Aku salah, Ay. Seharusnya sudah sedari dulu kuselesaikan cerita masa laluku sebelum kugenggam tanganmu—masa depanku." Arbhy tidak menyerah untuk membuat istrinya mengerti. "Maafkan aku, Ay. Aku belum bisa menjadi suami yang baik untukmu, belum bisa menjadi ayah terbaik bagi calon anak kita, bahkan tidak tahu terima kasih terhadapnya."

Merasa jengah terhadap drama keluarga yang terjadi di hadapannya, Arbhy menghela napas panjang. Ia kemudian berdiri dari duduknya, merapihkan penampilannya, hendak pergi dari sana. "Selesaikan terlebih dahulu kesalahpahaman antara kalian," ujarnya. Melangkah ke arah Humairah, ia mencium pucuk kepala adiknya.

"Jelaskan perlahan, jangan gunakan kekerasan," peringatnya pada Arbhy. "Jujur saja, aku ingin sekali memukulimu, hanya saja mengingat perkataan Qalbi, aku berubah pikiran," ujarnya datar. "Aku jengah menunggu terselesainya masalah kalian. Jadi kesalahpahamanmu denganku biar kuminta Qalbi yang menjelaskan," jelasnya.

Menepuk bahu Arbhy, memberi tatapan penuh ancaman, ia kemudian meninggalkan keduanya.

***

Malam ini, tiga keluarga berkumpul, semata-mata untuk tujuan mempererat tali silaturahim. Tepat di rumah keluarga Ahmad, baik keluarga Al-Farabi mau pun keluarga Akbar telah duduk bersama dalam satu meja.

"Haduh, maaf yah. Anak saya telat datang seperti biasa," ujar Akbar merasa tidak enak sebab Qalbi yang tidak kunjung hadir. "Gak apa-apa, santai aja. Bagi seorang Dokter sepertinya, sudah sewajarnya mengutamakan keselamatan pasien," ucap Ahmad—tidak mempermasalahkan.

Meski begitu, tercetak jelas raut khawatir dari mimik wajah seorang Qabil. Tidak elak, baik Humairah mau pun Arbhy menampilkan raut wajah yang sama. "Assalamualaikum. Maaf, Qalbi telat datang."

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang