Mendengar berita bahwa putra tunggalnya masuk rumah sakit sebab kecelakaan semalam, membuat seorang wanita paruh baya panik, berlarian di lorong rumah sakit yang sudah mulai ramai. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran, sementara di belakangnya terdapat pria paruh baya yang selalu sedia mendampinginya.
Brak.
Pintu sebuah ruangan VVIP terdorong dengan keras, siapa lagi pelakunya jikalau bukan Nyonya Ahmad—Ibunda tercinta dari Qabil Ahmad. "Sayang, pelan-pelan," ujar Ahmad Maulana—suami Nyonya Ahmad sekaligus Ayahanda dari Qabil.
Qabil yang tengah memeriksa beberapa dokumen pada tabnya tersentak kaget. Dengan mata membulat dan mulut menganga, ia pandangi kedua orang tuanya yang tengah khawatir terbalut amarah. Tidak tanggung-tanggung, Ayyana—Bundanya tergesa menggapai telinga putranya untuk ia tarik sekencang-kencangnya. Dalam keadaan panik Ayahnya segera menahan lengan istrinya agar tidak memperburuk keadaan anak mereka.
"Sayang, udah. Kamu tenang dulu yah?" ujar Ahmad teramat lembut pada istrinya. Perlahan tapi pasti, memeluk istrinya dari belakang, ia menggapai lengannya untuk melepaskan tangan itu dari daun telinga sang putra. Membawa istrinya menuju sofa yang ada di sana, menenangkannya, sebelum kembali mengurusi putra mereka.
"Bunda," panggil Qabil pelan. Ayyana yang mendengar hal itu, berbalik ke arah putranya, menatap dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Qabil yang mendapat ekspresi Bundanya yang seperti itu, ia hanya dapat menunduk, tidak berkata apa-apa lagi. Menghela napas panjang, Ayyana mendekat ke arah Qabil, "apakah parah?" tanyanya. Ia memeriksa setiap jengkal yang ada pada tubuh putranya. Sehingga mau tidak mau Qabil meringis ketika tangan lembut itu menyentuh luka dan memar di badannya.
"Jam berapa kejadiannya?" tanya Sang Ayah ikut berdiri di samping istrinya. "Aku tidak tahu," ungkap Qabil pelan. "Kamu pasti mabuk lagi," tuduh Ayyana sambil sesekali menghapus air mata di pipinya. "Kamu sendirian di sini sejak semalam?" tanyanya kemudian. "Ada Luthfi, dia baru berangkat pagi tadi," jawab Qabil seadanya. Melihat Bundanya yang tidak kunjung menghentikan air mata, Qabil membawanya dalam dekapan hangatnya, "aku tidak apa-apa, Bun." Ahmad yang melihat kasih sayang itu, ia ikut mengelus bahu putranya.
Melepas pelukan putranya, ia bertanya, " sekarang kamu mau makan apa?" Qabil tersenyum tipis, "apa saja yang Bunda berikan." Beginilah sosok seorang Qabil, dingin nan datar pada lingkungan sekitar sekiranya itu tidak penting dalam hidupnya, tetapi ketika sudah berhadapan dengan manusia-manusia yang dirinya anggap lebih dari kata penting, ia akan ramah tamah dan penuh kasih sayang.
***
Malam telah tiba membawa keramaian pada ruang rawat inap Qabil. Kedatangan Ayah dan Bundanya siang hari tadi, membuat Adiknya pun ikut serta. Canda dan tawa terdengar di sana, menambah kehangatan dengan cara yang berbeda. Terlihat Bundanya terduduk di sofa begitu mesra bersama Ayahnya, sementara Adiknya tidak jauh berbeda melakukan hal yang sama dengan suaminya. Lalu, apakah Qabil iri? Sama sekali tidak tersemat di relung hatinya, ia malah bahagia. Karena pada hakikatnya, pemikirannya tidak pernah sampai di sana. Lantas, adakah kemungkinan hal itu berubah setelah bertemu dokter wanita pagi tadi? Sepertinya begitu, sebab ia kini memutar bola mata malas, sesekali tersenyum dalam khayalnya sendiri.
"Assalamu'alaikum, permisi." Bunyi pintu terbuka diiringi dengan salam, membuat keluarga bahagia itu beralih memandang ke arah datangnya suara. Terlihat di sana Luthfi, dengan perban terbalut di kepalanya, ia menyalami tangan Ayyana dan Ahmad serta ber tos ria pada suami Ayra—Adik Qabil. Ia tertunduk, "maafin saya yah Om, Tante dan Qabil. Gara-gara saya semua ini terjadi. Saya kurang hati-hati," ujar Luthfi penuh penyesalan.
Ayyana tersenyum, "tidak masalah, Luth. Toh ini bukan kesalahan kamu sepenuhnya. Pasti gara-gara Qabil mabuk dan buat rusuh pas kamu nyetir. Lagian bukan cuman kami yang repot, pasti kamu juga. Belum lagi kamu sama terlukanya." Perkataan Ayyana setidaknya membuat Luthfi sedikit lega, tidak elak hal itu menghadirkan senyum Ahmad mau pun Ayra. "Lo sendiri, baik-baik aja?" tanya Qabil sambil menunjuk perban di kepala sahabatnya. "Aman kok. Malah lo yang buat gue jantungan semalam," ujar Luthfi setengah bercanda.
"Terus kenapa baru hubungi Tante pagi tadi?" tanya Ayyana mulai mengintrogasi. "Maaf sebelumnya, Tante. Saya rasa Qabil bakal melakukan hal yang sama. Lagi pula, karena kondisi Qabil yang lumayan parah, penangan terhadap dirinya sampai subuh sebelum fajar, saya hanya tidak mau Tante dan keluarga kerepotan akibat tingkah kami, walau pada dasarnya itu sudah menjadi kewajiban," jelas Luthfi penuh kebijakan.
Ayyana tersenyum, "kalo tidak mau kami repot, tolong cegah anak Tante ke bar." Mendengar hal itu, Qabil hanya dapat memutar bola mata malas. "Jadi, bagaimana keadaan Qabil kata Dokter?" tanya Ahmad. "Karena ditangani secara cepat semalam, sehingga tidak menimbulkan hal yang fatal," ujar Luthfi. "Dan sepertinya dia juga mendapat siraman rohani pagi ini," goda Luthfi yang mengetahui persoalan tadi pagi. Hal itu di dengarnya dari suster yang ia pinta untuk mengawasi Qabil selama ia pergi.
Seluruh tatapan keluarga Ahmad kini penuh akan tanda tanya. Sementara Qabil yang tahu ke mana arah pembicaraan, menatap Luthfi tajam dan penuh ancaman. Menghiraukan Qabil, Luthfi memulai ceritanya, "Dokter yang menanganinya kebetulan dokter yang berada di lokasi kejadian semalam. Ia yang menyelamatkan Qabil dan juga membawanya kemari bahkan menjadi Dokternya hingga saat ini. Rumor mengatakan bahwa karena ia menangani Qabil semalam, ia terlambat datang pada acara lamarannya. Sehingga paginya ketika dia datang mengecek kondisi Qabil, ia mencermahi Qabil habis-habisan hingga Qabil tidak bisa berkata apa-apa lagi." Mendengar cerita Luthfi, mereka semua yang ada di ruangan itu tertawa, menghiraukan wajah Qabil yang telah memerah menahan amarah dan rasa malu yang menggebu.
Kini Qabil tidak berjaya lagi dalam mengimintidasi orang-orang di dalam ruangan itu, sebab mereka sudah menemukan hal yang akan membuat Qabil seketika terdiam.
***
Dengan wajah berseri, ia tidak tahan lagi untuk bertemu dokter wanita itu datang memeriksa keadannya pagi ini. Kebetulan tidak ada orang yang menjaganya, sebab mereka sibuk mengurusi pekerjaan masing-masing, sementara Bunda dan Adiknya pulang membersihkan diri. Meski masih menyimpan rasa kesal sebab peristiwa kemarin, tidak dapat dirinya pungkiri bahwa ia ingin dan masih terus ingin bertemu dengan wanita penuh keteduhan dan sejuta pesona itu.
Ceklek.
"Assalamu'alaikum, permisi Tuan Qabil," ujarnya ramah diikuti oleh seorang suster seperti biasa. "Bagaimana keadaannya pagi ini? Apakah tidur anda nyenyak semalam?" tanyanya kemudian, sambil memeriksa beberapa hal di ruangan itu. Sementara suster mengganti cairan infus Qabil serta pembalut lukanya, dokter wanita itu memeriksa laporan dari suster mengenai keadaan Qabil semalam. "Apakah kecelakaan ini menyebabkan anda bisu hingga tidak menjawab pertanyaan saya?" ujarnya sarkastik, tetapi masih mempertahankan senyum indahnya.
"Khem. Mengenai kondisi saya, anda bisa lihat sendiri kan?" jawab Qabil, ketus. Sang dokter menghela napas, "melihat kondisi anda yang semakin membaik, saya rasa tinggal menunggu hari anda akan keluar dari sini." Qabil tidak peduli, entah mengapa ia hendak memperlihatkan kemarahannya pada wanita yang ada di hadapannya. Apakah ini yang dianamakan ngambek? Sepertinya begitu, tetapi ia lupa bahwa dirinya tidak mempunyai hak untuk itu.
"Sepertinya anda sudah tidak menyimpan dendam pada saya?" ujar Qabil membuat dokter itu terdiam sebentar, melihat ke arah Qabil seraya memberi tatapan penuh tanya. "Bukankah gara-gara saya anda batal menikah?" Terjawab sudah, tetapi bukannya marah sebab perbincangan ini mengarah pada privasi diri pribadi, dokter wanita itu malah tersenyum lembut. "Batal lamaran lebih tepatnya," ujarnya membenarkan.
Cukup lama dalam diam, setelah selesai melakukan tugasnya, wanita itu kemudian berdiri tepat di samping Qabil terbaring. "Besok bukan saya lagi yang akan menjadi doktermu. Oleh karenanya, saya yang tidak tahu mungkinkah kita masih akan bertemu, saya mau memohon maaf atas sikap saya kemarin selagi sempat. Saya hanya takut akan kekecawan keluarga saya, melampiaskan segalanya pada anda, jadi sekali lagi saya minta maaf," ujarnnya penuh ketulusan.
Hendak bernjak dari sana, Qabil menahannya dengan berkata, "kamu memang tidak berniat menikahinya, yah?" tanyanya yang sudah mengubah gaya bicaranya seketika. Sementara dokter wanita itu, ia terhenti. "Saya memang sedikit kesal kemarin sebab telah mengecewakan keluarga saya karena ulah anda, tetapi kemudian saya sadar bahwa ini bukanlah salah siapa-siapa, sebab memang mungkin dia bukanlah jodoh saya. Rencana manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan rencana Allah. Namun kemudian, mendengar tutut kata anda yang semakin berani, saya rasa dengan hubungan kita yang hanya sebatas dokter dan pasien, tidak sepantasnya membahas perihal ini."
Berakhir sudah percakapan yang telah berubah mencekam, dokter wanita itu meraih kemenangan secara telak lagi setelah kemarin. Ia pergi meninggalkan Qabil mematung dan termenung di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Senja
Spiritual[ ON GOING ] لا تحز ان الله ماعنا. Laa Tahzan Innallaha Ma'naa "Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." (Q.S. At-taubah /9:40) *** Bukan kisah layaknya Adam dan Hawa, bukan juga cerita seperti Yusuf dan Zulaikha, apa lagi mengenai...