Makan malam kali ini, sedikit hening dari biasanya. Ayah Ahmad sedang ada pekerjaan di luar kota, sementara Bunda Ayyana ikut bersama suaminya. Sehingga mau tidak mau, malam ini di rumah itu hanya diisi oleh Ayra dan Arbhy serta Qabil dan Qalbi.
Sebenarnya Arbhy mau pun Ayra sudah pulang ke rumah mereka beberapa hari sebelumnya. Hanya saja, karena banyaknya klien Arbhy di kota ini mengharuskan mereka kembali sore tadi. Hal tersebut tentu membuat Qabil uring-uringan. Belum habis perkara jatah, terbit lagi cinta lama bersemi di rumah mertua.
Entah bagaimana hubungan antara adik dan suaminya? Dia hanya bisa berharap adiknya cukup sabar dalam menghadapi ujian pernikahan mereka. Apa lagi kini dirinya tidak lagi sendiri, ada cabang bayi tidak berdosa terlibat di dalamnya.
Dalam hal ini, dia tidak bisa menyalahkan istrinya. Dilihat dari sisi mana pun, Qalbi tidak terlibat dalam rasa yang kembali ada. Namun, dirinya juga tidak bisa sepenuhnya melimpahkan kesalahan pada adik iparnya. Siapa yang bisa lupa untuk segala perubahan hidup serta kebaikan dari istrinya yang anggun, rupawan lagi memesona?
"Bukannya kamu gak suka makan kepiting, yah?" tanya Arbhy kala melihat Qalbi mengambil sesendok kepiting saus ke piringnya. Sontak, baik Ayra mau pun Qabil melihat ke arah mereka berdua. "Dulu, sekarang suka." Respon Qalbi seperti biasa. Tidak mengacuhkan, tetapi mempertegas batasan antara dirinya dan lawan jenisnya.
Namun, rupanya perhatian Arbhy tidak hanya sampai di situ. Ketika Qalbi hendak menaburkan daun bawang, bawang goreng dan seledri ke mangkuk yang berisi sup di sebelahnya, lagi-lagi dirinya bersuara. "Jangan! Nanti kamu muntah-muntah."
Tinggg!
Bunyi sendok yang beradu dengan piring terdengar cukup keras. Qabil baru saja membanting sendok di genggamannya. Berbeda dengan Ayra, dirinya hanya bisa menunduk menahan gejolak api cemburu di dadanya.
Mengerti akan hal itu, Qalbi menghela napas panjang. Diambilnya tangan suaminya, kemudian dikecupnya. Dia tersenyum, seolah mengatakan 'aku hanya milikmu seorang'. Karena Qabil tidak bergeming, dia berinisiatif menyuapi suaminya di hadapan adik ipar serta seseorang dari masa lalu baginya.
"Kadangkala, waktu tidak hanya merenggut ruang gerak seseorang, tetapi bahkan sampai pada pribadinya. Sama sepertiku, keadaan membuatku menjadi orang baru," jelas Qalbi sambil terus menyuapi dirinya dan suaminya.
Karena Arbhy hanya memandangi dirinya hingga menghiraukan perasaan istrinya, Qalbi meletakkan sendok di genggamannya perlahan. "Mari kita selesaikan di sini, malam ini!" tegasnya.
"Apa yang kamu inginkan dariku?" tanyanya. Arbhy tertegun. "Ak-ak-aku cuman," ujarnya terbata. "Aku cuman mau menebus apa yang kulakukan padamu di masa lalu," ungkapnya. "Memangnya, apa yang kamu lakukan padaku?" tanya Qalbi kembali, sementara tangannya meraih tangan suaminya untuk dirinya genggam.
"Kamu bintang yang menerangi malamku kala senja pergi meninggalkan diriku. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, bahwa seumur hidupku akan kuabdikan diriku padamu," jelasnya. Tidak elak, entah dapat angin dari mana, dia menggenggam tangan istrinya erat.
"Jujur, aku pernah mencintaimu. Kamu obat dari segala lukaku. Dengan kelembutan dan kebesaran hatimu, kamu memberiku tempat pulang yang nyaman, bahkan kamu berbaik hati memperbaiki rumahku yang sudah hancur lebur," ceritanya, tersenyum sendu.
"Dulu, aku berjanji pada semesta, bahwa akan kutunggu dirimu, mempersuntingmu, hingga aku bisa membalas jasamu seumur hidupku. Aku tidak akan ada di sini tanpa dirimu." Tidak menunggu lama, Ayra terisak dalam tangisnya. Refleks, Arbhy menarik istriny dalam peluknya.
"Namun, langit memberiku anugrah yang tidak pernah aku duga. Aku jatuh cinta pada seorang gadis manja lagi lemah lembut hatinya. Aku goyah, kamu terlalu mandiri untuk aku yang haus menyayangi."
Arbhy menatap Ayra penuh cinta, membuat Qabil menatap istrinya penuh keheranan. 'Sebenarnya ada apa ini?' Mungkin begitu ucapnya dalam hati.
"Aku melupakanmu. Aku lupa diri, Qalbi. Aku bergelimang harta dengan kasih sayang orang tua sebagai pelengkapnya. Ditambah lagi ada Ayra, gadis yang kucinta. Aku lupa janjiku pada semesta," ungkapnya memperjelas segalanya.
Rasa cintanya telah hilang, tetapi rasa hutang budinya membekas sepanjang hidupnya. "Aku kemudian baru mengingatnya ketika kamu datang beriringan dengan Ayra di malam itu. Aku merasa bersalah, Qalbi."
Cukup sudah, Qalbi sudah tahu di mana letak permasalahan yang membuat kesalahpahaman. "Sudah diungkapkan semuanya?" tanyanya. Arbhy mengangguk membenarkan. "Kamu berjanjinya pada semesta, bukan padaku. Jadi, apa yang membuatmu merasa bersalah? Toh, aku tidak tahu."
Qalbi kemudian tersenyum, "kerasnya hidupku bukan menjadi tanggung jawabmu. Namun, melencengnya dirimu dari jalan kebenaran adalah tanggung jawabku sebagai sesama ummat untuk mengingatkanmu," jelas Qalbi dengan kelembutan nada bicaranya.
"Sungguh. Cukup melihatmu bahagia dengan bantuanku, itu merupakan balas budi terindah yang pernah kuterima." Rasanya Qabil hendak berteriak, mengumumkan pada dunia betapa beruntungnya dia.
"Jangan bilang, Ayra setuju dengan ide ini?" tanya Qalbi kemudian. Ayra mengangguk malu-malu membalasnya. "Masya Allah. Jadi istri gak perlu baik sampai segitunya," ujar Qalbi menambah rona merah di wajah Ayra.
"Bukan berarti kamu harus menahan rasa cemburumu hingga terluka hanya karena balas budi. Jangan merasa kamu merebut yang tidak seharusnya kamu miliki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. Allah tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Dan ini takdir yang Allah telah tuliskan untuk kita. Sudah sepatutnya kita menerima dengan lapang dada. Apa lagi ini jelas kamu nikmati, tunggu apa lagi? Jalani dan syukurilah," jelas Qalbi panjang lebar.
"Huwaa, Kak Qalbi!" teriak Ayra pada akhirnya. Dia sontak melepaskan pelukan suaminya, berdiri dari kursinya kemudian masuk ke dalam pelukan Qalbi. "Kakak tahu, Ay mau banget meluk Kakak setelah resmi jadi Kakak Ipar Ay. Tapi, Ay segan."
Melihat tingkah Ayra yang sudah kembali seperti semula, Qabil tersenyum lebar. Salahnya yang sensian tanpa minta dengar penjelasan. Kan, gini enak.
"Seneng banget tau Ayra dapat Kakak Ipar kayak Kakak. Mana Ay ngefens abis sama Kakak," ungkap Ayra, belum melepaskan pelukannya pada Qalbi. "Masih gak percaya kalo Kakak udah jadi Kakak Ay," ujarnya mempererat pelukannya.
"Khem, punya gue itu," singgung Qabil yang merasa dihiraukan. Apa lagi, karena membalas pelukan Ayra, Qalbi melepaskan genggaman tangan Qabil.
"Gak! Malam ini, Kak Qalbi punya Ayra!" sentak Ayra melepaskan pelukannya, tetapi sebagai gantinya, dia memeluk lengan Qalbi. "Kak Qalbi malam ini tidur sama Ay ajah, yah?" pintanya.
Qalbi yang mendengar itu, berbalik memandang suaminya untuk meminta persetujuan. Namun, ketika dirinya berbalik, mimik wajah bete Qabil yang didapatnya. "Istri siapa, yang tidur bareng dia, siapa?" gerutu Qabil. Namun, karena dirinya kasihan pada adiknya dan tersentuh dengan kelembutan hati istrinya dia setuju saja.
"Iya. Kita pesta piyama, yah?" ujar Qalbi yang membuat Ayra senang bukan kepalang. Dengan tidak sabaran, dia segera menarik tangan Qalbi untuk dibawanya ke kamar. "Eh, nanti dulu. Gue belum selesai makan ini," tahan Qabil yang masih mau disuapi oleh istrinya.
"Makan ajah sendiri, udah besar juga," ujar Ayra, membuat Qabil mendengus kesal. Tidak menunggu waktu lama, dirinya dan Sang Kakak Ipar menghilang dari sana.
"Khem!" Arbhy berdehem, seakan meminta waktu Qabil untuk diajaknya bicara. "Ngomong aja, gak usah pake basa basi!" tegas Qabil yang dengan ogah-ogahan, berusaha menghabiskan makanannya.
"Slow, Bang." Bukannya mereda, Qabil tambah menampakkan mimik masamnya. "Gak suami, gak istri, ganggu rumah tangga orang aja bisanya," kesalnya. "Maafin gue yah, Bang. Sumpah, gue gak bermaksud," ujar Arbhy serius.
"Udah lah, gak usah dibahas. Kali ini gue lolosin lo, lain kali jangan harap," ancam Qabil sambil menodongkan sendok di depan wajah Arbhy. Melihat respon abang iparnya, Arbhy terkekeh. Dirinya beruntung berada di sekitar orang-orang yang pengertian lagi bersikap dewasa dalam menghadapi suatu permasalahan.
"Gini aja, Bang. Sebagai permintaan maaf gue, nanti kalo istri gue udah tidur, gue pindahin ke kamarnya, Bang. Biar abang bisa bareng istri Abang. Tenang aja, amarah besok, gue yang tanggung," tawarnya sambil menaik turunkan alisnya.
"Bilang aja, lo juga gak bisa tidur kalo gak bareng istri lo!" sindir Qabil, membuat Arbhy menggaruk tengkuknya, padahal tidak gatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Senja
Spirituelles[ ON GOING ] لا تحز ان الله ماعنا. Laa Tahzan Innallaha Ma'naa "Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." (Q.S. At-taubah /9:40) *** Bukan kisah layaknya Adam dan Hawa, bukan juga cerita seperti Yusuf dan Zulaikha, apa lagi mengenai...