Sudah satu minggu terhitung sejak kepulangan Qabil dan Qalbi dari bulan madu mereka. Malam ini rencananya keluarga Qabil membuat acara kecil-kecilan di rumah Kakek Rafael. Semua keluarga inti hadir tanpa terkecuali, bahkan menghadirkan keluarga sahabat Kakek Rafael, entah untuk apa dan kenapa. "Bagaimana bulan madunya, Bil?" tanya Kakek Rafael memulai percakapan di meja makan panjang nan besar yang sudah di susun di tengah-tengah taman kediamannya. "Pesanan Kakek sudah dibuatkan?" tanyanya lagi tanpa memberi kesempatan untuk Qabil menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Masalah itu, Kakek tenang saja." Qabil menjawab seperti biasa, seadanya. Hal tersebut membuat Kakek Rafael menghela napas, tidak mengharapkan jawaban yang demikian. "Suamimu memperlakukanmu dengan baik, Nak?" tanyanya kemudian. Kali ini dirinya bertanya kepada Qalbi. "Alhamdulillah. Lebih dari cukup, Kek." Qalbi menjawab dengan lembut diiringi senyuman yang teramat indah. "Nggak usah ganjen," bisik Qabil tidak suka jika istrinya memperlihatkan keindahan tersebut kepada siapa pun, bahkan kepada keluarganya sendiri.
"Udah berapa bulan sih pernikahan mereka, Jeng Ana?" Anak dari teman Kakek Rafael tanpa diminta nimbrung dipercakapan mereka. "Baru dua bulan Jeng Icha," jawab Ayyana selaku bunda Qabil dan mertua Qalbi. Sementara itu, diseberang meja, Rayya—mami dari Sadewa dan Sagara—ipar Ayyana sudah memicingkan mata curiga. "Loh, kok belum isi juga?" tanyanya ala-ala tante julid. Benar saja yang Rayya pikirkan di kepalanya, pasti setiap ada tamu tidak diharapkan ini selalu memberikan suasana tidak mengenakkan di keluarga mereka.
"Baru juga dua bulan Jeng Icha. Bagi pasangan yang dijodohkan seperti mereka, wajar saja. Masih masa-masa pendekatan itu. Lagi asik-asiknya pacaran halal," bela Rayya yang tentu saja ada benarnya. "Aduh Jeng Rayya, takutnya mereka nggak cocok, kan beda profesi. Jadinya nggak semangat berhubungan. Beda pendapat, nggak sefrekuensi. Biasanya kan pengusaha yah sama pengusaha," katanya memperjelas sindirannya. "Bener itu Tante Icha, dokter juga cocoknya sama dokter. Seprofesi, sefrekuensi, sependapat apa lagi," ujar Sadewa menggoda sepupunya—Qabil.
"Kayak nggak ada perempuan lain aja," ketus Qabil. "Bener apa yang kamu bilang, Bil. Makanya tante sedikit nggak espek pas terima undangan. Tante pikir kamu deketnya sama Natasya, keponakan Tante. Kan seprofesi, sefrekuensi, dan sependapat. Yang paling penting, nggak beda kasta," ucapnya tidak tahu malu. Qabil yang merasa bahwa bukan hal tersebut yang dimaksudkannya, mengepalkan tangan hendak membalas perkataan menjijikan tersebut. Namun, istrinya yang penyabar menggenggam erat tangannya, sesekali memberi usapan lembut, mengisyaratkan bahwa biarkan saja.
"Jaga omongannya yah, Tante. Setau saya, mereka setara dalam hal finansial. Justru keponakan Tante yang nggak setara dengan Kakak Ipar saya. Pewaris kok mau disama-samain sama perintis? Hebatan Kakak Ipar saya lah, yang bukan siapa-siapa menjadi seperti sekarang. Tante pikir mudah? Emang keponakan kesayangan Tante itu bisa? Kalo bukan karena nyempil di ketek bokapnya juga nggak bakal tuh sekasta," dumel Ayra dengan mimik tidak bersahabat.
"Kan, kan, kan. Baru aja bergaul lima bulan dengan iparnya, udah kurang ajar kayak gitu." Icha yang tidak terima dibantah bahkan direndahkan oleh Ayra tentu saja menyerocos tidak tahu tempat. "Saya rasa, Jeng Icha yang mulai. Makanya anak saya bisa selancang itu," bela Ayyana kepada anak-anaknya. "Dari banyaknya anak perempuan yang saya temui, termasuk keponakan Jeng Icha, menantu saya ini tidak tertandingi akhlak baiknya. Jadi jika anak perempuan saya menurut Jeng Icha kurang baik akhlaknya, itu datangnya dari saya, bukan dari menantu saya," jelas Ayyana yang membuat keluarganya menatap tidak terima. Jelas saja, ini bukan dari Ayyana apa lagi Qalbi, melainkan sifat normal manusia yang muncul ketika menghadapi orang-orang licik seperti Icha.
"Kok ini jadi ke mana-mana pembahasannya?" keluh Kakek Rafael. "Lagian Kakek pake undang dia segala," celetuk Qabil bersamaan dengan Sadewa dan Sagara. "Jual diri kamu? Sampe sekeluarga belain kamu segininya," ujar Icha menggebu dalam keadaan marah. Suaminya yang tepat berada di sampingnya sudah berusaha menghentikannya agar tidak berbuat ulah sedemikian rupa, tetapi dia hiraukan. Baik Ahmad—ayah Qabil maupun Arshaka—papi Sadewa hendak angkat bicara, karena menurut mereka ini sudah sangat berlebihan. Namun, Qalbi justru mendahului mereka.
"Saya rasa, sudah cukup Tante. Saya masih terima jika Tante merendahkan saya. Karena mungkin begitulah tanggapan beberapa orang tentang saya dan saya tidak bisa ataupun berhak dalam mengubah itu," ujarnya lembut tanpa emosi sedikit pun. "Bukan berarti saya membenarkan semua tuduhan Tante, tetapi memang saya bukanlah manusia yang sempurna, masih banyak kurangnya. Dan saya rasa Tante bisa memaklumi sikap keluarga suami saya, karena begitulah keluarga. Keluarga mana yang akan terima, jika ada orang yang merendahkan keluarganya, apa lagi jika itu tidak benar adanya," jelasnya kemudian.
"Anastasya Permata Hadikusuma bukan nama keponakan Tante? Jika benar perempuan itu yang sedari tadi Tante bandingkan dengan saya, maka sebelum Tante melakukannya tolong Tante ketahui dahulu baik buruknya dia. Karena seminggu yang lalu, saya menemukannya tengah menggoda suami saya dengan duduk dipangkuannya. Dan saya rasa dibanding saya, tuduhan Tante yang terakhir lebih cocok untuknya," ungkap Qalbi yang tentu saja dengan persetujuan suaminya. Bagaimana pun hal tersebut adalah salah satu permasalahan rumah tangga mereka yang tidak harus orang lain ketahui.
"Jika bukan karena menghormati Pak Hadikusuma, sudah saya batalkan kerja sama dengan Hadikusuma Group sedari dulu," ujar Qabil memvalidasi ucapan istrinya. Bukan main kagetnya orang-orang di meja makan itu. Icha yang merasa dipermalukan, tentu saja terbirit-birit pergi bahkan tanpa berpamitan. "Serius Bro, lo mangku-mangku si Natasya?" goda Sadewa menahan tawa. "Gue nggak bayangin lempeng dan pasrahnya muka lo," ujar Sagara tidak mau kelewatan. "Ih, Abang udah nggak suci." Ayara pun malah ikutan.
"Kamu nggak apa-apa kan, Sayang?" tanya Ayyana pada Qalbi. "Kok nggak cerita sama Bunda?" ujarnya kemudian, terlihat khawatir. "Nggak apa-apa, Bun. Lagian bukan hal baik untuk diceritakan," jawab Qalbi berusaha menenangkan Ayyana. "Harusnya kamu cerita Sayang, biar Bundamu dan Mami labrak perempuan gatal itu," ucap Rayya sedikit bar-bar. "Istri itu pakaian untuk suaminya, begitu pun sebaliknya. Jadi, tidak elok rasanya hal memalukan seperti itu untuk diceritakan. Jika tidak mendesak seperti tadi, aku rasa lebih baik kami simpan berdua saja," jelas Qalbi.
"Wah, carikan aku juga menantu seperti manantumu Mad," gurau Arshaka kepada iparnya. "Limited edition, cuman Qalbi dan dia sudah jadi menantuku," balas Ahmad tertawa ala bapak-bapak. "Begini-begininya aku, dia pernah jadi mantan gebetanku," gumam Arbhy yang dihadiahi cubitan dari istrinya dan plototan dari Qabil. "Ini mah bukan keluarga kita yang rugi dapat Kakak Ipar, tapi Kakak Ipar yang rugi masuk ke keluarga bobrok kayak gini,"keluh Sagara yang membuat Sadewa gemas dan menyentil jidatnya. "Begini saja,Kakek sudah merasa bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Senja
Spiritual[ ON GOING ] لا تحز ان الله ماعنا. Laa Tahzan Innallaha Ma'naa "Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." (Q.S. At-taubah /9:40) *** Bukan kisah layaknya Adam dan Hawa, bukan juga cerita seperti Yusuf dan Zulaikha, apa lagi mengenai...