BS || 6

26 8 0
                                    

Dalam keadaan lelah, ia masih berusaha baik-baik saja. Setelah membersihkan diri di kamar mandi, berpakaian, sekarang waktu bagi dirinya untuk turun ke bawah dan makan malam. Seluruh keluarganya sudah berkumpul, tidak terkecuali Albar dan Anaya serta putra putrinya yang memang tinggal serumah dengannya dan kedua orang tuanya. Tersenyum hangat dan menyapa ia lakukan, meski masih tercipta kecanggungan di sana.

"Mau makan apa, Sayang?" ujar Arumi hendak menyiapkan makanan untuk putrinya setelah menyiapkan makanan untuk suaminya—Akbar. Qalbi tersenyum, "Mama makan saja. Biar Qiqi ambil sendiri," ujarnya mulai mengambil nasi dan beberapa lauk yang ia inginkan. "Kamu gak ada jadwal malam ini, Dek?" tanya Akbar memulai perbincangan makan malam. "Tidak ada, Pa. Besok pagi baru aku ada pemeriksaan," jawab Qalbi setelah mengunyah makanan di mulutnya.

"Kalau begitu, sebelum istirahat di kamarmu, Papa mau bicara sebentar dengan kamu, boleh?" pinta Akbar. Qalbi mengangguk, "tentu saja, Pa." Tidak ada lagi obrolan setelah itu. Mereka fokus dengan makanan mereka, sesekali menertawakan kelucuan kedua anak dari Albar.

***

"Bagaimana, Naya? Kara dan Dina sudah tidur?" tanya Akbar pada menantunya. Anaya yang ditanya seperti itu pun mengangguk, "sudah, Pa." Meski begitu, mereka masih tetap menunggu. Pasalnya Qalbi yang akan menjadi bahan perbincangan malam ini, kini tengah sibuk dengan teleponnya yang terus berdering sedari tadi.

Langkah kaki mengalihkan fokus mereka dari layar televisi yang menyala. Qalbi tergesa di sana, lalu duduk di dekat Kakak Iparnya. "Sudah selesai urusanmu?" tanya Akbar setelah mengecilkan volume televisi di depannya. "InsyaAllah, sudah, Pa," jawabnya pelan. Keheningan tercipta beberapa saat, sebelum akhirnya sang kepala keluarga berucap, "Papa mengumpulkan kalian di sini, sebab Papa ingin membicarakan perihal masalah kita tempo hari." Sudah menjadi dugaan sebelumnya, cepat atau lambat sang Papa akan membahasnya.

'"Perihal jodoh Qiqi, Papa sudah katakan bukan sebelumnya, bahwa Papa yang akan mengurusnya?" tanyanya yang diberi respon anggukan oleh semua orang yang ada di sana. "Papa sudah menemukan jalan penyelesaian. Papa juga sudah merundingkan hal ini sebelumnya dengan Mama. Bahkan perbincangan lebih jauh telah dilakukan," ujarnya kemudian. Qalbi hanya dapat menelan ludah karenanya.

"Papa harap, setelah apa yang telah Papa lakukan, tidak ada tanggapan yang akan memberikan rasa penyesalan. Bukan maksud Papa mengabaikan perasaan Qiqi, tetapi melihat kegagalan sebelumnya, menurut Papa ini tepat dilakukan." Akbar terus berucap, berusaha menjelaskan dan memberi pengertian pada putrinya sebelum masuk pada inti pembahasan. Bagaimana pun masa depan serta perasaan putri kesayangannya itu dipertaruhkan di sini.

"Menoleh ke belakang, pada kisah cinta antara Rasulullah dengan istrinya Khadijah, Papa hendak mengikuti jejak ceritanya, melamarkanmu seorang pria untuk dapat menikahimu." Bak ujung jari kaki menabrak pinggiran meja, ungkapan itu menyentak Qalbi dalam kesadaran yang nyata. Tidak habis pikir dirinya, kisah langka ini terjadi padanya begitu saja. Tidak elak, terkecuali Arumi, Albar dan Anaya sama tidak menyangkanya terhadap keputusan Papa mereka.

"Tidak perlu khawatir. Dari empat kriteria yang disebutkan Rasulullah mengenai pasangan yang sebaiknya kita pilih, terdapat tiga poin dalam dirinya," ujar Akbar kemudian. "Papa harap dengan ini permasalahn mengenai jodohmu selesai dan kamu dapat bahagia setelahnya. Selain itu, memperoleh ajaran dan pengajaran serta amalan akan kamu lakukan selanjutnya bersama dengan dirinya," ungkap Akbar penuh keyakinan.

Mau dikata apa lagi? Jika Papanya sudah memutuskan dengan penuh rasa percaya diri, Qalbi hanya dapat menyetujui itu semua. "Meski begitu, Papa sudah mengatakan pada pihak keluarganya untuk mempetemukan kalian terlebih dahulu. Setelahnya, Papa memberikan keputusan sepenuhnya padamu," jelas Akbar yang setidaknya memberi perasaan lega di hati Qalbi.

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang