Meski sudah meyakinkan diri, berserah diri hanya kepada-Nya, tetapi tidak dapat dipungkiri rasa gelisah itu tetap ada. Memikirkan yang telah berlalu, masa-masa sekarang dan masa yang akan datang, bahkan mengambil pengajaran dari kehidupan orang lain sudah ia lakukan, tetapi rasa gundah masih merajai pikiran.
Mematahkan segala kemungkinan yang ada, ia berani mengambil langkah. Namun, langkahnya selepas itu menggoyah. "Ketika kamu sudah selangkah maju ke jenjang yang lebih serius, setan akan iri dan memenuhimu dengan bisik-bisik menjerumuskan," ujar Albar menemui adiknya yang tengah asik berkenala dalam pikirnya di gazebo belakang rumah mereka.
Qalbi segera tersadar, berbalik ke arah Albar, ia tersenyum. "Abang tau, Qiqi pasti capek menjalani kehidupan ini sekarang. Tapi, selain bertahan, gak ada yang bisa dilakuin bukan?" ungkap Albar memutuskan menyusul adiknya merenung tentang kehidupan. "Abang tau, meski terlihat kokoh nan kuat, tapi Qiqi memiliki sisi yang rapuh dan mudah patah. Bergulirnya waktu dan takdir, begitu pun dengan suasana dan keadaan, membawa sisi itu saling berebutan untuk menguasai jiwa Qiqi," ujarnya kemudian.
"Baik Mama, Papa, Abang atau siapa pun itu, bahkan mungkin diri kamu sendiri, tidak sepenuhnya mengerti akan perasaan, keinginan dan cara mengatasi kegelisahan, kegundahan, pemikiran yang berlebihan dalam diri kamu," ucapnya tersenyum sendu. "Kamu ingin istirahat, tapi entah mengapa dan bagaimana sebagian dari diri kamu enggan memahami itu. Masing-masing dari diri kita adalah lawan terbesar kita sebenarnya," ujarnya membawa Qalbi dalam dekapnnya.
"Namun, apa pun itu, bagaimana pun, begitulah manusia. Tersusun dari jiwa dan raga, digerakkan oleh rasa dan pikiran, perannya akan selesai ketika mencapai kematian," ucap Albar, tangannya beralih mengelus punggung Qalbi lembut. Dua manusia itu, sang kakak beradik saling berpelukan seakan hendak menumpahkan segala rasa yang mengganjal.
Tidak berselang lama, isakan terdengar dari bibir manis Qalbi. Derai air mata tidak tertahankan, pertahannya runtuh meluruh dengan perlakuan lembut Albar. "Qiqi capek, Bang. Qiqi mau istirahat, tapi gak bisa," ujarnya menumpahkan tangisnya dalam dekapan sang Abang. Cukup lama pada posisi yang sama, Albar berujar, "semoga Allah selalu memberikan kelapangan untukmu, kebahagiaan lewat dirinya, berbahagialah, Sayang. Sudah saatnya kamu keluar dari rasa yang menyiksa," ungkap Albar lembut, sambil mengelus punggung Qalbi memberi rasa ketenangan di sana.
***
Keheningan tercipta, semua orang yang tengah duduk tenang di kursi mereka menatap dua anak manusia berbeda jenis menunduk, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sang wanita merasa bahwa pertemuan keluarga ini sangat terburu-buru, bahkan ia baru mengetahuinya selepas ia pulang dari rumah sakit—tempatnya bekerja. Sementara sang pria, ia tengah merasa tidak menyangka, orang tuanya secepat ini mengunjungi sang calon pendamping untuk membahas lebih lanjut mengenai pernikahan keduanya.
Memang tiga hari selepas perbincangan serius keduanya di rooftop rumah sakit, Qabil memutuskan menerima lamaran Qalbi dan hendak meminang kembali meski sudah dipinang sebelumnya. Namun, diluar dugaan, orang tua keduanya sudah melangkah lebih jauh. Di pagi hari Qabil mengatakan bahwa ia setuju, malam harinya mereka segera bertemu untuk memutuskan tanggal baik anak-anak mereka melangsungkan akad dan resepsi pernikahan.
"Jadi bagaimana dengan kalian berdua, mau menikah kapan?" tanya Ayyana masih menunggu jawaban dari keduanya. "Bunda nanya ini lebih dulu ke kalian, sebab kalian yang akan menjalankannya nanti. Kami mau kalian dengan nyaman melaksanakannya, apa lagi di hari bahagia yang terjadi seumur hidup sekali, InsyaAllah."
Mendengar tanya yang sudah berulang kali terucap, Qalbi menegakkan pandangannya, menunggu jawaban Qabil hanya membuang waktu saja. Bagaimana pun perbincangan mereka barulah sampai menetapkan pilihan, belum pada bagian menetapkan waktu kejadian.
"Tiga bulan ke depan."
"Tiga bulan ke depan."
Baik Qalbi mau pun Qabil berujar berbarengan, membuat keluarga mereka tertawa geli akan tingkah pria dan wanita yang tidak bisa dikatakan muda lagi. "Beri kami kesempatan mempersiapkan diri juga menyelesaikan pekerjaan kami sebelum mengambil cuti," jelas Qabil sekaligus mewakili Qalbi.
"Untuk hari dan tanggalnya, kami serahkan kepada kalian saja," ucap Qalbi melanjutkan penjelasan dari Qabil. Melihat kekompakan keduanya, seluruh keluarga turut berbahagia. Apa lagi senyum merekah yang diperlihatkan Qabil membuat keluarganya yakin bahwa inilah yang terbaik buat anak mereka. Sementara Qalbi yang memang sudah menyetujui dan pasrah akan takdir jauh-jauh hari, hanya dapat memberikan senyum bahagia yang sama.
"Ginikan Ayra senang. Abang bahagia, Ayra juga bahagia. Apa lagi Ayra dapat Kakak Ipar yang emang idola Ayra," ungkap Humairah mencairkan suasana. Mendengar penuturan yang dibuat kekanak-kanakan itu, seluruh keluarga tertawa, tidak terkecuali Kara dan Dina—keponakan Qalbi yang ikut memeriahkan acara pertemuan kedua keluarga calon mempelai.
Tanpa mereka sadari ada tawa dengan hati sedikit tergores di sana. Ia yang lebih dulu kenal, ia yang lebih dulu berjuang, ia yang lebih dulu memendam dan menyimpan rasa, segalanya ia yang sudah datang lebih dahulu. Namun, rupanya takdir dan jodoh tidak merestuinya bersama dengan sang pujaan hati.
***
Tersenyum tipis, Qabil duduk di sofa tepat di samping Bundanya. "Hem. Bahagia sangatlah tuh," cibir Humairah yang duduk berseblahan dengan suaminya. Qabil mendengus menghentikan tarikan ke atas di bibirnya, "ngaku aja lo sirik gue dapat pendamping yang berbanding terbalik dari prediksi lo selama ini," ujarnya.
"Hem. Ayra ngaku kalah dan salah terka. Lagian Ayra masih gak nyangka, Abang dapatin Kak Qalbi gitu aja. Mana Kak Qalbi yang ngelamar duluan lagi," ujar Humairah memicingkan mata curiga. "Abang pelet yah?" tanyanya tanpa disaring. Dengan reflex Qabil melemparkan bantal sofa ke wajah Humairah, tetapi adiknya itu mendapat perlindungan dari suaminya.
"Bang!" peringat Ahmad. "Sudah, jangan mulai deh kalian," ujar Ayyana angkat bicara sebelum keduanya memulai perang dunia ketiga. "Abang jangan kasar sama Adeknya, apa lagi sampai gak sopan gitu sama Adik Iparnya," nasehat Ayyana kemudian. Humairah yang mendengar itu mengeluarkan lidahnya, mengejek Qabil sebab dirinya telah dibela secara terang-terangan oleh Bunda mereka.
"Adek!" peringat Ayyana melihat kelakuan anak perempuannya. "Adek juga. Gak boleh gitu sama Abangnya. Namanya juga jodoh dan rezeki siapa yang tahu," ungkap Ayyana membuat Humairah seketika cemberut, menciptakan ekspresi kemenangan di wajah Qabil. "Iya tuh, Bun. Mana tuh anak gak ada malu-malunya sama suami," tambah Qabil.
Ketika Humairah hendak membalas perbuatan Qabil dengan melemparkan bantal sofa ke arah Qabil, suaminya segera menghentikannya. "Gak boleh gitu, Ay." Seketika Humairah kembali duduk tenang, tidak elak mencebikkan bibirnya. Dengan lembut suaminya mengusap perlahan punggung dan tangannya.
"Abang nanti baik-baik sama Kak Qalbi. Bersyukur, Bang. Abang dapat bidadari seperti Kak Qalbi yang berbanding terbalik dengan Abang yang bak iblis," ungkap Humairah setelah terdiam beberapa waktu. Qabil dibuat emosi, tetapi Humairah kembali berucap tidak membiarkannya memulai pertengkaran.
"Asal Abang tau aja, banyak yang mendamba-dambakan Kak Qalbi jadi pendamping hidup, jadi menantu, jadi Kakak Ipar, bahkan Ayra yang seorang perempuan sangat mengaguminya," ungkap Humairah kemudian. "Abang beruntung mendapatkannya, jangan disia-siain, yah? Buat dia nyaman, bahagia, sampai akhirnya memutuskan bertahan dengan Abang hingga di syurga nanti," ujar Humairah bersungguh-sungguh.
"Waktu Ayra bilang bahwa Ayra bahagia dengan Abang yang juga bahagia, Ayra gak main-main. Saat tau bahwa yang akan mendapingi Abang nantinya adalah Kak Qalbi, Ayra bahagiaaa banget. Ayra berdoa seketika, semoga dengan keberadaan Kak Qalbi, Abang kembali menjadi Abang yang Ayra kenal," jelasnya yang tidak dapat lagi menyembunyikan air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Senja
Duchowe[ ON GOING ] لا تحز ان الله ماعنا. Laa Tahzan Innallaha Ma'naa "Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." (Q.S. At-taubah /9:40) *** Bukan kisah layaknya Adam dan Hawa, bukan juga cerita seperti Yusuf dan Zulaikha, apa lagi mengenai...