BS || 3

45 12 0
                                    

Kepulangannya disambut dengan baik oleh seluruh keluarga. Bahkan Ayra dan suaminya yang memang sudah tidak tinggal lagi di kediaman Ahmad, datang makan malam bersama. Sudah cukup lama mereka tidak berada pada situasi seperti ini, apa lagi sejak menikahnya Ayra. Berbagai makanan dan minuman tersaji di atas meja makan, berkumpul-lah Ayah, Bunda, Qabil serta Ayra dan suaminya, sungguh suasana yang patut dirindukan dan diabadikan dalam ingatan.

"Jika Qabil tidak kecelakaan, mungkin makan malam ini tidak terjadi," ujar Ayyana sendu. Ahmad yang mendengarnya hanya dapat menghela napas, sementara Ayra, ia menunduk sedikit merasa bersalah terhadap situasi yang terjadi. "Berarti ada untungnya dong, aku kecelakaan?" canda Qabil hendak mencairkan suasana, tetapi malah membuat Ayyana melotot ke arahnya.

Kesibukan Ahmad sebagai salah satu pengusaha terpandang di Indonesia bahkan Asia, membuat Ayyana pun dilanda kesibukan mengurusi suaminya. Sementara Ayra yang juga sudah memiliki tanggung jawab sebagai seorang istri dari salah satu orang sibuk di Negara itu, membuatnya kehilangan waktu berkumpul bersama keluarga. Lalu, Qabil? Ia tengah fokus terhadap usaha yang ia rintis sendiri tanpa campur tangan Ayahnya. Rupanya kepergian waktu tidak lagi membuat keadaan sama seperti dahulu.

"Tapi, Bun. Satu-satunya orang yang kesepian di sini hanyalah Abang, kan?" goda Ayra pada Kakaknya. Qabil cemberut menyadari fakta itu, hanya dirinya yang berjuang sendirian di sini, di saat Ayahnya memiliki Bundanya, serta Adiknya yang memiliki suaminya. "Adikmu berkata benar. Tidakkah terbesit dalam pikirmu untuk mengakhiri kesendirianmu?" ujar Ayyana menatap putranya penuh pengharapan. Jika sudah seperti ini, Qabil tidak dapat berbuat apa-apa selain terdiam menunduk dalam. Dirinya sudah kehabisan alasan untuk perkara yang satu ini.

"Tidakkah Abang berencana bertanggung jawab atas kekacauan yang telah Abang perbuat pada dokter wanita di malam kecelakaan Abang itu?" ujar Ayra lagi lagi menggoda Kakaknya. Qabil mendengus, menatap adiknya tajam. Jika saja tidak ada adik iparnya di sana, sudah dapat dipastikan bahwa Ayra akan memohon ampunannya saat itu juga. "Tidak perlu muluk-muluk, Sayang. Wanita seperti Qalbi Akbar, penulis terkenal dan dokter berdedikasi itu saja sudah cukup." Ayyana Bundanya pun tidak elak, ia ikut menggoda putranya dengan menyinggung soal sosok yang ia sukai.

"Mimpi Bunda ketinggian. Mana mau Kak Qalbi yang bak bidadari itu pada Abang yang cuman menang tampang dan kekayaan doang," ujar Ayra setengah mengejek. Tentu saja Qabil semakin geram. Jika sudah membahas perihal jodoh, nama Qalbi Akbar selalu tersemat di sana. Qabil pun tidak tahu dan tidak pernah ingin tahu, sehebat apakah Qalbi Akbar itu sampai membuat Bunda dan Adiknya memujanya?

Akhirnya, mereka akan terus menggoda Qabil, sementara Qabil akan cemberut karenanya. Tanpa mereka sadari, ada sesosok di sana yang menunduk sendu, ketika nama itu terus terucap dan terdengar di sana.

***

Meski sudah dinyatakan sembuh total dan dapat kembali bekerja, rupanya kini otak dan jantungnya bermasalah. Pikirannya selalu tertuju pada sosok dokter wanita itu, dan entah mengapa jika sudah begitu, jantungnya tidak berhenti untuk terus bergejolak di sana. Tidak elak, hal itu berdampak pada prilakunya kini. Tersenyum tipis yang sangat mustahil terlihat dari dirinya, saat ini tampak pada wajahnya. Beberapa karyawannya terheran akan perubahan killer bossnya itu. Namun, tidak ada yang berani menegurnya kecuali menyapa dengan sopan.

"Sepertinya rumor yang tengah beredar benar adanya. Apakah kecelakaan itu mengguncang otak lo, hingga lo berubah seperti ini?" ujar Luthfi menyentak Qabil keluar dari lamunannya. "Pintu ada untuk diketuk," sinis Qabil, kembali pada rutinitasnya—memeriksa beberapa berkas dan mengutak ngatik beberapa hal di laptopnya. "Tangan gue udah merah gegara ngetuk tuh pintu kebesaran, tetapi gak ada yang nyaut. Yah, gue masuklah," jelas Luthfi.

Tidak ingin memperpanjang perdebatan, Luthfi segera menyerahkan beberapa berkas di hadapan Qabil. "Nih, bahan untuk rapat hari ini," ujarnya. "Klien kita tidak mau rapat di kantor. Katanya mau nyari suasana baru, jadi pihak mereka ajak rapat di luar," jelasnya kemudian, selayaknya seorang sekretaris. "Jadi, nanti kita makan siang di luar yah?" ucapnya yang belum ada tanggapan sama sekali dari Qabil. Hal tersebut membuat Luthfi menghela napas panjang, "gini amat punya bos kek lo," gerutunya. Qabil yang mendengar Luthfi menggerutu, menatap tajam sahabatnya itu. Seketika, Luthfi hanya dapat menunduk meratapi nasibnya.

"Gue gak ada jadwal check up lagi setelah kemarin?" tanya Qabil setelah semua ocehan Luthfi. "Mmmt, setau gue udah gak ada. Kenapa emang?" ujar Luthfi. Qabil menghela napas kemudian menggeleng. Cukup lama larut dalam pikirannya, Luthfi tersenyum menggoda, "lo rindu sama dokter cantik itu?" Seketika Qabil mendongak, menatap penuh ancaman. "Yaelah, Bil. Gue kira lo gak normal. Masih suka cewek juga ternyata," ejek Luthfi menghiraukan tatapan tajam dari Qabil.

"Tapi yah, Bil. Gue rasa lo gak cocok buat cewek kek dia. Dia terlalu sempurna buat lo yang penuh akan kekurangan," terus terang Luthfi diiringi dengan tawa kecil menggema. Qabil yang mendengarnya mengepalkan tangan tidak suka. "Jaga omongan lo," geramnya tertahan, tetapi tidak mampu untuk menghentikan tawa Luthfi. "Gue pastiin dia bakal jadi milik gue secepatnya," ujarnya penuh penekanan dan keyakinan yang kuat. Luthfi menghentikan tawanya sebentar mendegar itu, hingga kemudian tertawa lebih keras dari sebelumnya.

Qabil hanya dapat mendengus. Berbicara dengan orang seperti Luthfi hanya membawa kita pada rasa emosi.

***

Lonceng berbunyi ketika pintu sebuah caffe terbuka oleh dorongan seorang wanita. Beberapa orang mengarahkan pandangannya ke sana, tidak terkecuali seorang Qabil yang tengah mengadakan rapat bersama kliennya.

Layaknya telah ditakdirkan bersama, mereka kembali dipertemukan, dokter wanita itu, ia ada di sana berjalan memesona. Baju gamis santainya terlihat anggun, wajahnya berseri dan bercahaya, ia cantik nan manis di saat bersamaan. Senyumnya begitu menawan, mendegupkan jantung bahkan hingga memberontak dalam dada. Diantara wanita lainnya, ia begitu mencolok dengan sejuta pesonanya.

"Bisakah lo fokus sama kerjaan kita dulu?" bisik Luthfi tepat di samping Qabil yang terdiam tidak memerhatikan perbincangan. Qabil berdecak, mengalihkan pandangan, "hem." Baginya kini, ia tidak bisa menikmati rapatnya kali ini. Sudah jelas pikirannya dipenuhi oleh wanita itu, tidak ada lagi yang dapat mengisinya. Hingga akhir dari keputusan rapat, ia tidak benar-benar memerhatikan dengan seksama, tidak elak Luthfi yang akhirnya harus ambil andil.

"Gila yah lo kalo udah jatuh cinta," ungkap Luthfi ketika klien mereka telah pergi. Qabil memutar bola mata malas mendengarnya, meneruskan kegiatannya memandang ciptaan Tuhan yang begitu menarik baginya. "Lebih baik lo berhenti sebelum sakit hati," peringat Luthfi membereskan berkas-berkas bekas rapat mereka tadi. Qabil seketika menoleh ke arahnya, memberi tatapan yang sulit untuk diartikan. "Maksud lo?" tanyanya dengan geraman tertahan.

"Sudah jelas bukan, Bil? Lo dan dia bagaikan langit dan bumi. Meski lo tampan nan mapan, tetapi wanita tipe seperti dia itu lebih mengutamakan iman dan takwa. Apa lo bahkan punya keyakinan akan Tuhan?" tanya Luthfi, telak. Namun, Qabil tidak menghentikan tatapan tajamnya pada Luthfi meski hal itu benar adanya. Luthfi menghela napas kemudian, "islam KTP aja sok sok-an mau memiliki bidadari sepertinya? Jangan mimpi deh, Bil."

Perkataan Luthfi di akhir perbincangan mereka benar-benar sudah keterlaluan. Qabil menggeram, tetapi tidak dapat menyangkal kebenarannya. Ia berdiri dengan kasar, "meski nama gue gak ada dalam doanya, kalo gue ada dalam takdirnya ... lo bisa apa?" Telah berakhir, seperti inilah seorang Qabil jika sudah berdebat, lawannya sudah pasti kalah telak. Rupanya dokter wanita itu menjadi satu-satunya orang yang dapat mengalahkan seorang Qabil ketika adu argument, saling melengkapi bukan?

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang