BS | 9

27 12 0
                                    

Sesuai kesepakatan, mereka akan bertemu malam ini. Dengan ditemani oleh orang tua mereka masing-masing, sesuatu akan terjadi sesegera mungkin. Namun, karena Qalbi ada jadwal operasi sore tadi, sehingga ia sedikit terlambat menghadiri pertemuan mereka. Qabil yang sudah jengah menunggu, menghela napas berulang kali di sebelah Ayah Bundanya.

"Tenanglah, Boy. Jangan gugup begitu," ujar Ahmad. "Huh? Gugup? Tidak sama sekali," sangkalnya. "Mereka akan tiba sebentar lagi," ucap Ayyana setelah memeriksa telepon genggamnya.

Suara langkah kaki berbarengan terdengar dari kejauhan. Suasana tenang di restoran ini membuat langkah itu terdengar kentara meski lumayan banyak orang di sekeliling mereka. Baik Ayyana mau pun Ahmad mendongak memerhatikan siapa yang baru saja tiba, berbeda dengan Qabil yang fokus terhadap gadgetnya.

Seorang pria paruh baya menggandeng wanita seumuran dengannya melambaikan tangan ke arah mereka. Mendekat kian mendekat, "maaf membuat kalian menunggu lama. Putri kami ada operasi mendadak tadi sore, sehingga terjadilah ketidakdisiplinan ini," ujar sang pria paruh baya merasa tidak enak hati. "Tidak masalah, Akbar. Kami maklum," balas Ahmad kemudian mempersilahkan ketiganya untuk duduk.

Ayyana yang melihat putranya sibuk sendiri, segera mencubit perut kerasnya. "Auh, Bunda," adunya tertahan. Ia mendongak, membuat manik mata hitam legamnya tertahan pada manik mata kecoklatan seorang wanita cantik di depannya. "Bil. Perkenalkan ini Pak Akbar dan Bu Arumi, Papa dan Mama Qalbi, calon mertuamu," ucap Ahmad memperkenalkan ketiganya pada Qabil dengan nada rendah di dua kata akhir kalimat.

"Akbar dan Arum, ini putraku, Qabil Ahmad," ujarnya kemudian, memperkenalkan Qabil pada kedua pasangan suami istri itu. "Untuk Qalbi, saya rasa sudah kenal dengan putra saya ini. Pernah menjalin hubungan kan?" tanya Ahmad membuat kedua orang tua Qalbi tersentak kaget. "Maksud saya, hubungan antara pasien dan dokternya," lanjutnya diakhiri dengan tawa tertahan.

Qabil terpaku, mendengar yang dikatakan Ayahnya, tetapi tidak menoleh sedikit pun. Seperti biasa, ia sibuk mengagumi keindahan wanita di hadapannya. Hal tersebut membuat Ayyana mau tidak mau menyenggol lengan putranya, memintanya memberi salam sebagai penghormatan pada kedua calon mertuanya—jika pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang diharapkan.

Gelagapan, Qabil memperkenalkan diri dengan sopan, meraih tangan Akbar dan Arumi, menyalaminya. Sementara pada Qalbi, ia menangkupkan kedua telapak tangan, selayaknya yang diajarkan Humairah bahwa sikap tersebut baik bagi lelaki ketika bertemu dengan wanita muslimah.

"Jadi, untuk lebih lanjutnya, mungkin Qabil bisa membawa Qalbi ke meja yang sudah disiapkan agar bisa berbicara dengan leluasa satu sama lainnya," ujar Ayyana memberi instruksi sekaligus tanda bahwa selanjutnya mereka hanya akan mengawasi, tidak ikut andil dalam perbincangan kedua sejoli. Baik Akbar, Arumi, mau pun Ahmad hanya mengangguk menyetujui.

Menangkap petunjuk dari keempat orang tua, Qalbi beranjak, meminta izin secara sopan. Namun, Qabil seakan tidak menerima kode, ia masih saja terduduk sambil tersenyum di kursinya. Tidak elak, Ayyana naik pitam, hingga menendang kursi yang diduduki oleh putranya. "Susul sana, cepat!" bisiknya, menggeram tertahan.

Qabil berdiri sedikit sempoyongan, memohon undur diri dari sana untuk menciptakan malam yang indah bagi dirinya dan juga bidadarinya.

***

Sedikit kaku, mereka duduk terdiam. Menghiraukan pengawasan dari orang tua masing-masing yang duduk di dalam ruangan berbataskan kaca dengan balkon restoran—tempat keduanya bersama. Memandang keindahan langit malam, Qalbi menyeruput teh hangatnya dalam diam. Sementara Qabil, tidak nyalang, hanya memandang Qalbi tiada henti.

"Memandang lawan jenis tanpa label halal, bagiku menimbun dosa terhadap mata yang berzinah, pikiran yang berkenala," ungkap Qalbi tiba-tiba, menghadap Qabil meski hanya memandang kalung berbandul di sana. Hal tersebut dilakukannya, agar tidak menimbulkan fitnah dikalangan setan yang suka mempermainkan cinta yang berasal dari mata manusia.

"Atas dasar itukah kamu segera melamarku, agar matamu tidak berzinah ketika memandang ketampananku?" tanya Qabil penuh kepercayaan diri. Qalbi menggelengkan kepala, "perlu digaris bawahi. Papaku yang melamarkanmu untukku," telak Qalbi yang malah memancing kejahilan Qabil dalam berkata-kata.

"Meski sudah tertangkap basah, kamu masih jual mahal saja," ungkap Qabil, senyumnya menggoda tidak terlihat di mata Qalbi yang memandang ke arahnya, tetapi menatap ke kalungnya. "Terserah apa saja anggapanmu terhadapku dan pertemuan ini. Lebih jelasnya, keputusanku tergantung keputusanmu," ujar Qalbi tidak ingin memperpanjang obrolan.

Qabil tersenyum, "kenapa? Sudah putus asakah mencari jodoh? Atau merasa terpesona dan tidak perlu mencari lagi setelah mendapatkan pria mapan, tampan dihadapanmu ini?" tanya Qabil, masih berusaha menjahili juga menggoda Qalbi. Dengan tenang Qalbi membalas, "sebelum kita bertemu, aku sudah meminta petunjuk, bersimpuh di hadapan Allah. Sehingga tiga malam berturut-turut, aku bermimpi terhadap suasana ini, lampu-lampunya, langitnya, bintang dan bulannya persis sama," jelasnya.

"Lantas, aku memutuskan, Allah ridho atas pertemuan ini. Apa lagi yang aku cari setelah semuanya?" ujarnya kemudian. Beberapa saat, Qabil terpaku. Seyakin itu wanita di hadapannya ini terhadap Tuhannya. "Kamu tidak ingin menceramahiku karena tidak melakukan hal yang sama sepertimu, meminta petunjuk kepada Allah?" tanya Qabil, masih sempat-sempatnya menggoda.

"Tiga, ketiga kalinya kamu bertanya seperti itu padaku," ungkap Qalbi tersenyum. "Aku tidak akan melakukannya, sebab cara setiap orang mengambil keputusan dan meyakinkan diri memilih keputusan itu, berbeda-beda, tidak ada yang berhak memutuskannya selain diri kita sendiri," jelas Qalbi, lagi-lagi Qabil terhenyak karenanya.

Qabil terdiam sejenak, kemudian bertanya penuh keseriusan dan kehati-hatian. "Bagaimana jika pria di hadapanmu ini, bahkan tidak mendekati kriteria yang kamu inginkan?" Qalbi meminum tehnya terlebih dahulu, "kriteria tidak penting selama kamu kuat dan berusaha mampu untuk selalu bersama. Karena pada dasarnya, tipe atau pun kriteria itu sendiri hanya dasar bagimu untuk memilih satu diantara lainnya. Nyatanya, memberi kelebihan untuk menutupi kekurangan, begitu pun sebaliknya, itu baru bisa dikatakan saling berpasangan," jawab Qalbi tanpa keraguan.

"Tapi, bahkan kita tidak saling mengenal sebelumnya. Hanya sekedar berpapasan, namun tak singgah," sanggah Qabil kemudian. "Maka ayo saling mengenal dalam konteks halal," ujar Qalbi menyentak Qabil. "Pada dasarnya, memang terdengar selayaknya salah satu kekurangan dari metode perjodohan. Tapi, kelebihannya lebih banyak dari yang kamu kira," ucap Qalbi melanjutkan.

"Setidaknya, benih tumbuh diladang yang tepat. Tidak akan diambil, dijamah, dirampas, diracuni bunga dan buahnya kelak tanpa izin dari pemiliknya." Qabil memerhatikan dengan seksama, balasan dari Qalbi perihal sanggahannya terhadap hubungan mereka dan pertemuan tiba-tiba. "Sejatinya, ketika kalimat akad telah terucap, pernikahan telah terlaksana, nama kedua mempelai telah dipersatukan di arsy-Nya. Saling menerima, saling mengerti, berbagi kasih setelahnya berupa pahala. Segalanya terbingkai dalam bahterah rumah tangga," jelas Qalbi, ia tersenyum lembut.

"Meski ada tanggapan bahwa selayaknya membeli kucing di dalam karung, lalu lebih baikkah ketika mendengar tanggapan membeli permen tanpa bungkusan?" Qalbi berhenti berucap setelah melayangkan pertanyaan tersebut, ia rasa sudah lebih dari cukup untuk memberi balasan terhadap tanggapan dari Qabil.

Qabil mengangguk-anggukan kepala mengerti. Menghela napas, ia kembali bertanya, "lalu ... bagaimana jika pria dihadapanmu ini tidak mengenal agama dan Tuhannya sebaik dirimu mengenal agama dan Tuhanmu?"

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang