Di lain sisi dari kisah ini, seorang Qalbi Akbar pun sama terdesaknya perihal jodoh. Usianya yang tidak lama lagi akan menginjak kepala tiga, membuat keluarganya was-was. Banyak pria yang datang mempersuntingnya, tetapi ada saja hambatan dan halangan yang membuat segalanya tidak sesuai rencana. Seorang Qalbi sama sekali tidak mengkhawatirkan hal ini, sebab ia percaya akan apa yang telah Tuhan sediakan untuknya.
"Tidakkah kamu bosan hidup sendiri, Nak?" tanya Arumi—Mama Qalbi memulai perbincangan seputar permasalahan keluarga mereka sekarang, di ruang keluarga. Suara kedua anak kecil yang tengah bermain di sana tidak menjadi penghalang pembicaraan mereka malam ini. "Apa aku hidup sendiri ketika ada Mama, Papa, Abang, Kakak serta keponakanku yang selalu berada di sisiku saat ini?" ujar Qalbi memberikan kesan rasa berat di sana.
"Kamu tahu jelas apa yang Mama maksudkan bukan?" tanya Arumi menghela napas panjang. "Cukupkan kesibukanmu, Nak. Fokuslah untuk mencari pendamping hidupmu," ujarnya kemudian. Qalbi hanya dapat menunduk, ia tidak tahu harus berkata apa lagi perihal permasalahan ini. "Sudahlah, Ma. Mungkin belum takdirnya. Perkataan Mama ini seolah-olah Mama menganggap Qiqi hanya selalu mementingkan pekerjaannya lebih dari apa pun," jelas Albar—Kakak laki-laki Qalbi, membantu adiknya berbicara.
"Lebih dari siapa pun, Mama orang yang paling tahu bahwa Qiqi selalu mementingkan kebahagiaan keluarga, kepentingan orang banyak dibandingkan diri sendiri. Meski begitu, kehadiran jodoh dalam hidupnya tidak ada sangkut pautnya dengan itu semua, melainkan belum takdirnya." Albar masih terus berusaha menjelaskan, mencari celah terang untuk keluar dari permasalahan, meringankan sedikit beban yang ia tahu selama ini adiknya telah pikul seorang diri.
"Mengenai pekerjaan, ketika Mama mengizinkan dirinya mengambil profesi itu, Mama harusnya sudah tahu konsekuensinya. Ini bukan perihal kecil, melainkan nyawa seseorang yang menjadi tanggungannya. Lagi pula, apakah sebab pekerjaannya, Qiqi pernah mengabaikan keluarga kita? Dia selalu mengutamakan keluarga di atas segalanya," ucap Albar selanjutnya. Anaya—istrinya mengelus bahu suaminya menenangkan, agar tidak terbawa perasaan.
"Justru itu, Bang. Melimpahkan segala tanggung jawab, menjadikannya tulang punggung keluarga, Mama sangat merasa bersalah. Sehingga kiranya, melepaskan Qiqi dari segala bebannya adalah hal yang perlu Mama berikan setelah segalanya," ungkap Arumi kini dengan tangis yang tertahan. Akbar—sang kepala keluarga untuk sementara hanya dapat menenangkan istrinya, membiarkan segalanya mengalir hingga dirinya diperlukan untuk berbicara.
"Ia tidak pernah merasakan apa yang anak-anak lain rasakan, yang ia tahu hanyalah bagaimana membahagiakan keluarganya. Cukup Mama membiarkan itu semua. Mama perlu menghentikannya dan membuatnya mencari kebahagiaannya sendiri tanpa bayang-bayang keluarganya. Apakah Abang tidak merasa bersalah sedikit pun padanya?" jelas Arumi kemudian. Air mata sudah tidak tertahankan di sana, ungkapan yang sudah sedari dulu hendak terucap telah terungkap. Sementara Albar, ia terdiam karenanya. Sama halnya Arumi mau pun Akbar, tentu saja dia merasa tidak berguna dan sangat bersalah atas keadaan adiknya selama ini.
"Jadi, itu yang Mama pikirkan selama ini?" tanya Qalbi mengangkat kepalanya, tangisnya tidak terbendung lagi. "Sungguh, Ma. Aku sama sekali tidak pernah merasa terbebani dengan segala hal yang telah aku lakukan selama ini," ungkapnya sendu, sedikit tersirat rasa kekecewaan di sana. "Sejatinya, meski bahkan aku mengorbankan nyawaku untuk Mama dan Papa, itu belum cukup untuk menebus segala hal yang telah kalian berikan padaku," ujarnya bersungguh-sungguh.
Rasa haru, suka, duka serta kecewa tercampur di sana. Mengetahui akan keadaan tersebut, Mbo Darmi—asisten rumah tangga mereka segera membawa kedua buah hati Albar dan Anaya untuk menjauh dari sana. "Tidak perlu khawatir dan merasa bersalah, Ma, Pa, Bang. Karena pada dasarnya aku melakukan semua ini hanya untuk Tuhanku serta diriku sendiri. Bukan Mama, Papa, Abang atau bahkan siapa pun di dunia ini," ungkapnya kemudian, menatap keluarganya satu per satu selaras dengan yang ia sebutkan.
"Segalanya aku lakukan untuk ketenangan hati dan pikiranku, kebahagiaanku dan keselamatanku di akhirat kelak. Kenyamanan, kebahagiaan kalian serta orang-orang terdekatku, bahkan manfaat yang dirasakan oleh orang banyak adalah tujuan dan rencana dalam hidupku untuk kepentingan diriku sendiri." Penjelasan itu bukannya malah mengurangi rasa bersalah keluarganya, tidak lain malah menambahnya. Bagaimana mungkin mereka membebankan tanggung jawab kepada seorang manusia berhati malaikat seperti Qalbi?
Rupanya harapan Mama dan Papanya terhadap makna tersemat di dalam namanya terwujud. Qalbi Akbar—Hati yang besar, selayaknya seorang Qalbi saat ini yang sungguh memiliki kelapangan hati dan kebaikan di sana meski mengatasnamakan kepentingannya di atas kebaikan orang lainnya.
***
Sarapan pagi ini, tidak sebaik hari biasanya. Saling membungkam merupakan pemandangan utama. Hanya terdengar suara celotehan seorang anak SD dan seorang balita. Tidak elak, dentingan sendok menjadi pelengkap suasana. "Tidak perlu terlalu memikirkan masalah semalam, cukup fokus dengan pekerjaanmu hari ini," ucap Akbar mengawali perbincangan sekaligus menenangkan suasana di dalam keluarganya. Apa lagi untuk putri semata wayangnya, yang terlihat tidak baik-baik saja.
"Percayakan pada Papa untuk masalah kali ini. Bukan perihal gunjingan orang-orang atau rasa iri pada anak tetangga, tetapi kebahagiaanmu yang utama. Melaksanakan ibadah terpanjang juga merupakan salah satu kewajiban sebagai seorang manusia. Meski belum takdirmu untuk dijemput oleh jodohmu, tetapi bukankah ia sejenis rezeki yang perlu dijemput dan diusahan? Jadi, serahkan pada Papa." Ketegasan dalam ucapan Akbar sebagai seorang kepala keluarga sepertinya membawa mereka pada solusi terbaik.
Terlalu fokus menjadi masalah utama Qalbi perihal pasangan hidup. Sedari dirinya remaja, beranjak dewasa hingga dewasa, tidak sekali pun dirinya memikirkan tentang urusan percintaan terhadap lawan jenisnya. Belajar, meraih tujuan, membahagiakan keluarga, kemudian demi kepentingan orang banyak, ia melupakan soal salah satu rencana dalam hidup yaitu menikah. Semua pria yang mendekatinya menyerah untuk menunggu, tidak terkecuali dia yang pernah mengisi hari-harinya—Arbhy Al-Farabi.
Prinsipnya memberi batasan yang kokoh pada pikiran dan hatinya. Tujuan, rencana hidup seakan sebuah semak belukar yang ikut memagari di sana. Paling utama dari segalanya, iman dan takwanya memberi dukungan untuk keistiqomahan hati akan cinta yang suci. Segala perjuangannya dalam hidup, merangkak, bungkuk hingga mampu berdiri dan berjalan dengan lancar seperti saat ini, memberinya sebuah hikmah. Di antara segala hal yang ada di dunia ini, hanya hati yang ia miliki. Melukai hati itu dengan sebuah ketidakpastian hanyalah kesia-siaan baginya. Bukankah benih cinta tidak sepantasnya dibiarkan tumbuh di sembarang tempat? Biarkan ia tumbuh di ladang yang tepat.
Meski hati tidak dapat diatur sesuka diri, atau pun cinta yang tidak terduga akan hadirnya, lantas apa arti dari keberadaan sebuah pikiran dan logika serta iman dan takwa jika bukan untuk memagari kesuciannya? Setidaknya itu prinsipnya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Senja
Spiritual[ ON GOING ] لا تحز ان الله ماعنا. Laa Tahzan Innallaha Ma'naa "Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." (Q.S. At-taubah /9:40) *** Bukan kisah layaknya Adam dan Hawa, bukan juga cerita seperti Yusuf dan Zulaikha, apa lagi mengenai...