BS || 13

27 10 0
                                    

Qabil dibuat uring-uringan oleh calon istrinya. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja Qalbi meminta izin kepadanya untuk menghadiri acara reuni yang diadakan oleh teman-teman SMA-nya. Bukannya ia tidak percaya pada Qalbi, tetapi mengingat tentang manisnya sang calon istri membuat dirinya takut bahwa akan ada cinta lama hendak bersemi kembali.

Meski dirinya telah mengetahui tabiat Qalbi yang sedari dulu bahkan mungkin hingga sekarang, jika tidak dipaksakan, ia tidak akan mengingat tentang pentingnya pasangan hidup. Namun, entah mengapa kekhawatirannya tidak dapat dicegah atau pun dibendung. Terlampau bucin memang, tetapi mungkin beginilah jika seorang pria arogan akhirnya merasakan cinta.

"Kenapa lo? Kusut aja tuh muka dari tadi," tanya Luthfi menghampiri Qabil. "Ada perlu? Kalo gak ada gak usah recokin gue," kesal Qabil mengundang kekehan Luthfi. "Yaelah serius amat," ujarnya. Tanpa memerdulikan peringatan Qabil, ia duduk pada sofa yang ada di sana dengan santainya.

"Gue disuruh nyokap lo untuk ngecek keadaan lo. Katanya lo lagi ngambek sama calon istri," jelas Luthfi, terdengar menjengkelkan di telinga Qabil. "Gak nyangka gue. Gini amat lo kalo jatuh cinta—posesif, protektif, bucin abis deh pokoknya." Luthfi tidak dapat menyembunyikan tawa gelinya, membuat Qabil semakin kesal akan tingkahnya.

"Diam aja deh, kalo gak tau rasanya jadi gue," geram Qabil. Luthfi menggeleng-gelengkan kepala, "santai, Boss. Wajar sih lo bersikap seperti itu, secarakan yah lo punya calon istri yang sudah menjadi incaran Kaum Adam sejak dini," ujar Luthfi yang malah memanas-manasi Qabil.

"Pas SMA aja dia udah banyak yang suka, termasuk Adik Ipar lo. Gimana yah sekarang pas dia udah glow up?" Pertanyaan Luthfi mengundang geraman tertahan dari seorang Qabil. Ia memukul meja kemudian menyugar rambutnya. "Terus gue harus gimana?" tanyanya frustasi.

Meski Qalbi berpenampilan dan berprilaku tertutup, tidak menutup kemungkinan hal tersebut juga dapat memicu fantasi liar pria-pria diluar sana. Tidak perlu jauh-jauh, Qabil contohnya. Tutur katanya yang lembut nan tegas, membuai telinga pendengarnya. Penampilannya yang anggun, senyumnya yang menawan, bibir merah muda tipisnya, memanjakan mata yang memandangnya. Ditambah lagi dirinya yang masih berstatus seorang calon istri dalam arti lain belum menjadi hak milik, segalanya membebankan pikiran Qabil dan meningkatkan rasa cemburunya.

"Saran gue, samperin dan tunjukin pada teman-temannya terkhusus orang yang pernah menyimpan rasa terhadapnya, bahwa dia coming soon jadi milik lo seutuhnya. Jangan lupa, perlihatkan pada mereka bahwa Qalbi tidak akan menyesal telah milih lo diantara banyaknya pria yang menaruh hati padanya," jelas Luthfi.

Tidak menunggu waktu lama, Qabil mengangguk semangat. Dalam keadaan terburu-buru, ia meraih jasnya yang sudah sempat ia buka, meraih kunci mobilnya, melesat keluar dari ruangannya hendak menuju tempat di mana calon istrinya berada.

Nyatanya, bahkan ketika akad belum terucap, cinta telah tersemat.

***

Reuni hari itu penuh akan kejutan. Seorang Qalbi yang terkenal akan sifat kalemnya, prestasinya, kelembutan dan keelokan fisiknya, tiba-tiba saja memberikan undangan pernikahan untuk teman-temannya. Bukan kabar itu yang menggemparkan, tetapi nama yang tertulis bersanding dengan namanya yang membuat kehebohan.

Pasalnya, hampir semua dari mereka tahu sikap dan sifat dari jagoan keluarga Ahmad tersebut berbanding terbalik dengan sifat dan sikap Qalbi. "Lalu bagaimana tiba-tiba mereka dapat bersama seperti ini?" itu pikir mereka. Sedari awal mereka memprediksikan Qalbi akan menikah dengan seorang pria yang mengagumkan dari segi ketakwaan, tetapi yang terjadi malah tidak terduga, melenceng dari kriteria yang telah mereka bayangkan sebelumnya.

"Lalu jika dirinyalah jodohku, aku harus bagaimana?" tanya Qalbi kala menghadapi tatapan penuh ketidakpercayaan dari teman-temannya. Meski mendengar bisikan tidak mengenakkan—buah dari tanggapan teman-temannya terhadap pernikahannya, ia tetap memasang ekspresi bahagianya. Namun hal tersebut mengundang kekhawatiran Arbhy sebagai salah satu orang yang pernah menganggap dirinya penting dalam kehidupan pria tersebut.

"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanyanya memulai obrolan setelah sekian lama. Qalbi belum bereaksi, dia fokus menatap teman-temannya yang sudah mulai menjauh. "Kenapa memberi undangan pada mereka? Kamu tidak berpikir sebelumnya mengenai tanggapan yang akan kamu dapatkan?" tanyanya kemudian meski pertanyaan pertama masih belum ada jawaban.

"Lebih baik mereka mendengarnya langsung dariku, dari pada mereka mengetahuinya lewat kabar burung di luar sana," jelas Qalbi tanpa memandang lawan bicaranya. Arbhy menghela napas, "kamu tidak takut bahwa Qabil hanya merasa penasaran terhadapmu?" ujarnya menyentak Qabil, tetapi tidak mengubah ekspresinya.

"Seperti dirimu yang hanya penasaran terhadapku? Singgah sebentar lalu pergi menjauh, seperti itu?" tanya Qalbi balik, menciptakan suasana yang seharusnya sudah sedari dulu terjadi. "Aku ingin menetap, tetapi bahkan kamu tidak membuka pintu. Aku harus apa jika dihadapkan pada hal yang seperti itu?" tanya Arbhy memelas.

"Menunggu dalam cinta terhadap-Nya," ujar Qalbi pelan. "Bukannya aku mau mengungkit masa lalu, aku hanya ingin menyelesaikan yang belum terselesaikan sebelum aku melangkah lebih jauh. Bukankah ini yang seharusnya kamu lakukan juga?" jelas Qalbi tersenyum menatap minuman di hadapannya.

"Bukannya aku tidak ingin membukakan pintu, tetapi belum saatnya. Bukannya aku tidak ingin berharap, tetapi aku takut terhadap rasa setelahnya. Janji-Nya lebih dapat kupercayai dibandingkan janjimu atau pun manusia lainnya. Maafkan aku jika telah melukai perasaanmu dengan sikapku," ungkap Qalbi.

Terlihat raut penyesalan di wajah seoarang Arbhy. "Tidak bisa kamu pikirkan lagi mengenai pernikahanmu?" tanyanya, menatap penuh permohonan. "Tidakkah kamu memikirkan perasaan istrimu atas pertanyaanmu terhadapku?" tanya Qalbi memtahkan harapan Arbhy. "Aku telah mendapatkan petunjuk dari-Nya atas keputusanku menerima Abang Iparmu, lantas apa yang harus aku ragukan?" jelas Qalbi terdengar yakin.

"Dengan ini aku sudah menyelesaikan apa yang seharusnya telah kuselesaikan. Berbahagialah selalu, selamat atas pernikahanmu dan selamat atas kehamilan istrimu," ujar Qalbi memberekan barang-barangnya hendak beranjak pergi.

Namun langkahnya terhenti, ketika melihat di depan sana—tidak jauh dari tempat duduknya, berdiri Qabil dan Humairah—menatap kearah keduanya dengan mata yang memerah. Tidak elak, Humairah telah menumpahkan air matanya.

"Satu lagi. Jelaskan pada istrimu semua hal tentang dirimu dan perasaanmu, terkhusus tentang kita. Jangan menyakiti perasaannya atas fakta yang kamu sembunyikan, jangan biarkan kesalahpahaman dipimpin ego merusak hubungan kekeluargaan kita," nasehat Qalbi pada akhirnya, sebelum menghampiri Qabil.

"Aku bawa mobil dan bisa pulang sendiri. Izinkan aku menjelaskan peristiwa yang telah terjadi dihadapanmu sasat ini, sebelum kamu mengambil tindakan. Sampai bertemu nanti malam. Assalamu'alaikum," ucap Qalbi ketika melewati Qabil dan Humairan menuju pintu restoran.

"Gue ingin tahu segala hal tentangnya dan tentang lo atau pun tentang kalian. Jadi, selama gue minta secara baik-baik, silahkan jelaskan sedetail mungkin. Namun, jangan harap lo lolos dari pukulan gue, sebab lo sudah menyembunyikan hal penting tentang hidup lo dari Adek gue dan buat Adek gue mengeluarkan air matanya."

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang