BS | 7

32 10 0
                                    

"Kamu tidak mau menceramahi Adik Sepupu saya juga karena telah berbuat ulah sehingga membuat Kakek saya masuk rumah sakit?"

Ayyana mengerutkan kening bingung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh putranya. Baginya, pribadi Qabil yang seperti ini sangat jarang dijumpainya ketika bersama dengan orang-orang diluar dari keluarga inti mereka. Sementara Sadewa, menunggu kepergian Qalbi hingga tertutupnya pintu ruang rawat inap itu, ia terkekeh pelan sambil memandang Qabil dengan tatapan menggoda.

"Khem," dehem Sadewa menetralkan ekspresinya. "Lo masih dendam karena dia berani menceramahi lo tempo hari?" tanyanya tidak tahu tempat. Qabil mendengus karenanya, ia memutar bola matanya malas, beranjak kemudian duduk di sofa. "Dia ajaibkan? Sayangya terlalu sulit untuk digapai," ungkap Sadewa membuat Qabil melotot tajam ke arahnya.

Sadewa berjalan, mengikuti jejak Qabil untuk terduduk di sofa, diikuti oleh yang lainnya, kecuali Sagara yang memilih duduk di bangku tepat di dekat ranjang pasien—tempat Kakeknya berada. "Jadi Dokter tadi yang berani menceramahi putra Bunda?" tanya Ayyana. Kali ini Sadewa yang mengerutkan dahi penuh tanya dibuatnya. "Bunda udah tahu?" tanyanya. "Tentu saja. Luthfi bercerita heboh tentangnya," jawab Ayyana diakhiri dengan kekehan tertahan.

"Kakek sedang sakit, sempat-sempatnya kalian membahas hal yang tidak penting," protes Qabil membuat Ayyana dan Sadewa serta lainnya tersenyum penuh arti. "Lagi pula, bagaimana mungkin Direktur sibuk seperti lo sampai mengetahui aktivitas pasien dan Dokternya?" kesalnya terdengar kentara. "Yah, tentu saja karena gosipnya menyebar luas bahkan sampai meledak ke mana-mana," tawa Sadewa.

"Wah, Mad. Sepertinya tidak akan lama lagi kamu dapat menantu," prediksi Arshaka—Papi Sadewa dan Sagara. "Bagus dong, Pi. Migrain Ana akan segera sembuh," ujar Rayya—istri dari Arshaka diakhiri tawa tertahan. "Cih. Papi sama Mami sama aja seperti mereka," ungkap Qabil melepaskan jasnya kegerahan. Dia mengibas-ngibaskan tangannya di sekitar wajahnya, sementara wajahnya memerah menahan rasa malu. Tidak dapat dipungkiri, menyiksa Qabil hanya dapat dilakukan dengan cara begini.

"Ka-kek ba-bahagia mendengarnya," ujaran tertahan terdengar lemah. Sagara tersentak, ia mendongak memandang Rafael yang sudah terbangun di ranjangnya. Mereka yang berada di sofa bergegas mendekat, terpancar raut bahagia dari wajah keriput tersebut. Sadewa bergegas menekan bel untuk memanggil suster mau pun dokter jaga, tidak lama beberapa dari mereka datang terburu-buru.

"Biar saya periksa terlebih dahulu," izin Sania meminta ruang. Ketika dirinya sibuk memeriksa dengan didampingi dua orang suster, Sadewa bertanya, "Dokter Qalbi ke mana?" Sania tidak menjawabnya. Ia menyelesaikan prosedur pemeriksaannya terlebih dahulu sebelum membuka suara. "Dokter Qalbi sudah pulang. Ia tidak punya jam jaga hari ini. Selain itu dia akan bertanggung jawab pada Pak Rafael esok hari," ujar Sania tersenyum lembut.

"Kondisi Pak Rafael sudah stabil. Ini merupakan kemajuan yang sangat pesat. Sepertinya suasana hatinya sedang baik. Tolong dipertahankan, yah?" jelas Sania kemudian. Rupanya kehadiran Qabil dan gossip yang beredar di rumah sakit dapat memperbaiki suasana hati sang Kakek. Mereka yang ada di sana hanya dapat bersyukur dan berharap bahwa ada berita baik setelahnya, baik itu mengenai kondisi Rafael mau pun masa depan Qabil.

Tidak diketahui oleh yang lain, Ayyana mau pun Ahmad tersenyum penuh arti dengan fakta ini.

***

Memenuhi panggilan Ayahnya, Qabil berada di sini—taman belakang kediaman keluarga Ahmad yang terdapat beberapa kursi serta lampu redup tepat di depan kolam ikan. Bundanya tiba terlebih dahulu sebelum Ayahnya, ia membawa dua gelas kopi dan segelas teh, juga sepiring pisang goreng dalam satu nampan yang cukup besar.

"Sudah menunggu cukup lama, Sayang?" tanyanya lembut, duduk di sebelah putranya, mengelus surai hitam legam milik sang anak. "Belum, Bun. Baru saja," jawabnya lembut dengan suara berat nan seraknya. "Tunggu sebentar lagi, yah? Ayahmu masih menelepon," ucap Ayyana. Di waktu-waktu seperti ini, biasanya Qabil gunakan untuk bermanja pada sang Bunda. Apa lagi jika Ayahnya tidak berada bersama mereka, peluangnya mendapat kasih sayang dalam bentuk perlakuan sangat tinggi.

Baru saja ia hendak membaringkan kepalanya di paha Bundanya, Ayahnya tiba-tiba datang dan merusak rencananya. "Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan," peringat Ahmad menarik Ayyana untuk duduk di sisinya saja. Jika sudah begini, Ayyana hanya dapat pasrah, sementara Qabil mendengus sebal terhadap tingkah Ahmad yang tidak mau mengalah. "Istri Ayah Bundaku juga," ujarnya menyuarakan isi hati dan pikirannya.

"Tapi, Ayah tidak suka berbagi," ucap Ahmad tidak mau kalah. "Makanya cepatlah menikah agar bisa mendapatkan kasih sayang hanya untuk dirimu sendiri," ujar Ahmad memberi solusi. Qabil tidak menjawab, ia kelihatan tengah merajuk. Ayah dan anak ini memang sudah lama bersitegang sebab memperebutkan Ratu di rumah penuh kehangatan itu. Tidak jarang, Ayra—adik Qabil cemburu karenanya.

Ayyana yang melihat suasana tidak lagi baik-baik saja, mencubit pinggang suaminya, memintanya untuk berhenti menggoda dan menjahili putra mereka. "Auh, Sayang. Jangan main kasar dong," ucapnya dengan sengaja, tujuannya untuk memanas-manasi Qabil. "Ayaaah! Udah, ah. Kasian itu anaknya," peringat Ayyana terhadap kelakuan suaminya. Ahmad tertawa menanggapinya, wajah murung dan cemberut sang putra akibat ulah jahilnya merupakan pemandangan yang disukainya.

"Baiklah, baiklah. Sudahi acara ngambekmu itu. Ayah mau membicarakan sesuatu yang sangat penting denganmu," ujarnya menghentikan tawa, menggantinya dengan tatapan penuh keseriusan. Qabil menghela napas, memperbaiki posisi duduknya, ia siap mendengarkan. "Sebelumnya, Ayah mau nanya. Kamu sudah punya pacar atau seseorang yang mengisi hati, pikiran dan hari-harimu?" Mendengar tanya Ahmad, Qabil memutar bola mata malas, "sungguh? Ini yang Ayah katakan perbincangan serius?" kesalnya.

Ahmad menggelengkan kepala, "jawab saja dulu." Qabil mendengus, "tidak ada, kecuali Luthfi," ujarnya. Ayyana dan Ahmad tidak habis pikir dengan jawaban ajaib putranya, mereka meringis berucap dalam hati bahwa ini salah dan perlu segera disudahi. "Huh, sudahlah. Sia-sia Ayah menanyaimu," ujar Ahmad. "Langsung ke inti saja kalau memang begitu," ucapnya kemudian. Qabil mengangkat alisnya, tersemat rasa penasaran dalam tatapannya.

"Begini ... jadi, beberapa hari yang lalu, datang seorang pria paruh baya atas nama anak gadisnya, ia bermaksud untuk melamarmu agar dapat menikahi putrinya," ungkap Ahmad dengan intonasi rendah. "Uhuk." Qabil terbatuk tanpa sebab dibuatnya, matanya melotot, mencari aura bercanda dari ekspresi atau pun mata Ayahnya. Namun yang ia dapatkan adalah tatapan penuh keseriusan yang teramat kentara.

Sungguh tidak disangka, bagaimana mungkin seorang Qabil yang ketika hendak meminta seorang wanita untuk menjadi kekasihnya, cukup dengan jentikan jari, maka wanita itu akan bertekuk lutut, kini dilamar bukannya malah melamar?

"Khem." Qabil berdehem, tertunduk sebentar, menghela napas berulang kali, mendongak menatap Ahmad, "siapa?" tanyanya. "Tenanglah, Boy. Kamu seperti seorang pria yang baru saja dipergok Ayah gadis yang kau tiduri," ujar Ahmad diakhiri dengan kekehan tertahan. Ia sadar betul bahwa putranya sangatlah ajaib, tetapi ia tidak habis pikir dengan calon menantunya, rupanya gadis itu tidak kalah ajaib.

"Belum ada keputusan lebih lanjut mengenai hal ini. Baik Ayah mau pun calon mertuamu memberikan hak sepenuhnya kepada kalian berdua untuk memutuskan," jelas Ahmad di tengah keterkejutan Qabil yang belum berakhir. "Olehnya, kami berencana untuk mempertemukan kalian. Setelahnya, kalian bisa memutuskan, apakah dia mau meneruskan atau mungkin kamu yang akhirnya menyetujui?" ujarnya kemudian diiringi dengan senyum tertahan.

"Bukankah itu sama saja dengan keputusan yang sama, kami akhirnya setuju dan menikah?" sebal Qabil yang ditanggapi kekehan oleh kedua orang tuanya. "Bunda yakin kamu akan setuju. Tapi, Bunda tidak yakin jika dia mau meneruskan ketika tau kamu yang dipinang Ayahnya untuk menjadi pendamping hidupnya," ucap Ayyana memberi rasa kebingungan dalam benak Qabil.

Terlalu tiba-tiba, terlalu terburu-buru, terlalu mengejutkan, satu kata ... ajaib.

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang