Qabil Ahmad, kesuksesannya dalam dunia bisnis mau pun kebahagiaan di sepanjang hidupnya kini, tidak membuatnya mampu tersenyum bahagia. Nyatanya beban yang ia pikul terlalu berat baginya, rasa sesak memenjaranya dalam kesesatan yang nyata. Akibatnya, ia terlalu dingin nan datar bagi keluarga bahagia yang ia punya.
Ketegasannya membawanya menjadi seorang bos yang ditakuti para karyawannya, sementara ketampannya membuatnya diganrungi banyak wanita. Meski begitu, tidak ada yang mampu menembus relung hatinya untuk merasakan cinta. Ia tidak tersentuh apa lagi sampai jatuh dalam sebuah hubungan asmara.
Mau tidak mau, menghadapi pertanyaan perihal memenuhi ibadah terpanjang sering kali ia dapatkan. Paling banyak dari mulut Bunda dan Adiknya, mereka mendesak seorang Qabil untuk segera menikah. Apa lagi, umurnya tidaklah lagi terbilang muda, apakah kemapanan dan ketampanannya tidak mampu membuatnya berada di pelaminan?
Menghela napas, ia masih memfokuskan pandangannya pada berkas yang ada di hadapannya. "Berat banget keknya hidup lo, Bil?" ujar Luthfi—sekretarisnya. Memijit kepalanya, ia mendongak menatap Luthfi yang tersenyum memandangnya. "Soal pendamping hidup lagi?" tanyanya tepat sasaran. Qabil berdecak, "gak perlu dibahas."
Ia berdiri, meletakkan kedua tangannya di saku celananya, memandang keluar jendela, memikirkan segala sesuatu yang menjadi beban hidupnya. "Lo ada acara malam ini?" ujarnya kemudian. "Lo nanya gue?" perjelas Luthfi. "Siapa lagi selain lo yang ada di sini?" kesal Qabil menghempaskan diri pada sofa yang ada di ruangannya. "Kita pergi minum," ajaknya. Luthfi menyusulnya untuk duduk di hadapannya. "Cari cewek, gak?" goda Luthfi. Namun, Qabil sama sekali tidak menggubrisnya.
Tidak perlu menjawab pertanyaan bodoh dari rekan kerja sekaligus sahabatnya itu, karena tabiat seorang Qabil tidaklah seburuk yang orang lain pikirkan. Ia memang masuk ke dalam tempat haram itu hampir setiap malam, tetapi selain menyentuh minuman di dalamnya, ia tidak akan berani menyentuh hal lainnya.
Ia hanya ingin menghilangkan beban, bukan malah menambah beban hidupnya. Meski tanpa dirinya pikirkan lebih jauh lagi, ia salah telah menyelesaikan masalah dalam durasi sementara.
***
Raganya telah mengeluarkan bau menyengat dari minuman yang telah ia habiskan di dalam tempat hingar bingar yang baru saja ia tinggalkan. Rupanya perihal pendamping hidup membuatnya mabuk berat, padahal biasanya tidak sampai kehilangan kesadaran seperti ini. Untung saja, Luthfi tidak menyentuh minuman itu sama sekali, sehingga dirinya bisa membopong Qabil dan membawanya pulang ke rumah.
Sedikit kesulitan, ia mendudukkan Qabil di samping kursi pengemudi. Melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata, awalnya tidak terjadi apa-apa. Namun, di tengah perjalanan, Qabil berulah. Ia memukuli Luthfi secara berutal untuk melampiaskan kekesalannya dalam ketidaksadaran. Hal tersebut membuat Luthfi tidak dapat berkendara dengan baik. Suara protesan dari pengguna jalan lain pun telah terdengar berulang kali, tetapi bagai dihiraukan, mobil mereka tetap melaju kencang.
Brugh.
Tabrakan tidak terelakkan. Demi menghindari pengguna jalan yang lain, Luthfi menabrakkan mobil Qabil pada pembatas jalan. Mobil mereka terseret lumayan jauh, Qabil yang berada di sisi itu tampaknya terluka parah, berbanding terbalik dengan Luthfi yang hanya mengalami luka ringan. Orang-orang mengerubuni mereka setelah mobil berhenti dengan kerusakan yang teramat parah di bagian kursi penumpang samping pengemudi. Luthfi dalam keadaan yang tidak baik-baik saja segera keluar dari sana dan mencoba menolong Qabil dengan cara menariknya.
"Bil, lo jangan buat gue takut," lirih Luthfi, ia sudah dalam posisi memangku kepala Qabil. Memandang sekeliling, ia berteriak, "tolong panggilkan ambulans!" Dalam keadaan pelipis terluka, seluruh tubuhnya bergetar, ia memeluk sahabatnya yang telah berlumuran darah. Tidak ada yang berani mendekati mereka, sementara ambulans cukup lama datangnya. Luthfi tidak tahu lagi harus berbuat apa, Qabil membutuhkan pertolongan segera.
Suara langkah kaki menyentak jalanan yang sunyi akan keterkejutan. Seorang wanita tergesa membelah kerumunan. Melepaskan tasnya, ia ikut terduduk di sana, "aku seorang dokter, biarkan aku menanganginya."
***
Fajar menyingsing membawa mentari menyinari bumi. Jendela yang telah terbuka membawa cahaya masuk, mengganggu tidur Qabil setelah perjuangannya untuk bertahan hidup semalam. Merasakan sebuah benda dingin menyentuh kulit dadanya, ia mengerjapkan mata. Perlahan terbuka, ia melihat sesosok wanita cantik dengan mata indahnya. Mahkotanya terbalut kain penutup menambah kesan keindahan di sana.
Bukan berbaju tipis nan ketat serta pendek, tetapi berbaju longgar, panjang, memberi kesan menawan dalam pandangan. Keseriusannya memeriksa Qabil, membuatnya tidak sadar akan manik mata tajam yang terus mengawasi pergerakannya. Jujur saja, Qabil terpesona, pandangannya terkunci begitu saja. Jas putih yang bertengger di pundaknya memberi kesan menawan di sana. Sholehah, cantik, terpelajar nan lembut dapat terlihat dari perawakan dan gerak geriknya, bagaimana mungkin seorang Qabil tidak jatuh cinta?
"Ah," desah Qabil ketika hendak menahan tangan lembut sang wanita agar tidak menjauh. Ia terlihat kesakitan dengan pergerakannya sendiri. "Jangan banyak gerak dulu, jahitan di pinggangmu belum kering, begitu pun dengan yang ada di kepala." Wanita itu berujar tenang, mendekati suster pendampingnya. Ia memeriksa beberapa perlatan, sepertinya hendak mengganti cairan, serta pembalut luka pada Qabil.
"Suster, tolong gantikan infus dan juga perbannya," ujarnya dengan ramah. "Sementara itu, saya akan memeriksa data pasien," lanjutnya. Wanita itu kemudian berdiri di sampingnya, membiarkan sang suster melakukan tugasya. Ia membolak balikkan kertas dalam genggamannya, dalam rentan waktu itu, Qabil sama sekali tidak melepaskan tatapan matanya dari wanita yang baru saja ia klaim sebagai miliknya.
"Tidak pantas seorang pria menatap wanita seperti itu, apa lagi jika ia sudah menutup dirinya dengan sebaik mungkin," ungkapnya telak, mau tidak mau Qabil melepaskan tatapannya, ia berdecak kesal dan cemberut. Lama dalam keadaan diam, Qabil mengarahkan pandangannya ke segala arah. "Kau mencari temanmu?" tanya sang wanita. "Ia pulang terlebih dahulu, katanya mengurus klien penting," ujarnya sekedar memberitahu. Wanita itu kemudian menghela napas, memberikan kertas yang berisi data pasien tadi kepada suster, ia memandang Qabil penuh keteduhan.
"Kenapa?" ketus Qabil. "Tidakkah anda merasa bersalah kepada diri sendiri, keluarga anda, teman anda dan saya sebagai dokter yang menangangi anda?" tanyanya sarkas. Qabil menaikkan alis, ia tidak mengerti mengenai hal yang dimaksudkan wanita yang ada di hadapannya ini. "Apakah minuman itu dapat menyelesaikan masalah anda? Apakah ia bisa mengurangi beban hidup anda? Yang ada malah menyusahkan orang lain." Dokter wanita itu terus mengoceh, tetapi rupanya Qabil tidak memperhatikan, melainkan berfokus pada keindahan yang tersaji di diri dokternya.
"Apakah anda mendengar saya?" sentaknya, Qabil segera tersadar. "Apa ada hubungannya dengan anda, sehingga anda sibuk mengurusi kehidupan saya?" ujar Qabil sinis. "Tentu saja, sebagai sesama manusia." Qabil tidak dapat lagi menjawabnya, baru kali ini ia kalah berdebat, padahal biasanya ia selalu mengalahkan seseorang dengan bahkan berucap singkat. "Tidakkah kau belajar dari rumah sakit ini? Banyak orang yang membutuhkan waktu untuk bertahan hidup, anda malah menyia-nyiakan hidup anda. Masih lebih baik jika hanya merugikan diri sendiri, nyatanya anda juga merugikan orang banyak." Ucapan yang cukup panjang itu mengakhiri perbincangan mereka, karena setelahnya wanita itu pergi begitu saja.
"Khem," dehem sang suster mengalihkan pandangan Qabil. " Sampai di sini dulu yah, Pak? Dokter akan kembali datang memeriksa esok pagi. Kalau ada apa-apa panggil saja kami," ujar suster itu kemudian beranjak pergi. "Menarik. Cantik dan unik," ungkap Qabil tersenyum tipis.
![](https://img.wattpad.com/cover/278804114-288-k187048.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Senja
Spiritual[ ON GOING ] لا تحز ان الله ماعنا. Laa Tahzan Innallaha Ma'naa "Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." (Q.S. At-taubah /9:40) *** Bukan kisah layaknya Adam dan Hawa, bukan juga cerita seperti Yusuf dan Zulaikha, apa lagi mengenai...