BS || 12

26 9 0
                                    

Merenungi ucapan adiknya, Qabil berdiam diri menikmati dinginnya malam dengan secangkir kopi hangat. "Belum tidur, Bang?" tanya Adik Iparnya. Qabil berbalik ke arah suara, di sana di pintu penghubung rumah belakang dengan gazebo berdirilah sang Adik Ipar.

"Lo juga belum tidur," ujar Qabil, setelahnya ia kembali menikmati kopinya dan memandang langit malam. Mendekat ke arah Qabil ia berucap, "selama ini Ayra selalu khawatir dengan Abang," ungkapnya mendapatkan perhatian Qabil. "Ayra takut Abang yang sudah terjerumus dalam kesesatan tambah terjerumus ketika mendapatkan pasangan yang tidak tepat. Pasangan yang hanya melihat harta, ketampanan dan kepopuleran Abang," ujarnya masih melanjutkan.

"Ayra pernah cerita, ia merasa benar-benar kehilangan sosok Abang dalam hidupnya. Sejak Abang beranjak remaja dan jauh dari jangkauan keluarga, baginya Abang bukanlah lagi sosok yang ia kenal," jelasnya, nampak raut penyesalan di wajah Qabil karenanya. "Mendengar Abang sudah mendapatkan pasangan hidup, ia tambah merasa tidak tenang. Ia merasa was-was, overthinking, ia takut akan ketakutannya selama ini menjadi kenyataan." Adik Iparnya terus mengungkapkan perasaan istrinya tanpa memerdulikan perasaan Qabil yang seketika selayaknya terkena badai—huru hara.

"Tapi, setelah tau bahwa Qalbi yang akan menjadi pendamping Abang, ia merasa lega dan bahagia," ungkapnya masih berlanjut. "Seperti yang sudah dikatakan olehnya tadi, Qalbi itu istimewa. Dia bisa membawa Abang ke jalan yang benar, membawa Abang pada sosok yang dirindukan Ayra. Qalbi ibarat bidadari pembawa perubahan dalam hidup orang yang berada di dekatnya. Dengan cintanya, dia akan membuat orang di dekatnya bahagia, InsyaAllah dunia akhirat," ujarnya sambil menampilkan senyum merekah sedikit menerawang dalam khayalan.

"Qalbi diganrungi banyak pria. Tidak terhitung sudah pria-pria yang berusaha mendekatinya, menginginkannya menjadi bidadari di hidup mereka, gue salah satunya." Mendengar penuturan Adik Iparnya, Qabil berbalik ke arahnya, rahangnya mengeras dengan mata menghunus tajam kala memandang.

"Yah, Arbhy Al-Faraby pernah dekat dan bermimpi memilikinya," ungkapnya. Arbhy—pria yang menikahi Humairah satu tahun lalu. Pernikahan yang tidak dihadiri oleh Qalbi sebab kesibukannya ketika itu. Pria itu, pria yang tidak sanggup menunggu kepastian dari sang bidadari, akhirnya memutuskan bertunangan dengan Humairah adik Qabil. Dunia ini terasa begitu sempit bukan?

"Arbhy yang hidupnya berantakan, tertata rapi setelah kehadiran Qalbi. Arbhy yang dulunya nakal, penuh kesesatan, dibimbing oleh Qalbi hingga menjadi seperti saat ini. Arbhy yang dulunya tidak percaya dan tidak mengenal Tuhannya, akhirnya berubah menjadi lebih baik setelahnya," cerita Arbhy pada Kakak Iparnya.

"Arbhy yang penuh luka, sembuh diobatinya. Dia bagai cahaya dalam kegelapan hidup seorang Arbhy. Arbhy bertahan dalam hidup yang kejam ini karenanya, karena topangan dan kekuatan darinya," ujarnya menerawang ke belakang. "Abang beruntung mendapatkannya," ucapnya pada akhirnya.

***

Ungkapan, penuturan dan penjelasan Arbhy membawa Qabil pada keputusan yang terburu-buru. Ia yang sudah menggantungkan label kepemilikan pada Qalbi tidak akan membiarkan miliknya diambil orang. Apa lagi setelah mendengar rumor bahwa Qalbi sudah sering kali gagal lamaran, ia tidak mau menjadi kesekian kalinya dalam kegagalan itu.

Tidak urung, Qalbi kewalahan dengan keputusan-keputusan tidak terduganya. Qalbi sungguh tidak mengerti dengan jalan pikirnya. Sikapnya pun bak bunglon yang berubah-ubah pada Qalbi menambah kebingungan sang calon istri. Namun di sela-sela kesibukan mereka dalam menyiapkan hari pernikahan yang tiba-tiba dipercepat oleh pihak pria, keduanya semakin dekat, saling berbincang meski diskusi ringan.

"Katakan saja, konsep pernikahan seperti apa yang kamu inginkan?" ujar Qabil yang saat ini tengah menemui Qalbi di sebuah restoran yang tidak jauh dari rumah sakit tempat Qalbi bekerja. "Dan juga, model rumah seperti apa yang kamu suka?" tanyanya kemudian tanpa mendengar jawaban Qalbi terlebih dahulu.

Qalbi menghela napas, "kan nanti akan diberi pilihan sama WO-nya, Bil," ujarnya memelas. "Huh," cemberut Qabil, Qalbi bingung dibuatnya, kenapa lagi calon suaminya itu? "Nyari topik sulit tau, Bi. Kamu seenaknya putusin topik gitu aja," sebalnya. "Lagian, meski udah disiapin oleh WO-nya, gak salah bukan kalau calon mempelai request karena punya impian pernikahan sendiri?" ujarnya tidak ingin mengalah.

"Kalo gitu kamu aja yang beri usulan, nanti aku tanggapi," putus Qalbi yang memang orangnya mudah mengalah dan lebih suka mengambil jalan tengah dari pada berdebat tidak jelas. "Kamu emang gak niat nikah, yah?" rajuk Qabil memelas dengan tatapan menajam. "Bil, aku tahu pernikahan itu memang sekali seumur hidup. Calon pengantin biasanya akan mengatur pesta hari bahagia sedemikian rupa hingga layaknya impian mereka," ujar Qalbi hendak menenangkan Qabil yang terlihat menahan amarah.

"Tapi kamu juga harus ingat, itu hanya dilakukan sebagian orang dan tidak termasuk aku," ungkap Qalbi. "Yah, jika memang kamu termasuk di dalamnya, aku gak masalah. Aku akan dukung apa pun yang buat kamu nyaman dan bahagia. Namun, jangan paksa aku masuk di dalamnya, karena aku merasa gak nyaman dengan itu," jelas Qalbi membuat Qabil tersipu malu dan mulai sadar akan timbulnya sikap pemaksa dalam dirinya.

"Pernikahan itu suci dan setiap pasangan berharap hal tersebut terjadi hanya sekali seumur hidup. Tapi mengenai acara, pestanya, aku gak terlalu mau ribet, Bil. Simple aja udah cukup yang penting orang-orang di dalamnya bahagia dan nyaman," ujarnya kemudian. "Akadnya melambangkan kedua hati mempelai bersatu dalam cinta, sementara pestanya untuk mengumumkan pada dunia bahwa kedua insan telah bersatu dalam bingkai rumah tangga, itu jika dilihat dari sisi pemikiranku." Qabil yang mendengar penjelasan Qalbi hanya dapat menopang dagu dan tersenyum lembut memperhatikan gadisnya berbicara.

"Kedua hal itu memang penting dalam peresmian bersatunya dua insan, tapi ada yang lebih penting dari itu. Perjalan panjang tersedia di depan, bahterah rumah tangga yang perlu diseimbangkan, hingga badai dan ombak tidak akan bisa menggoyahkannya. Pemberhentian terakhir pada pelabuahan cinta keduanya, InsyaAllah di Jannah-Nya." Qabil tidak dapat lagi berkata apa-apa, sungguh ia telah terpesona akan tutur kata dan segala prilaku calon istrinya, tidak perlu dipikirkan dan ditunda lagi, mereka harus segera bersatu dalam bingkai cinta berupa rumah tangga.

***

"Bunda!" teriak Qabil heboh ketika memasuki rumahnya. "Boleh Qabil bawa Qalbi ke KUA sekarang juga?!" tanyanya menggema. Melihat Ayyana baru saja turun ke lantai bawah, ia berlari membawa Bundanya ke dalam dekapannya. "Kamu ini, buat Bunda kaget aja, kirain kamu kenapa," omel Ayyana sedikit tersentak dan heran terhadap prilaku putranya yang tidak biasa.

"Gimana Qabil gak gini, mantu Bunda gemesin banget, kan takut khilaf," ungkapnya gamblang, tidak tahu malu. "Udah lupa sama sikap cool-nya?" tanya Ahmad yang tiba-tiba datang menyusul Ayyana dari lantai atas, kamar mereka. "Tumben gitu, biasanya juga pasang muka dingin plus garang," ungkap Ahmad menarik istrinya dari pelukan sang putra, kemudian membawanya dalam dekapannya sendiri. Tentu saja, Qalbi kesal dibuatnya. Namun berhubung dia sedang bahagia, ia tetap mempertahankan senyumnya.

"Serah Ayah, yang penting Qabil nikah segera dengan Qalbi," ujarnya lalu melewati kedua orang tuanya, naik ke kamarnya. Melihat hal itu Ayyana hanya dapat geleng-geleng kepala, sementara Ahmad tersenyum penuh arti. "Sekarang kamu sudah bisa tenang, Sayang. Dia sudah bertemu dengan orang yang tepat."

Bintang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang