Rumit.
Kehidupan setiap manusia sungguh pelik. Ada takdir di setiap tarikan napas mereka. Mengikuti garis masing-masing, menerima kendati itu bukan yang diinginkan.
Rahasia, menjadi bukti nyata jika setiap jiwa diciptakan dengan takdir yang istimewa.
***
Perih. Itu yang pertama kali Boboiboy rasakan saat tubuhnya jatuh menyusur tanah, entah apa yang menggores kulitnya. Ringisan dan erangan kecil dari mulutnya tidak berarti apa-apa lagi selain hanya menyandang predikat reaksi.
Lututnya menumpu kendati sendi-sendinya terasa bergetar dikala mencoba untuk berdiri. Ekspresi, nafas, bahkan sorot matanya; terdengar sarat akan rasa sakit dan kebingungan terpendam.
Saat matanya menekuri tanah. Yang ia tangkap hanya putih, kosong, selaras dengan pikirannya. Kepalanya mencoba menengok berat ke kanan dan ke kiri. Tiada siapapun yang bisa ia tanya. Ia sendiri. Tidak ada suara yang menjumpai gendang telinga selain bunyi nafasnya sendiri.
Apa ini?
Langkahnya terseret-seret di tanah datar. Bahkan ia tak merasakan langkah kaki pada telapak kakinya sendiri. Semuanya kebas, seakan tubuhnya hanya dipacu melalui insting. Suhu pun tiada ia rasa. Sekelilingnya hanyalah hampa dan hening.
Kakinya sudah tak kuasa untuk melangkah lagi. Meskipun otak memerintah, ini sudah tingkat akhir dari 'memforsir'.
"Kita harus berpisah disini." Suara halus wanita tiba-tiba terdengar, membangunkan Boboiboy dari keterdiaman, menjadi bidikan fokusnya. Di antara pandangan yang sesekali mengabur, kedua netranya masih dapat menangkap kedua sosok berjubah lusuh dan gelap membelakanginya. Mereka terlihat bagai siluet bergerak karena sisi tubuh yang lain berpapasan dengan cahaya.
Seseorang lebih tinggi berdiri dengan tegap meski punggungnya nampak meluruh. Sementara satu sisanya dengan postur lebih kurus dan pendek terlihat sesekali bergetar menyiratkan perasaan kelam. Jubah yang mereka pakai menutupi total atribut atas. Polos. Tanpa corak maupun sesuatu yang mencolok diantara lainnya.
Kedua orang itu saling menatap, sesekali menunduk sedih.
Meskipun Boboiboy hanya dapat melihat mereka dari belakang, ia dapat tahu jika wanita itu menunduk, membenamkan wajah pada kain tudung yang menutupinya. Kemudian, ia menatap ke depan isyarat untuk mencoba tegar. Lantas, dia menambahi dengan suara setengah parau karena isakan yang tertahan. "Aku tahu, aku tidak sanggup. Namun, ini demi hal yang lebih besar."
Seseorang yang lebih tinggi menatap sendu orang di sampingnya sebelum matanya mengunci kosong ke depan. "Jika saja aku," Kalimatnya terhenti seiring nafas lelah dihembuskan. "aku tak akan pernah mengijinkanmu melakukan ini."
"Ini semua memang karena kebodohan kita. Bukan seharusnya kita bersama. Kau tahu rasanya? Dulu manis, sekarang rasanya pahit ... ini sakit." bubuh sang wanita. Ketegasan terdengar dalam kalimatnya. Seakan dia telah melalui berbagai rintangan hidup. Dia juga menambah dengan kalimat bersuara pelan. "Pada akhirnya mereka tetap membutuhkan aku setelah apa yang telah terjadi."
"Aku tidak tahu, bagaimana aku mengatakan hal ini padanya, bagaimana aku harus berbohong, bagaimana-" Pria itu memiliki suara rendah yang terkesan sarat akan wibawa. Namun, yang ia ucapkan saat ini, penuh dengan kesedihan, keraguan, panik, gusar dan berbagai kelam yang kian berkecamuk menjadi satu. Boboiboy dapat merasakan emosinya walaupun hanya melalui rungu.
"Sudah cukup, semakin lama aku membicarakan ini, rasanya semakin sakit. Meskipun rasanya senantiasa sakit." Kalimat sang wanita menutup pandangan dan pendengaran Boboiboy sebelum tubuhnya luruh dan pandangannya menggelap.
***
Ruangan putih, hamba mengucapkan selamat datang. Silakan, dan terima kasih jika kamu ingin melanjutkan kepada bab selanjutnya.
Salam, ruangan putih di pikiran kamu yang ingin memperoleh atensi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eques' Blood: He's Full Of Mystery
FanfictionIni tentang kekuatan tersembunyi Boboiboy, masa lalunya, tempat baru, persahabatan dan segala hal rumit yang-mungkin- tidak akan kamu pahami hanya dengan tertegun membaca deskripsi. Boboiboy diam-diam menaruh 'misterius' di kehidupannya. Rahasia ya...