24.

193 19 2
                                    

Apa yang perlu disesali? Bahkan tidak ada lagi hal yang perlu diperbaiki. Kekangan takdir ini sudah melampaui kemampuannya, menjerumuskan ke dalam kegelapan tak berujung.

Mampukah untuk bangkit?

***

Kata orang tak ada salahnya menangis. Katanya hal itu akan melegakan hati, membuat beban menguap. Namun anehnya, menurut Boboiboy menangis tak ada lagi gunanya. Semakin air matanya meluruh, semakin pula hatinya nyeri. Rasanya sesak, tangis itu justru membanjiri dasar hatinya dengan kesedihan, menghampakan dada.

Untuk kesekian kalinya, Boboiboy ingin menyalahkan takdir.

Namun, mungkin ini adalah saatnya untuk pergi.

Bolehkah Tuhan mencabut nyawanya sekarang juga? Beribu maaf ia berikan, berjuta terima kasih hendak ia gumamkan kendati tak mampu.

Tuhan, tolong biarkan jiwa lapuk ini menghadapmu, karena aku sudah tidak tahan lagi ....

Kegelapan menyergap dalam sekelip mata. Memberikan hawa yang begitu lain, ia merasakan kehangatan menjalari peredaran darahnya. Namun ia terasa begitu kosong, jiwanya telah digenggam kehampaan. Untuk kedua netranya, yang dirinya lihat hanyalah hamparan bintang menaburi kegelapan. Seperti ruang kosong, tetapi tidak terbatas ruang. Paling utama, di sini ia hanya sendiri.

Dia bangkit, mencoba berdiri lebih tegak lagi. Kakinya menopang kuat, sedikit aneh kala ia baru menyadari jika kakinya hanya menapak udara.

"Jangan egois, boi."





Remaja itu baru saja terbangun, tetapi ia langsung terkesiap. Dirinya kontan meraup oksigen dengan rakus sembari menatap nyalang sekitarnya. Lantas, apakah semua ini hanya mimpi? Pandangannya beredar menelusuri tubuhnya. Pakaian lusuh dan juga berdebu masih menempel, tak lupa dengan hiasan luka gores di telapak tangan, lengan, maupun kaki. Itu lebih sederhana daripada jantungnya yang terasa mendobrak rongga dada, berusaha keluar dari kungkungan rusuk.

Boboiboy menatap sekeliling. Kebingungan. Yang dirinya lihat pertama kali ialah teman-teman seperjuangannya yang menatap dengan riak tak tergambarkan. Dalam wajah wajah itu, ia dapat melihat rasa sedih, kecewa, marah, rasa bersalah, khawatir, bahkan bahagia yang teradauk menjadi satu. Tunggu? Teman-teman? Mereka di sini? Dan satu lagi! Saat ini ia sedang berada di dalam pesawat angkasa.

Belum sempat ia berucap, sebuah pelukan menyergap. Semakin erat, hingga remaja itu mampu merasa rusuknya seperti ditekan. Saat kepala itu semakin rapat ke tengkuk Boboiboy, remaja itu hanya bisa bungkam tanpa balasan. Saat ini yang paling mendominasi batinnya ialah rasa malu dan juga bersalah. Malu karena meninggalkan, malu karena merasa gagal, dan juga malu karena hal yang tidak dapat diutarakan. Sementara rasa bersalahnya, karena semua rentetan kejadian ini, yang tak lagi mampu ia sebutkan satu per satu.

Tiba saatnya ia menitikkan air mata.

"Boboiboy ...." Ochobot-dia melepaskan pelukan eratnya pada sang sahabat terbaik, menatap remaja itu dengan pandangan yang amat dalam.

"Maaf, maaf-" Air matanya semakin membanjiri pipi, "maaf."masih ada beribu kata maaf yang hendak ia ucapkan.

Ochobot tidak tahan melihat sahabatnya seperti ini, tubuh kecilnya kembali merengkuh. "Cukup. Kami akan selalu ada di sisimu."

Beban yang dipikul di kedua bahu Boboiboy tak akan cukup lagi. Anak itu butuh bahu sandaran, butuh teman. Membiarkan dia menanggung beban sendiri? Tidak akan pernah!

Di sisi lain, Fang, Ying, Yaya maupun Gopal; mereka hanya bisa bergeming. Bibir-bibir itu terkatup. Fang ingin mencaci, Yaya ingin menangis, Ying ingin mengomel, sementara Gopal ingin memukul tengkuk sahabatnya tersebut. Semua itu hanya tersimpan, berhenti di tenggorokan maupun tangan. Hanya tertuju untuk satu orang, Boboiboy. Semua itu didasari oleh satu hal: rasa persahabatan.

Boboiboy menatap teman-temannya satu per satu. "Bagaimana-"

"Kami menemukanmu hampir terkubur tanah! Yang dapat kami simpulkan di sini hanya satu," ledak Yaya dengan mata melotot, alisnya pun bertaut. "Di sini kau mencari mati?!"

Suasana dililit hening untuk sementara. Semuanya tidak menduga Yaya mengutarakan hal ini. Bibir mereka terkunci, terkejut. Untuk pertama kalinya bagi Boboiboy maupun yang lainnya melihat hal ini.

Yaya kelepasan, ia hampir tidak sadar jika ia mengatakan hal ini. Pipi gadis itu bersemu merah, ia membuang napas, lantas menunduk. "Maaf ...."

Boboiboy tersenyum, lantas berucap sembari terkekeh kering. "Ini memang-" dia menundukkan kepala. "salahku."

"Berhenti meminta maaf dan menuntut penjelasan, justru kau yang harus memberi kami penjelasan atas semua ini." dingin Fang.

Satu tanya hampir terlontar dari bibir Boboiboy , tetapi hal itu ia urungkan.

Ekspresi Fang masih kosong, tetapi menurut Boboiboy ini adalah ekspresi alien itu yang paling berwarna yang pernah ia lihat. Kali ini remaja berambut raven itu menyeringai. "Kau cerdik, tapi idiot."

Boboiboy menunduk, air mata meluruh dari pelupuknya. "Maaf, semua."

Gopal menerjang Boboiboy dengan sebuah tepukan punggung. "Dah lah tu, cengeng!"

"Kita belum selesai." Bisikan itu datang lagi, Boboiboy tekesiap secara tiba-tiba. Ia membelalakkan mata, pupilnya mengecil seperti melihat setan, hal itu terjadi seiring dengan napasnya yang tertahan, setelah itu ia kembali jatuh pingsan.

"BOBOIBOY!"

Boboiboy kembali berada di tempat kosong beberpa saat lalu. Tempat kosong tetapi bertabur bintang, diselimuti kegelapan. Remaja itu menggeram. "Kenapa? Tunjukkan dirimu! Siapapun! Kenapa kau membawaku kemari?!"

Udara terasa bergetar, setelah itu suara berhawa dingin terdengar. "Kau belum paham juga, huh?"

"Kau diberi kelebihan, tetapi kau bahkan selemah ini? Kemana kau yang dulu?"

Boboiboy tercekat.

"Kami yang menemanimu sejak dulu."

"Sejak kau lahir ke dunia."

"Kami adalah tujuh arwah."

"T-tujuh?" Kebingungan. Suara-suara berkelebat itu mulai membuatnya pening.

"Karena kami selalu ada di sisimu."

"Kami adalah -"

"Elemental."

***

#Jengjengjeng

Eques' Blood: He's Full Of MysteryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang