22.

155 19 3
                                    

Dalam imajinasinya, sesekali Boboiboy dapat tenggelam dan melupakan sejenak kenyataan, berusaha mengatakan jika ini mimpi yang panjang semata. Ia akan bangun di pagi hari nanti dan kembali mengarungi hari yang membosankan, seandainya itu yang terjadi.

Satu hari, dua hari lalu tiga hari, semuanya terasa kelabu. Mentari yang setiap hari mengejek dengan bersinar cerah tak mampu membuatnya bangkit lagi. Bantalnya basah hingga penghujung pagi, mengering dengan sendirinya hingga dijamah air mata lagi. Jika ia mempunyai tujuh jiwa, enam dari mereka mungkin memilih menyerah, tetapi ada satu lagi yang tetap menggaungkan jiwa keras kepala dan tak mau mengalah pada kejamnya dunia. Tak ubahnya, ia hanyalah lilin redup yang tidak memberikan apa-apa, tetapi juga enggan untuk mati. 

Di malam penuh obor itu, ia kira saat itulah dirinya akan mati. Melepaskan semua beban dan menghembuskan napas terakhir, beradu dalam kedamaian. Sungguh imajinasi yang konyol untuk terpikir anak seusianya. Namun, sekarang ia masih hidup. Hidup dengan udara, rasanya tidak lebih. Konflik-konflik yang terus membombardir hanya menambah kekosongan batinnya. 

Jika ia mencoba keluar, ada tatapan-tatapan membunuh yang didapat, kapan saja. Seolah dirinya adalah narapidana yang dibiarkan berkeliaran dengan identitas yang sudah jelas. Akhirnya ia memilih untuk diam. Otaknya tak mampu lagi berspekulasi tentang kehidupannya sendiri. Rasanya jatuh, Boboiboy tak dapat kembali. Meskipun ia tidak dilarang keluar, ia tidak mau lagi mata mereka memanggangnya. 

"Jangan bawa aku! Ibuuu!"

Boboiboy bisa mendengar suara lengkingan bercampur tangisan histeris. Dari suara itu, ia juga bisa mendeteksi adanya reaksi penolakan dan juga aksi pemaksaan yang saling beradu. Boboiboy berusaha untuk tidak peduli, tetapi jiwanya mengatakan hal yang sebaliknya.

Dengan dahi bekerut, ia mendongak untuk menilik lubang jendela. Matanya berusaha ia tajamkan, tetapi yang ia lihat sejak tadi tidak menyimpan kejanggalan.

"Berapa banyak lagi yang ganjil?"

"Mungkin, kita cukupkan saja."

Desas desus kerap kali Boboiboy dengar dengan sistem pemerintahan yang ia kira semakin lucu dan bobrok. Berterima kasih pada ibu-ibu yang suka merumpi di depan pintu, ia mendapatkan informasi jika salah satu dari anggota bangsawan telah datang, kepemimpinan dimulai kembali. Entah kenapa, otaknya langsung berpendapat jika yang disebut-sebut bangsawan adalah anak laki-laki itu. Bukankah begitu lucu, disaat ada seorang remaja labil yang memimpin sebuah kota, sebuah kontinen?

Sistemnya menjadi semakin bobrok, tidak masuk akal. 

Boboiboy menggeram marah kala suara tangisan anak kecil itu belum juga hilang. Ia meraih jubahnya dengan asal, lalu memakainya. Apapun yang terjadi, ia tetap tidak suka semua pandangan itu. 

Ia memulai dengan langkah senyap, mengikuti si gadis kecil yang masih memberontak di cekalan dua oang pria besar. 

Gadis itu masih meraung, tangisnya belum juga habis. Sekarang, tangannya dirantai dengan posisi lebih tinggi dari kepalanya. Tubuhnya diikat di sebuah tiang yang tertancap di tengah-tengah tanah lapang, dengan semak belukar yang melingkupinya. 

Kedua pria itu meninggalkan tempatnya dengan wajah sarat akan kekejaman. Meninggalkan dua bocah yang menatap mereka takut-takut. 

Boboiboy berada di kejauhan. Tepat di sekitar semak belukar, hatinya mencelus. Ngilu, tetapi tersimpan kemarahan pula. Ia mengunci pandangan ke arah anak-anak itu. 

Mereka memperoleh presensinya. 

Boboiboy mengisyaratkan untuk diam. Ia tidak akan bertindak gegabah saat ini. Disaat ia mencium aroma ujung nyawanya, maupun nyawa mereka. Dia harus bisa bertindak lebih dewasa, berpikir lebih rasional. Api mungkin akan membisikinya hal gila, tetapi ia mencoba untuk setenang air danau. Berpikir seperti cahaya. Menyimpan kemarahan menggelegar bagai petir. 

Tangisan anak-anak itu berhenti, mereka menatap Boboiboy mengiba, seolah meminta tolong dengan bahasa mata. 

"Kalian, diam dulu di sini, ya ...." 

Situasi sudah dirasa aman, Boboiboy memulai langkah dengan perlahan. Anak-anak itu juga menunggu dengan sabar. Diraihnya tiang itu dengan tangan bergetar. Banyak sekali emosi yang bergumul di dalam kepalanya. Ia mendapat insting untuk memijit rantai tersebut. 

Rantai itu menjadi lunak, tetapi ia tidak terkejut. Ia tahu ini bantuan, atau lebih tepatnya 'ulah' siapa. Rantai itu memerah, kemudian melunak, seperti terpapar suhu super tinggi. Entahlah, apakah anak-anak itu tidak tahu bagaimana rantai yang mengikat tangan mereka bisa lepas. Masa bodoh dengan suhu yang terasa hingga tangan mereka. Yang terpenting ialah mereka lepas. Mereka yang sudah lepas rantainya menatap Boboiboy dengan tatapan mata berkaca-kaca. Mereka tidak sanggup lagi berkata-kata. Hal-hal tersebut sudah mampu menunjukkan betapa berterimaksihnya mereka. Si remaja bertopi dino hanya bisa mengangguk dan tersenyum tulus. 

Saat Boboiboy hendak melepaskan anak ketiga, jantungnya terasa berhenti berdetak tiba-tiba. Kepala gadis itu tertunduk, wajahnya tertutup rambut panjang yang terurai. Ia kontan berpendapat, bahwa hanya rantai yang menopang tubuh gadis itu. Tubuh gadis itu kurus kerontang, rambutnya kumal masai, sementara wajahnya penuh luka. Saat telapak tangannya bersentuhan dengannya, hanya dingin yang dia rasakan. Anak itu sudah tak bernapas. Boboiboy tetap melepaskan anak itu, membaringkannya di atas tanah. Sontak, anak kecil itu diserbu anak-anak lain dengan tangis. 

"Lari, kalian harus bersembunyi! Lari sejauh mungkin, kalian mengerti?" 

Mereka mengangguk, gadis yang lebih besar menggandeng yang lebih kecil. Pandangan terakhir mereka berikan kepada teman kecil yang terbaring, pandangan yang sangat dalam, membangkitkan rasa ngilu menghujam di dasar hati. Pasti berat bagi mereka. 

Kegilaan apa lagi ini? Penculikan dengan kriteria tertentu? Sungguh tidak masuk akal di pikirannya, jika seorang pemimpin akan bertindak dengan sekejam ini. Apalagi, disaat mereka meninggalkan anak-anak tidak berdosa dengan rantai berkarat dan juga tiang tunggal. Untuknya, mendengarkan tangisan mereka sudah membuat hatinya teriris perih. Lantas, apakah mereka tidak memiliki hati? 

Satu hal lagi, mereka cukup payah untuk meninggalkan anak-anak itu. Apakah mereka pikir tidak ada lagi yang mampu menolong? 

"HEI KAU BOCAH!!"

Bernada bentakan, berisikan protes, suara itu mencoba menjadi magnet dari perhatian Boboiboy. Di sana ia bisa melihat ada dua orang pria yang menggeram marah, memelototinya dengan mata memerah. Boboiboy melengos, ia menghiraukannya. 

Namun, ia seperti mulai merasakan adanya kejanggalan di sekitar. Kedua pria itu tidak lagi meneriakinya, apalagi mencoba mengejarnya. Saat ia melirik mereka, keduanya seperti tersenyum miring. 

Tanah terasa mengguncang, dan saat itu Boboiboy tidak sempat memikirkan apa-apa. 

"AAAAAAA!!" 

Yang terakhir kali ia lihat adalah bongkahan tanah yang bertumpuk-tumpuk, cahaya yang minim, juga tangannya sendiri yang terkulai lemas. 

***

#Comeback:')#Semakingaje#Terimakasih

Eques' Blood: He's Full Of MysteryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang