Salah satu dari mereka semakin memajukan langkah—lelaki berbadan besar dan berkepala botak licin—mulai mendekati Boboiboy dan menyeringai. "Jangan pura pura," Mimik wajahnya seketika mengeras, alisnya hampir menyatu karena emosi yang tinggi. "bawa dia."
***
Boboiboy terkelu, terlalu kebingungan untuk menunjukkan reaksi. Kumpulan warga pribumi Dalandra bergeming di hadapan Boboiboy dengan mimik wajah yang sulit diartikan. Sementara, obor menyala, tombak dan trisula—tombak bermata tiga mencuat lebih tinggi dari kumpulan mereka. Di samping itu, aroma uap minyak tanah semakin menggelitik hidung mungil Boboiboy.
Terdapat sorot puas dan juga kebencian yang beradu dengan sinar sang api, menjadikan suasana dominan berwarna jingga, membuat siapa saja yang melihat mampu merasakan panasnya atmosfer emosi.
Tatapan mereka, sekaligus apa yang orang-orang itu tunjukkan menjadi bukti singkat bahwa mereka hendak melenyapkan Boboiboy. Mereka memusatkan perhatian lurus-lurus seolah Boboiboy adalah pelaku pertunjukan yang begitu menghanyutkan emosi para penontonnya. Pun itu menjadi upaya untuk menjilat habis nyali remaja manis tersebut.
"Lenyapkan dia!"
"Bocah sialan!"
Hampir keseluruhan dari mereka bergumam tidak jelas, berceloteh, memaki hingga bersumpah serapah sembari mengacung-acungkan obor di tangan. Gumulan suara itu tak dapat didengar dengan jelas karena diucapkan secara serentak, hanya dua kalimat itu yang sampai di telinga Boboiboy. Menyakiti hatinya, tetapi di lain sisi ada sudut kebingungan yang tak terhitung. Presensi kebingungan itu telah bergabung dengan koloni rahasia yang tertumpuk di jiwa Boboiboy. Mengantre panjang di depan pintu jawaban yang sudah roboh, tertutup dan tidak terdeteksi kapan pintu itu akan terbuka.
Semula, lidahnya sempat tersandung kala ingin mengajukan protes. Indra pengecap miliknya hampir saja kaku. "Lepaskan, apa maksud kalian?!" Boboiboy menatap nyalang pada kedua orang yang mencekal tangannya. Namun, mereka hanya menampilkan wajah yang bengis dan juga manik mata tajam yang mengerikan. Pun gengggaman pada lengan Boboiboy kian dikencangkan. Rasanya menekan hingga ke tulang.
Lelaki yang konon menjabat sebagai perwakilan pembicara dari mereka semakin memajukan langkah mendekati Boboiboy, menatap remaja itu dengan senyum sarkastis. "Kau bertanya apa maksud kami?" Ia merotasikan tubuhnya hingga menghadap kumpulan orang berobor, kembali tersenyum lebih memuakkan hingga akhirnya berseru: "Apa maksud kita tuan-tuan dan nyonya-nyonya?" Nadanya sudah menyerupai pembicara demo yang diajukan kepada pemerintah.
Mereka menjawab secara bersamaan dengan cara yang berbeda-beda, ada dari mereka yang berteriak, bersorak, meludah ke sembarang arah, sementara sebagian besar dari mereka mengacungkan obor dan senjata dengan ritme yang kebih cepat dan juga lebih tinggi.
Lelaki itu kembali berotasi menghadap wajah Boboiboy yang terengah menahan emosi, dia menunduk untuk semakin mendekatkan wajah dengan remaja itu. "Kau lihat apa maksud mereka, bocah?"
Boboiboy mendengus, matanya memicing kepada pria tersebut. "Aku tidak ada sangkut pautnya dengan hasrat kalian. Aku hanyalah seorang dari anggota muda Equedemy!"
Lelaki itu tertawa terbahak-bahak seraya menekan perutnya, lalu ia menghapus air mata. Boboiboy mengernyit, tetapi rasa marahnya adalah yang paling menonjol.
"Dia bilang, dia adalah anggota Equedemy saudara-saudara!" seruannya diiringi mengangkat telapak tangan hingga sejejar dengan dadanya.
Kerumunan orang-orang itu lantas tertawa terbahak-bahak hingga membuat telinga Boboiboy pekak sementara. Gigi-gigi mereka yang berkilauan karena refleksi cahaya obor menambah kesan mengesalkan.
Lelaki itu terlihat begitu menikmati untuk mempermalukan Boboiboy dengan cara yang tidak si korban pahami.
Boboiboy menyipitkan mata, berupaya memastikan apa yang dilihat di depannya tidak salah. Kerumunan orang itu tiba-tiba menghentikan tawanya, mereka membelah formasi hingga menciptakan jalanan yang 'mungkin' untuk dilewati. Mereka menunduk hormat kala menoleh ke ujung jalan yang mereka bentuk, seperti akan ada bangsawan yang segera melewati mereka.
Mereka semakin menunduk hingga Boboiboy hanya bisa mengamati gestur punggung semata. Orang-orang itu tetap menggenggam tiang obor dan juga trisulanya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan mereka lintangkan miring di dada—serupa dengan posisi penghormatan.
Seperti yang Boboiboy duga sebelumnya; muncul kerumunan kedua dari belahan formasi itu. Mereka berjumlah puluhan dengan anggota beberapa pria dan wanita dewasa dan juga lebih banyak anak-anak seumurannya. Mereka memakai setelan yang seragam, pakaian para Equestor.
Pupilnya menciut, napasnya dibuang dan dihirup dengan asal-asalan. Boboiboy ingin menolak pemandangan di depannya dengan berkata 'Tidak mungkin.' Namun, lidahnya kelu, selaras dengan tubuhnya. Ia tak percaya jika pasukan yang ia ikuti belum lama karena permintaan mereka sendiri sekarang telah mengkhianatinya. Atau, lebih tepatnya menempatkan posisinya seolah sebagai pengkhianat.
Lelucon apa ini?
Para Equestor tingkat Senior, bahkan tingkat muda seperti Bima dan juga Erya; mereka semua memasang raut benci pada Boboiboy. Menghempas semua rasa berwarna di hati Boboiboy menjadi ketidakpercayaan dan perasaan sendiri, perasaan dibenci tanpa alasan yang jelas.
Namun, Baran tidak ada di sana.
Dua orang dari tetua yang memimpin di depan mulai merotasikan tubuh ke samping, mereka turut menunduk sebagai penghormatan yang entah ditujukan kepada siapa. Diantara mereka, terpresensi seorang anak lelaki dengan surai pirang keemasan dan juga pakaian mengkilap yang Boboiboy duga terbuat dari sutra, ditambah beberapa renda keemasan yang melintang di masing-masing ujungnya semakin membuatnya gemas.
Bahkan, orang itu memakai pakaian mewah di kalangan para pengungsi? Cibiran sudah memenuhi benaknya. Semakin muncul kepribadian sosok pada diri orang itu kala senyuman angkuh terpatri di wajahnya,
Anak remaja itu semakin memajukan langkah menuju posisi Boboiboy, sementara yang bertopi kuning masih enggan menyingkirkan wajah kesal terpendamnya.
"Akhirnya, kita bertemu, Sang Penguji!"
Ia semakin mendekat pada Boboiboy. Namun, Boboiboy agak terkejut kala anak bergaya mewah itu melewatinya sekilas. Malas untuk menengok ke belakang, Boboiboy tetap bergeming. Namun, ia masih bisa merasakan aura yang menggelitik punggungnya. Pergelangan tangan Boboiboy dicekal hingga sejajar dengan pinggangnya, meskipun ia berusaha lolos, itu hanya akan jadi sia-sia.
Rasa dingin mulai menyentuh permukaan kulit pergelangan tangannya, seperti besi dingin yang menyentuh kulit secara tiba-tiba.
Apakah itu rantai? Namun mengapa hanya dipasang di tangan kanannya?
Si misterius mulai menampakkan batang hidungnya kembali di hadapan Boboiboy dan kerumunan orang yang masih dalam posisi penghormatan. Mereka segera bangkit kala suara si misterius tiba di gendang telinga. "Maaf, rakyatku! Aku mengusulkan untuk melepaskan dahulu bocah manis kita ini, kalian bersabar, ya ...." Ia merotasikan wajahnya "Tunjukkan padanya, tunjukkan pada roh-roh terdahulu kita jika kita masih mewarisi hati baik mereka. Tunjukkan pada Bunda Eques!"
Bunda? Aku kira dia lelaki
Sahutan meriah menyambut. "Hidup Putra Eques! Hidup kebaktiannya pada para leluhur ...."
Putra Eques? Mengapa aku tidak yakin?
***
"Bagaimana dengan kalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eques' Blood: He's Full Of Mystery
FanfictionIni tentang kekuatan tersembunyi Boboiboy, masa lalunya, tempat baru, persahabatan dan segala hal rumit yang-mungkin- tidak akan kamu pahami hanya dengan tertegun membaca deskripsi. Boboiboy diam-diam menaruh 'misterius' di kehidupannya. Rahasia ya...