[ Bagian 29 ] Masa Depan

20 1 1
                                    

Note :

Aku harap masih ada pembaca yang excited buat baca dua part terakhir ini. Permintaan maaf sebesar-besarnya karena aku hiatus lama banget dan baru muncul lagi sekarang. Infinity akan berakhir di bagian 30. Selamat membaca kembali cerita lama ini. Terima kasih banyak.

🤍

"Gue nyerah."

Dua kata yang Elza lontarkan tadi lewat telpon, untukku, terngiang-ngiang hingga kini. Sebelumnya ia menanyakan keadaan hubungan aku dengan Atlas, apakah berjalan dengan baik atau tidak. Lalu ia tiba-tiba berkata seperti itu.

"Gue nyerah untuk perjuangin lo. Ada orang yang lebih dulu dapetin hati lo, dia sayang sama lo. Gue tahu itu."

Tak pernah terbayang seorang Elza, orang yang ada di antara Atlas dan aku, akan mengatakan kalimat itu secara jelas. Elza menyerah. Sebelum aku menolaknya. Elza tidak mengatakan apa pun perkara ia tahu bahwa Atlas, yang tak lain adalah orang yang ia maksudkan, secara sungguh-sungguh menyayangiku.

Aku kaget, tentu saja. Hatiku seperti tersentil sesuatu sebagai pengingat agar aku sadar bahwa aku tidak boleh terlalu lama seperti ini. Aku dibebaskan dari perasaan seseorang, sebagai gantinya aku diharuskan tegas oleh perasaan yang satu lagi.

"Hazel."

Kak Anet menepuk bahu kananku seraya memanggil. Aku segera tersadar akan lamunan dan pikiranku yang sejak tadi terganggu.

"Oh udah nyampe, eh, kita mau makan dulu?" tanyaku begitu sadar mobil Kak Anet terparkir di depan restoran yang ku kenal. Aku pernah makan di sini bersama Dee, Jingga, dan Rachel beberapa hari lalu.

"Kamu pernah bilang makanan di restoran ini enak. Kakak mau coba. Yu turun." Kak Anet sudah mematikan mesin mobil, lalu menutup kaca dan memastikan semuanya sudah tertutup dengan rapat. Kami berdua turun dari mobil bersamaan.

Restoran ini adalah salah satu dari tiga restoran terkenal tak jauh dari sekolahku. Harga di restoran ini juga terjangkau di kantong pelajar, maka tak heran saat ini aku melihat beberapa orang berseragam sama denganku datang untuk makan siang, ada yang bersama teman-temannya, juga ada yang bersama keluarga. Sebelum masuk ke dalam aku melihat beberapa cowok berseragam GN duduk berkelompok di bagian luar, smocking area.

Siapa pun itu, aku harap mereka bukan teman Atlas.

Karena di bagian dalam restoran penuh, aku dan Kak Anet diarahkan duduk di meja untuk dua orang paling pojok, hanya ini kursi yang kosong. Meskipun paling pojok kami tetap mendapatkan spot menarik ke arah luar dari jendela besar yang ada di sana.

"Kayanya kita telat deh datangnya. Apa emang selalu rame gini, ya?" Kak Anet bertanya selagi duduk.

"Enggak serame ini sih biasanya. Mungkin karena selesai bagi rapor, jadi banyak orang yang ke sini."

Meskipun banyak siswa dari GIS dan GN di sini, tetapi aku tidak menemukan satu pun orang yang ku kenal. Ya, setidaknya beberapa menit sebelum aku menemukan sosok tak asing di luar sana, terlihat dari jendela besar di sampingku, Atlas tengah menarik kursi untuk duduk di antara kelompok cowok yang tadi aku lihat di luar. Sepertinya Dewi Fortuna tidak memihakku. Aku menunduk secara spontan, menghindar agar pandangan kami bertemu.

Apa gak ada anak GN yang bukan teman Atlas. Aku merajuk, merasa stress sendiri.

Setelah kami memesan sampai pesanan kami datang, Atlas masih di luar sana. Ada hal yang aku syukuri dengan melihatnya dari sini secara diam-diam, Atlas tidak merokok. Tidak seperti teman-temannya yang lain, seakan tak takut kepergok sedang merokok di sini, padahal mereka masih mengenakan seragam.

InfinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang