[ Bagian 28 ] Jangan Terlalu Suka

164 10 3
                                    


Aku tak tahu sejak kapan Atlas berdiri di sana. Bersandar pada dinding dengan tatapan mata yang tak terdefinisi.

Suasana semakin canggung. Beberapa detik berlalu, dan kami hanya diam saling menatap. Jarak aku dan dia yang tak sampai empat meter, membuatku ingin berhambur memeluknya kembali.

Namun, ada suatu hal di sini menahanku. Ada sesuatu yang membuatku tak bisa menghampirinya semanis dulu. Seperti dia sudah menjadi orang lain yang tidak ku kenal.

"Kayanya gue harus balik ya?" ucap Elza seketika membuyarkan lamunanku.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Gue balik ya," ucapnya lagi. Elza hanya bisa tersenyum samar, ia mampu membaca situasi saat ini. Elza pergi, sembari menepuk bahu kanan ku.

Aku masih terdiam kaku sejak tadi. Lalu menoleh, menatap punggung Elza yang berjalan semakin jauh.

Atlas berjalan mendekat. Aku masih belum siap menatap matanya dari dekat. Aku masih belum bisa menguasai air mukaku agar terlihat baik-baik saja. Aku belum siap. Belum siap menerima datangnya ia kembali, entah untuk keputusan yang baik atau buruk.

"Hai, apa kabar?" ucapnya lembut.

🤍

Tidak pernah ada waktu yang tepat jika kita tidak berani mencobanya. Begitu pula dengan keadaan aku dengan dirinya sekarang. Mungkin ini adalah hal yang sudah ia rencanakan, tetapi bagiku tidak. Aku tidak menyiapkan apa pun. Bahkan jawaban untuk pertanyaan "apa kabar" itu, tidak ada. Ya. Tidak ada jawaban yang tepat untuk menjawabnya. Kalau dibilang aku baik-baik saja, tentu sepenuhnya tidak. Apalagi jika aku mengatakan aku tidak sedang dalam keadaan baik. Entah apa jadinya.

Pertemuan itu mengalir begitu saja. Aku banyak diam dan sesekali tersenyum kecil. Atlas pun tak banyak bicara. Setelah menyuguhkan segelas orange juice, aku kembali ke dapur, pura-pura sibuk di sana. Dapur dan ruang tengah yang tidak memiliki sekat, membuat Atlas bisa leluasa menatap punggungku jika ia mau. Sedari tadi aku hanya bisa membelakanginya. Aku tak tahu mengapa sesulit ini untuk menatapnya. Berbicara padanya selayaknya tak terjadi apa-apa. Seperti saat hari-hari itu.

"Aku beruntung banget. Bisa dekat secara langsung sama penulis favorit yang gak aku sangka kalau dia seumuran sama aku," katanya mengawali, terdengar seakan gumaman karena suaranya pun terdengar bergetar.

Dia gugup atau apa pun aku tak tahu. Tapi yang jelas ia jauh lebih tenang jika dibandingkan denganku. Aku hanya bisa diam tanpa menjawab sepatah kata pun. Dulu, rasanya banyak sekali yang aku ingin tanyakan padanya, meminta penjelasan tentang hubungan kita. Akan tetapi sekarang, otakku terasa kosong.

"Aku merasa belum mengenalmu dengan baik."

Ya aku pun sama, batinku.

"Aku tahu kaca yang sudah pecah tak akan bisa utuh lagi, kamu juga tahu kan?"

Aku terdiam. Untuk apa ia menanyakan itu. Itu tandanya ia sudah mulai membuka luka lama. Oh ayolah Hazel, mau sampai kapan seperti ini. Diam tidak akan menyelesaikan apa pun.

"Perasaan ku masih sama kepada mu."

Semakin aku diam, semakin kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu dalam. Aku bisa merasakan perasaan tulus darinya, tetapi aku tidak bisa mengatakan sepatah kata pun. Aku ingin dia saja yang bicara. Tidak ada tenaga yang tersisa untuk merajuk. Aku tidak ingin marah-marah lagi. Aku juga tidak ingin sedih lagi. Aku tidak ingin terus seperti ini.

Kamu mengibaratkan apa dengan kaca itu? Hubungan kita?

"Kita masih sangat muda. Kita labil. Kita bisa bertengkar dengan mudah, padahal alasan dibalik semua itu sebenarnya bisa langsung kita perbaiki bersama."

InfinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang