[ Bagian 9 ] Atlas dan Mereka

478 22 0
                                    


Tiba-tiba aku tidak mengantuk. Aku tidak ingin tidur. Aku ingin berbicara dengan Atlas lebih lama lagi.

Kami berdua sampai di depan pintu. Aku menoleh pada Atlas, beralih posisi tepat di depannya.

"Masuk yu, aku belum ngantuk. Temenin aku ngobrol."

Atlas tersenyum.

"Kamu banyak senyumnya. Kenapa sih?" gerutuku tak karuan.

"Nanti kalau gak senyum disangka marah," jawabnya simpel.

Aku menggeleng, "Enggak juga tuh."

Aku memutar kode kunci.

"Yu!"

Dan Atlas mengikuti.

~♥~

Aku mempersilahkan Atlas duduk. Lalu pergi menuju kamar, menyimpan jaket, masuk kamar mandi, mencuci wajah juga gosok gigi.

Kenapa aku harus serapi ini

Ucapku sendiri begitu melihat pantulan wajah dikaca. Aku menoleh pada jam dinding. Masih jam 9. Aku tidak akan membiarkan Atlas pulang terlalu malam. Aku janji, hanya mengobrol sebentar.

"Kertas salam tadi pagi. Ada di Jingga. Padahal aku belum sempat bacanya," ucapku memulai seraya duduk di sampingnya.

"Oh itu,"

Dahiku mengerut, "Btw, itu tulisan kamu?"

Atlas tidak langsung menjawab.

"Bukan, itu tulisan si Amar. Aku yang minta. Tulisanku jelek," jawabnya.

Aku ber-O ria.

Padahal aku ingin lihat tulisannya. Tapi kertasnya juga keburu diambil Jingga.

"Kecewa?" tanyanya.

Aku menggeleng, "Enggak. Aku sudah seneng dapet salam penyemangat."

"Baguslah."

Aku tersenyum. Menatap matanya yang sendu. Aku melihat raut wajah menenangkan dari dalam dirinya. Aku ingin tahu apa yang ia pikirkan tentangku. Kenapa seolah tidak ada yang terjadi di antara kita. Atlas begitu lurus. Dia seperti tahu hal apa yang tidak perlu dibicarakan. Apa yang tidak aku sukai. Dan apa yang mampu membuatku nyaman.

"Kamu ikut camping?" tanyaku.

Bahunya terangkat, "Gak tau. Kalau kamu ikut, aku ikut."

Lagi-lagi aku terhanyut. Aku merasa menjadi orang penting hari ini. Tapi aku senang Atlas berkata seperti itu.

"Ya udah, aku ikut," jawabku tegas.

"Yes!" Atlas berseru senang.

Aku melihat sorot mata harapan pada Atlas. Aku tidak tega jika melanjutkan pilihanku untuk menjauh darinya. Aku merasa tak peduli bagimana latar belakang dia. Mau dia bad boy, aku tak peduli. Apa salahnya menjadi seperti itu? Tapi jika itu dilakukan Atlas karena aku tahu dia akan menanggung konsekuensinya. Dan dia tetap Atlas, dia baik untukku. Sekarang aku paham apa yang dikatakan Rafa, apa yang ia maksud kini aku sadar.

"Aku gak mau kamu pulang terlalu larut, jadi ... " aku melirik jam dinding.

"Kamu udah ngantuk? Gak papa pulang malem," tolaknya dengan cara menanyaiku. Dia sampe nanya dulu aku udah ngantuk apa belum.

"Iya, aku udah ngantuk," jawabku.

Aku menatap matanya. Memandangi wajahnya. Sekali lagi saja untuk malam ini, sebelum dia pergi dan di lain waktu yang entah kapan lagi akan seindah ini.

InfinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang