Aku bangkit dari posisi semula yang telungkup sambil menenggelamkan wajah di kedua telapak tangan.Bentar.
Gak salah kan?
Panggilan itu berhenti. Layar ponsel pun mati. Aku terlalu lama diam dan melongo tak percaya.
"Ngapain di—. Loh?"
Mataku melebar menemukan nama Elza kembali muncul. Elza nelpon lagi. Mau tak mau aku harus menjawabnya.
Aku menarik nafas dan menenangkan diri terlebih dahulu. Mengatur suara agar tidak bergetar. Jangan sampai ketahuan lagi nangis.
"Eum. Halo?"
Ada hening sejenak di sana, lalu cowok itu tiba tiba berdeham.
"Eh. Halo..."
Suara berat itu kembali muncul. Refleks membuatku merinding. Tiba tiba aku menjadi gugup dan hanya bisa menunduk sambil memegangi leher.
Kenapa tiba tiba gini ya? Ungkapku membatin tak habis pikir.
"Kenapa?" aku bertanya secuek mungkin. Sudah lama aku gak ngobrol sama Elza. Semenjak bertengkar di Sekre. Paling sesekali kalau ketemu cuma senyum samar. Gak ada lagi percakapan yang normal.
"Lo pulang ke Amrik?"
Aku menggigit bibir. Secepat itu dia tahu. Padahal hanya beberapa orang yang aku beri tahu. Elza adalah orang yang tidak mungkin termasuk diantaranya.
"Tau dari Jingga? Brian?" tanyaku sarkatis. Aku menghela nafas pelan. Sebenarnya aku tidak ingin ada orang lain yang ikut campur. Tapi gimana lagi kalau sudah begini.
"Hm iya. Tapi gue gak akan ikut campur kok. Gue cuma mau mastiin aja kalo lo gak pindah lagi ke sana. Lo masih sekolah di sini kan?"
"Kenapa? Apa urusannya sama lo?" tanyaku jutek.
"Lo masih marah ya sama gue?"
Aku jadi diam berpikir. Spontan jadi ingat waktu dia jelekin Atlas. Sebenarnya aku udah gak marah sama Elza. Tapi mengingat itu rasanya aku gak bisa seakrab biasanya sama dia.
"Hm. Enggak. Gue gak marah. Gue terlalu jutek ya?"
"Lo lagi gak mood? Jangan bilang lo abis nangis?"
Mataku melebar dan terlonjak begitu saja. Serasa tertohok dengan pertanyaan tiba tiba yang begitu terasa menembak tepat sasaran.
"Ah, emang kenapa?" tanyaku seolah tak mengerti.
"Suara lo bindeng. Kaya abis nangis."
Dan aku menutup mata begitu saja. Mengusap wajah dan menutupinya. Terlalu kentara karena memang belum selesai aku nangis dia udah nelpon.
"Gue salah ya nelpon sekarang?"
Aku menggigit bibir jadi tak karuan. Elza gak salah sih. Tapi kayanya emang bukan waktu yang tepat buat ngobrol.
"Hm. Lo bisa nelpon lain kali kayanya. Gue emang. Eum," aku berhenti sejenak, jadi bingung sendiri. "Gue lagi gak baik."
Hening di sana.
Tapi aku merasakan bahwa dia bisa mengerti.
"Ya udah. Lain kali gue nelpon lagi. Tapi kalau lo butuh seseorang. Gue ada buat lo."
Perasaanku memanas begitu saja. Ada apa ini? Kenapa jadi begitu baik?
Dan aku segera menutup telpon dengan jawaban singkat, "Iya. Makasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity
Teen Fiction#1 INFINITY 25/06/18 #2 INFINITY 26/06/18 Gimana rasanya pacaran dengan cowok yang beda sekolah? Ditambah lagi dia seorang bad boy. Hal itu bagi gadis bernama Hazel bisa diterima. Tapi, latar belakang sekolahnya dengan cowok itu tidaklah baik, malah...