[ Bagian 18 ] Perpisahan pt. 2

343 13 3
                                    


Dengan kepanikan juga kecemasan yang begitu merajai. Aku bangkit dan melangkah tergesa-gesa, keluar dari kelas, berjalan setengah berlari melewati lorong yang masih sepi.

"Hazel! Gue ikut!"

Aku mengabaikan teriakan mereka. Sampai di tempat parkir. Barulah bel pulang sekolah berbunyi.

Aku sampai lupa dengan tas sekolah dan meninggalkannya begitu saja di meja. Namun karena sudah terlanjur kalap, aku menyalakan mesin mobil dan melaju menuju gerbang.

Aku membunyikan klakson berulang kali, supaya Pak Dani -satpam GIS- cepat membukakan gerbang.

Aku sendirian. Meninggalkan teman-temanku yang berusaha membantu. Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi kesulitan untuk mencari alamat yang Rafa kirim. Aku hanya tau kalau itu adalah rumah dari teman Atlas, karena hanya rumah dia yang tak jauh dari lokasi tawuran.

"Rafa, lo tungguin gue di jalan Bengawan. Sumpah gue gak tahu ini dimana rumahnya," ucapku tegas meminta pada Rafa dari sambungan telpon. Sembari tetap fokus menyetir. Bersyukur jam segini bukanlah waktu padat lalu lintas.

"Lo tunggu deket taman."

Balasan Rafa cukup membuatku mengerti dan menyampingkan mobil lebih mepet ke arah taman. Sambil berharap harap cemas memikirkan keadaan Atlas.

Atlas. Kenapa setiap kamu gak ada kabar. Selalu saja ada hal buruk yang terjadi padamu. Kenapa sampai detik ini, aku merasa tidak berguna. Aku merasa sangat bodoh. Aku selalu terlambat.

Batinku meronta. Hari yang indah yang selalu aku bayangkan. Tiba tiba berubah hancur .

~♥~

Halaman rumah itu penuh dengan perkumpulan cowok yang pastinya kawanan Atlas. Hampir semua aku tidak mengenalinya. Samar-samar melihat wajah familiar yang sering ngikutin Atlas ke kantin GIS, tapi sampai saat ini aku tidak tahu namanya.

"Atlas di dalem," Rafa membimbingku setelah kami berdua keluar dari mobil masing-masing.

Mereka sempat berbisik-bisik. Entah omongan yang baik atau buruk, tapi yang jelas mereka tahu aku ini siapa.

Sampai di ruang tamu, ada beberapa cowok yang terlihat terluka. Bahkan ada yang kepalanya masih berdarah-darah. Aku terkejut, menatap mereka miris. Ada perasaan iba, pun merasa marah.

Lalu Rafa mengajakku ke sebuah ruangan yang lebih luas di daerah dalam. Dan sosok itu berhasil mengejutkanku.

Atlas duduk sambil bersandar di sebuah sofa. Bagian kanan dahinya tertutupi perban. Luka lebam di kedua pelipisnya. Dan robekan kecil terdapat di sudut kiri bibirnya. Serta tangan kirinya yang dilapisi gips.

"Tulang tangan kirinya retak," ucap Rafa. Dengan hati-hati ia melanjutkan, "Tangan kanan nya luka parah, tapi udah dijahit."

Seketika lutut ku terasa lemas. Aku mengambil nafas sebisa mungkin menguasai diri. Air mataku sudah dari tadi jatuh bertubi-tubi, tanpa henti seiring langkah aku mendekati Atlas. Aku tidak mengerti. Kenapa dia ada di sini? Bukannya seharusnya ia ada di rumah sakit?

Aku marah. Ingin sekali memarahinya. Aku tidak tega. Dan hanya isakan pilu yang keluar dari mulutku.

"Jangan nangis," ucapnya pelan. Seraya menarik tanganku dengan tangan kanannya yang aku yakin terasa sakit. Ia membimbingku duduk di sampingnya.

"Kenapa gak diem di rumah sakit aja?" tegur ku pelan. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi untuk mengatakan kalimat apa yang pas. Aku hanya ingin dia baik-baik saja. Mendapatkan fasilitas baik untuk kesembuhannya. Aku ingin cepat dia sembuh. Pulih dan kembali sehat. Dan senyuman yang tercetak tanpa kesulitan.

InfinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang