[ Bagian 14 ] Perjanjian

359 21 2
                                    


Kalimat itu sungguh ingin aku hindari namun juga membuatku ingin mendengarnya.

Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya. Apa yang ingin dikatakannya. Namun satu hal saja, tolong jangan sampai menyakiti dan membuat kita berpisah.

“Jika itu hal buruk. Aku tidak ingin mendengarnya,” ucapku cepat mendahului dirinya. Saking takutnya aku, sampai tak sadar aku hendak memeluk lututku sendiri.

“Ini sebuah kebenaran. Tidak buruk. Dan aku tidak berniat menyakitimu,” jawabnya tenang.

Aku menghela nafas resah. Aku percaya pada Atlas.

“Kamu tahu arti prioritas?” tanyanya.

Aku menoleh, menatapnya, mencari jawaban tentang apa yang ingin dikatakannya. Lalu aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

“Dan kamu, adalah prioritasku.”

Deg.

Prioritas? Benarkan dia mengatakan itu?

Aku masih diam tidak menjawab apapun. Aku juga bingung harus berpendapat apa. Yang jelas, cukup itu membuatku senang.

“Tapi, aku ingin kamu tahu,” sambungnya lagi.

Aku masih menggantungkan senyum di wajah, meneba-nebak lagi apa yang akan ia katakan selanjutnya. Sebelum akhirnya senyumku menurun.

“Tapi apa?” tanyaku takut.

“Aku ingin kamu tahu. Bagiku, gak semua prioritas dalam hubungan itu menjadi yang pertama,” jawabnya.

Aku tidak merasa itu adalah hal yang menyakitkan. Aku menghargai pendapatnya. Kalau memang itu yang ia pilih, aku tidak bisa melarangnya.

“Aku tahu. Waktu aku ke kelas kamu. Ninggalin kamu gitu aja karena harus jemput Ritma. Kamu sedih, kamu langsung cemburu saat itu juga. Tapi, kamu bersikap seolah baik-baik saja. Lalu memintaku untuk menjemputmu.”

Aku terdiam memikirkan itu. Atlas tahu tentang perasaanku saat itu. Hanya saja, ia menyembunyikan rasa pedulinya.

Tapi, aku merasa malu sendiri. Padahal kan aku bukan siapa-siapa dia. Lalu jika aku bersikap naif dan mengatakan bahwa aku tidak cemburu, apakah Atlas akan percaya? Rasanya tidak.

“Terus?” tanyaku spontan karena selanjutnya ia hanya diam. Kalimatnya menggantung. Harus diselesaikan.

“Aku ngerasa bersalah. Saat itu aku ngerasa bimbang. Tapi, aku udah bilang mau jemput dia,” katanya parau. Saat Atlas menyebut ‘dia’ sebagai kata ganti Kak Ritma, ada rasa beda yang aku rasakan. Entah apa itu.

“Maaf,” ucapnya tiba-tiba.

Aku tersentak.  Ya ampun, dia gak salah. Kenapa harus minta maaf.

“Gak usah ada maaf-maafan deh. Gak ada yang salah juga,” kataku dengan nada kesal. Dari kemarin, banyak banget yang minta maaf. Udah kaya lebaran aja tau, gak!

Atlas malah terkekeh dan mengunci tatapannya padaku.

“Apa?” tanyaku heran membalas tatapan tajamnya.

“Enggak. Pengen aja,” jawabnya menggoda. Aku hanya mendengus pelan. Agak salting juga diliatin gini dengan jarak dekat. Ralat! Super dekat.

“Btw. Aku malu deh. Kenapa coba aku harus cemburu. Padahal kan bukan siapa-siapa kamu.”

Lah?

Eh, bentar deh.

Yahhh kelepasan ngomong.

“Hah, gimana?” tanya Atlas pura-pura gak denger.

Aku hanya diam sambil manyun. Merutuki diri sendiri. Bodoh. Dasar bodoh kamu Hazel!

“Kalau gitu. Kamu harus jadi siapa-siapanya aku biar bebas cemburu,” katanya membalas lagi.

Diam. Tersentak lagi. Aku mendongak membalas tatapannya. Ah, senyum itu. Atlas selalu mampu mempercepat debaran jantungku hanya dengan senyum kecil di sudut bibirnga. Di wajah tampannya itu.

“Kamu lagi ngegombal? Atau ngegoda aku?” tanyaku ketus.

Atlas tertawa kecil.

“Enggak. Aku serius.”

Deg

Aku jadi gak karuan. Pipiku pasti sudah memerah tomat. Masa bodoh, aku gak bisa nahan.

“Udah ah, gak suka,” kataku sedikit marah. Cuma lagi ngendaliin berbagai cara biar enggak keliatan seneng. Hahaha...
Atlas menegakkan badannya. Merileks-kan badannya. Merasakan hembusan angin sepoi-sepoi. Aku menggeleng pelan, aku ngarepin apa sih? Ditembak dia?

“Aku mau nanya. Boleh gak?” tanyaku tiba-tiba. Sumpah, aku jadi kepikiran ini.

Atlas mengangguk kecil dan kembali menoleh sepenuhnya ke arah ku. Salah satu hal yang aku suka dari Atlas adalah, ketika aku berbicara, ia akan sepenuhnya menoleh ke arahku, dan mendengarkan aku bicara sampai selesai.

“Kamu sama Kak Ritma tuh, gimana sih? Kalian ada hubungan spesial?”

Ya udahlah, mau kapan lagi aku ngomong gini.

“Ehm,” Atlas berdehem kecil.

“Kamu gak usah kepikiran kalau aku udah ngomong gini. Apalagi, jangan sampe ngerasa sedih,” ucapnya pelan. Mungkin ini semacam aba-aba sebelum ia mengatakan yang sebenarnya.

“Iya, aku tahu,” jawabku yakin.

“Ritma itu, cinta pertama aku.”

Yah, kok ngerasa kaya ada yang ngegores hati aku ya? Tapi aku hanya diam, masih mau mendengarkan.

“Dia cewek yang baik dan dewasa. Mungkin hal itu yang buat aku nyaman sama dia.”

Aku juga pasti bisa kaya gitu. Percayalah Atlas.

“Dia tetangga aku. Makannya kita gampang deket. Tapi sayang, dia lebih tua dari aku. Dari awal kita kenal sampai sekarang, dia gak pernah berhenti nganggap aku adik. Jadi, yah, akhirnya aku nyerah.”

Aku sudah menduga hal ini. Dari sikap Kak Ritma pada Atlas. Jelas perempuan itu tidak menganggap hubungan mereka lebih dari teman. Terbukti saat Kak Ritma dengan baiknya menceritakan perihal Atlas yang sudah mulai mengincarku. Bisa aku lihat dari garis wajahnya. Kak Ritma itu baik, saat itu ia tidak berbohong. Tapi, apa aku dijadikan pelarian oleh Atlas?

“Kamu nganggap aku apa? Pelarian?” tanyaku hati-hati.

Ada senyum di sudut bibirnya. Lalu ia menggeleng.

“Itu jahat. Sangat jahat. Dan aku tidak seperti itu,” katanya.

Aku menarik nafas lega. Aku dengan cepat percaya akan jawaban Atlas itu.

Tiba-tiba Atlas merangkul ku, melingkarkan tangannya di bahuku. Lalu menepuknya pelan.

“Jangan percaya orang lain. Percaya aku saja. Kalau aku ketahuan berbohong. Kamu boleh ninggalin aku kapan pun kamu mau.”

Aku termenung. Memikirkan bahwa ucapan itu bukan sekedar kalimat biasa. Tapi itu adalah janji Atlas padaku.

~♥~

Btw, part ini emang dikit. Nanti deh, aku bikin exstra part.

See you next part ^^

InfinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang