23

16.5K 3.3K 149
                                    

Satu minggu telah berlalu, dan dinding megah yang mengelilingi ibu kota kekaisaran Cruixegon sudah berdiri kokoh di depan mata. Walau harus berhadapan dengan beberapa bandit lagi di perjalanan, dan kendala yang lain, akhirnya Aslan bisa sampai di tempat tujuan tanpa kehilangan uang dan organ tubuh.

Aslan menarik ujung cindung jubahnya, mencoba menyembunyikan ketampanannya dari depan publik, identitasnya saat ini masih terjaga rapat. Bahkan pihak kekaisaran pun tak tahu bahwa Aslan akan pergi berkunjung untuk menyelesaikan kekacauan yang putranya buat.

Meski Aslan terlihat tenang, tapi nyatanya tidak. Dia bukanlah Aslan yang asli, hanya sebuah entitas asing yang datang dari dunia lain, dan menumpang pada tubuh Aslan. Entah apa yang terjadi pada Aslan yang asli, ia pun tak tahu.

Harus beradaptasi menjadi orang yang baru dengan ingatan yang lama bukanlah hal yang mudah, sangat sulit apalagi kini bukan hanya dirinya, sekarang dia memiliki tanggung jawab lain sebagai seorang ayah.

Bisakah dia menjadi Aslan tanpa ada yang akan curiga? Berakting seperti aktor Hollywood yang skill bermain perannya sangat hebat? Bagaimana pun, memang itu yang harus ia lakukan. Berteriak dan berkata jujur bahwa dia bukan Aslan yang asli, hanya akan membuatnya di katai gila, tak waras, dan sudah kehilangan akal sehat. Walau memang ia sudah gila duluan tanpa di cap gila oleh masyarakat, sih.

"Apa kita akan langsung masuk kedalam gerbang utama, Yang Mulia?" tanya ksatria Samuel yang juga menutupi rambut hijaunya dengan tudung khas pendekar negeri timur.

"Ya, namun selama penyamaran kita kali ini, dilarang untuk memanggilku dengan embel-embel Yang Mulia, Tuan Duke Agung atau menyinggung nama Wialachaues." kata Aslan sembari merogoh kantung jubahnya dan mengeluarkan 3 perkamen berisi data identitas diri.

Aslan membagikan 2 perkamen pada ksatria Samuel dan ksatria Theo, "mulai sekarang panggil aku Blake. Seorang petualang dari negeri jauh yang datang ke ibu kota untuk rekreasi bersama 2 sahabatnya."

Samuel dan Theo yang kebingungan kemudian membuka perkamen yang di berikan Aslan, rupanya memang itu adalah identitas palsu untuk menutupi identitas asli Samuel dan Theo.

Aslan menunjuk Samuel, "mulai saat ini, nama mu adalah George," kemudian menunjuk Theo, "dan kau, nama samaran mu adalah Reece." Aslan menjeda kalimatnya sembari tersenyum tipis, "Dan nama party kita adalah, New Hope Club."

Aslan berjalan di depan, menuntun kuda hitamnya yang ia beri nama 'Dullahan', di susul oleh Samuel dan Theo yang juga menuntun kuda mereka masing-masing. Saat ini, mereka tengah berjalan di dalam antrian yang cukup panjang. Ya, untuk masuk ke ibu kota, para petualang atau saudagar biasanya harus mengantri terlebih dahulu untuk pemeriksaan ketat dari pihak kekaisaran.

Karena beberapa perang masih terjadi, dan banyaknya kasus-kasus pemberontakan di beberapa wilayah perbatasan, maka sangat penting bagi pihak kekaisaran untuk menyorotir para pengunjung yang masuk ke ibu kota.

Seperti yang terjadi saat ini, sudah hampir 35 menit Aslan dan kawan-kawan berdiri memegangi pelana kuda sembari menunggu antrian panjang di bawah terik sinar matahari. Jika bukan karena kemampuan sihirnya, mungkin kini Aslan sudah membuka seluruh bajunya karena panas.

Saat tiba gilirannya, Aslan menyodorkan perkamen berisi data diri palsu kepada 2 prajurit resmi yang berjaga, meski itu hanya surat identitas palsu, Aslan yakin 100% tak akan ada yang curiga, hasil kerja Duncan tidak mungkin mengecewakan. Aslan percaya hal itu.

"Petualang serabutan?" gumam prajurit penjaga ketika membaca surat identitas milik Aslan.

"Ya, aku hanya bekerja bila ada dungeon yang segelnya terbuka." sahut Aslan dengan wajah tersenyum cerah. Setelah menjadi Duke Agung, kini Aslan harus berakting menjadi petualang biasa, lelaki itu sudah cocok menjadi aktor dalam opera sabun teater lokal.

"Apa tujuan mu datang ke ibu kota?"

"Ah, aku dan kedua teman ku datang untuk berlibur sekaligus mendaftar ke guild petualang resmi." Aslan menunjuk kedua temannya, Samuel dan Theo yang juga langsung menyapa para prajurit.

Prajurit bertubuh kekar itu menatap Aslan dan kedua bawahannya dengan mata menyipit, kemudian menyerahkan perkamen itu kembali dan mempersilahkan Aslan untuk masuk.

Aslan menggiring kudanya untuk masuk ke dalam gerbang, memasuki kota Valeria yang ramai dengan aktivitas orang-orang.

Aslan mengedarkan pandangannya, menyapu pemandangan indah dari kota Valeria yang sibuk dengan hiruk-pikuk kehidupan kota yang ramai. Lelaki itu terdiam sejenak, merasa terpukau dengan kota yang dulu ia buat lewat tulisan dari imajinasinya, kini terpampang dengan nyata di depan mata.

Pemandangan yang sangat fantasi dengan bangunan bergaya Eropa era abad pertengahan, klasik dan memanjakan mata.

Ada yang sedang berteriak menjajakan dagangannya, ada yang asik menawar barang, banyak juga kereta kuda milik pada bangsawan yang hilir mudik menghiasi jalanan kota.

Harum roti-rotian yang di bakar pun benar-benar menggugah selera, belum lagi asap berbau daging bakar yang di panggang di kedai-kedai pinggir jalan membuat air liur Aslan bisa menetes kapan saja.

Bukan hanya manusia, Dwarf, Elf, Werebeast, dan makhluk-makhluk mitologi lainnya pun ikut berbaur bersama manusia. Memang, semenjak kekaisaran  Cruixegon berdiri, peperangan dan diskriminasi antar ras berhasil di redam hingga perdamaian antar ras pun bukan hanya sekedar angan dan cita-cita semata.

Pemandangan indah kota Valeria sangat berbeda jauh dengan wilayah Wialachaues yang suram dengan penduduk yang sedikit, Aslan jadi iri dan bertekad di dalam hati untuk mengubah pemandangan Wialachaues agar terlihat hidup dan lebih berwarna.

"Setelah ini apa?" tanya Theo Silas sembari mengunyah apel yang ia curi dari gerobak pedagang yang lewat.

Aslan tersenyum misterius, "ayo, kita pergi ke club malam."

_____


Sementara itu, di tempat lain, Adam tengah terbahak-bahak menertawai kericuhan yang terjadi di dalam manor milik keluarga Wialachaues. Wajah bocah itu sampai memerah karena terlalu banyak tertawa, "Astaga, aku benar-benar terhibur!"

Rubyanne menatap kakaknya dengan wajah yang sulit di artikan, wajah itu seolah mengatakan, 'jadi ini kesenangan yang kau maksud?'

Para pelayan baru yang menjadi korban hanya bisa menunduk pasrah menjadi bahan tertawaan tuan baru mereka. Tak bisa menegur atau bahkan memarahi sambil memaki-maki meski ingin.

Duncan dan Arduino yang berdiri di samping Adam hanya bisa menggeleng pelan, mencoba memaklumi tingkah laku menyebalkan tuan muda mereka yang semena-mena dan jahil.

"Hei, bayi, jangan salah paham, ya. Aku ini sedang tidak menindas orang, tapi sedang mengedukasi, agar mereka tahu dimana sepantasnya seorang bawahan menempatkan diri." Adam menatap para pelayan baru dengan tajam, memberi peringatan keras, agar kejadian yang sudah-sudah tidak terjadi lagi.

Dan tentu, para pelayan hanya bisa menelan harga diri mereka bulat-bulat, meski mereka tahu akan begini jadinya jika menerima tawaran menjadi pelayan untuk keluarga Wialachaues, namun karena upah yang di tawarkan benar-benar tinggi membuat mereka tak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk kaya begitu saja.

Rubyanne yang berada di gendongan Brian Everett menatap Adam dengan mata yang berkedip-kedip kebingungan, benar-benar tak mengerti apa yang sedang kakaknya coba katakan.

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang